Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sutan Sjahrir: Sebuah Kekecualian Zaman

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHAMMAD CHATIB BASRI
Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia

SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya. Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.

Saya sulit membayangkan, di satu masa ketika nasionalisme begitu berapi-api, ketika kemerdekaan seperti menjadi obsesi dan tujuan akhir bangsa, Sjahrir justru berbicara tentang sesuatu yang lebih jauh dari itu. Di masa ketika nasionalisme seperti menjadi pegangan garis perjuangan, Sjahrir mengingatkan: tanpa demokrasi, nasionalisme bisa bersekutu dengan feodalisme.

Persekutuan tak suci ini memiliki potensi menimbulkan totalitarianisme. Sebagai seseorang yang mendambakan kebebasan individu dan menentang totalitarianisme, Sjahrir begitu kritis terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, dan juga terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Nasionalisme juga punya bakat untuk mendorong totalitarianisme.

Sjahrir benar, sejarah dunia sudah membuktikan ini. Itu sebabnya, dalam skala global, menurut dia, nasionalisme harus tunduk kepada humanisme. Bahkan, di zaman ini, ketika batas-batas negara mulai dipertanyakan, Sjahrir barangkali masih dianggap terlalu di depan. Sutan Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pada usia 36 tahun, memang sebuah kekecualian untuk zamannya.

Bagi orang yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebebasan ini, dari mana pun asalnya, totalitarianisme akan menindas kebebasan individu. Itu sebabnya ia menentang diktator proletariat. Namun amat salah jika orang kemudian menyimpulkan bahwa kebebasan yang dijunjung tinggi olehnya akan sejalan dengan pandangan kaum borjuis demokratik Revolusi Prancis. Dalam Perdjoeangan Kita, Sjahrir menulis, ”…ialah pelopor yang membersihkan jalan untuk dunia kapitalisme dan imperialisme, sedangkan revolusi kita harus dianggap sebagai salah satu revolusi yang menyumbang kesudahannya.”

Ada sebuah debat filosofis yang menarik di sini. Di satu sisi Sjahrir memuja kebebasan individu, tapi di sisi lain ia mengatakan revolusi yang diinginkannya bukan pelopor jalan kapitalisme. Sebagai seorang sosialis, Sjahrir jelas membayangkan sebuah negara yang dapat menjadi representasi sosial. Ia jelas tak percaya kepada mekanisme pasar. Ia melihat pentingnya peran negara dalam menjaga kaum miskin. Ia menginginkan sebuah kebijakan yang merepresentasikan preferensi sosial dan menjaga kebebasan individu. Di sini soalnya.

Pemenang Nobel Ekonomi, Kenneth Arrow, pernah menunjukkan: tidak mungkin ditemukan sebuah bentuk keinginan atau preferensi sosial yang konsisten dengan preferensi individu. Kehendak mayoritas memang kerap dianggap sebagai metode paling umum untuk pengambilan keputusan sosial dalam demokrasi. Namun harus disadari: cara pengambilan keputusan seperti ini memungkinkan adanya represi mayoritas terhadap minoritas. Sebagai contoh, jika ada tiga orang dengan tiga alternatif pilihan, apel, jeruk, dan mangga, orang pertama memiliki preferensi untuk memilih apel dibanding jeruk, dan jeruk dibanding mangga. Sedangkan orang kedua lebih memilih jeruk ketimbang mangga, serta mangga dibanding apel; orang ketiga lebih memilih mangga dibanding apel, dan apel dibanding jeruk.

Di sini kita akan melihat bahwa metode pengambilan keputusan berdasarkan mayoritas akan berujung pada suatu kondisi inkonsistensi. Dalam kasus di atas, kita bisa melihat bahwa secara mayoritas apel lebih disukai ketimbang jeruk, yang juga memiliki mayoritas atas mangga. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa mayoritas memilih mangga atas apel. Di sini prinsip transitivity telah dilanggar.

Temuan Arrow yang dikenal sebagai the impossibility theorem kemudian menunjukkan tidak ada satu cara pengambilan keputusan sosial yang konsisten, kecuali jika kita menerima sistem diktatorial di mana preferensi seseorang (misalnya preferensi orang pertama) dianggap merepresentasikan preferensi sosial. Dengan kata lain, kebebasan individu tidak bisa direpresentasikan oleh preferensi sosial, kecuali jika kita menerima sebuah sistem diktatorial. Jelas ini sebuah sistem yang ditentang oleh Sutan Sjahrir. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya teringat Amartya Sen. Sutan Sjahrir pasti tak membaca Sen, karena ia hidup beberapa dekade sebelum pemikiran Sen dikenal. Sen mencoba menjawab argumen Arrow dengan memasukkan unsur informasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam pemikirannya, Sen juga menempatkan peran yang amat besar bagi kebebasan dan persamaan (equality). Dalam bukunya, Inequality Reexamined (1992), ia menunjukkan bahwa persamaan memegang peran yang amat penting dalam semua filsafat politik. Bagi Sen sendiri, persamaan harus dipahami dalam konteks bagaimana ia mampu meningkatkan kapabilitas untuk memperoleh hidup yang layak (well being).

Di sini elemen kebebasan menjadi sangat penting karena—seperti yang dijelaskan dengan sangat teknis oleh Sen—kapabilitas harus merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Sen memberikan contoh: melek huruf, misalnya, memungkinkan orang membaca.

Kapabilitas dengan kata lain adalah sebuah bentuk kebebasan untuk mencapai berbagai alternatif functionings atau pilihan atas variasi hidup. Seseorang yang berpuasa, misalnya, mungkin memiliki functionings yang sama dalam hal jumlah makanan atau gizi seperti mereka yang miskin dan terpaksa lapar, tapi mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki capability set (kumpulan kapabilitas) yang lebih besar dibanding mereka yang miskin (yang pertama sebenarnya dapat memilih untuk makan atau tak makan, sedangkan yang kedua tidak).

Itu sebabnya kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting.

Terus terang saya begitu terkesima bahwa Sutan Sjahrir sudah membicarakan debat yang dibahas Sen ini jauh beberapa dekade sebelumnya—tentu tidak dalam format matematika yang rumit atau rumusan akademik yang kaku. Buku Sen, Development as Freedom, juga mengingatkan saya kepada pemikiran Soedjatmoko, yang berada satu garis dengan Sutan Sjahrir. Pemimpin Partai Sosialis Indonesia—yang kerap diidentikkan dengan gudang intelektual langka massa—ini memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

Satu bagian dari Perdjoeangan Kita yang juga menarik dikaji adalah sikap Sjahrir yang bagi banyak kaum revolusioner—atau yang merasa dirinya radikal—dianggap lemah dan mungkin sebuah kekalahan. Sjahrir tak berteriak keras kepada asing. Ia menulis: …. Selama dunia tempat kita hidup dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita tidak memiliki kebencian yang dalam pada kapitalisme. Ini menyangkut negeri kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin—selalu dengan syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita. Begitu pula dengan masuknya orang asing ke negara kita.

Sjahrir seperti mengisyaratkan bahwa tak perlu pembedaan antara modal asing dan pribumi, dan kerja sama dengan kapitalisme tak terhindarkan selama itu membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Mengejutkan, suara ini terdengar seperti suara yang membuka diri bagi globalisasi. Ia tak berbicara soal batas negara, ia berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya kira Sutan Sjahrir bisa sampai pada argumen ini karena pada dasarnya ia seorang humanis yang menjunjung tinggi kebebasan. Ada sesuatu yang lebih tinggi ketimbang batas geografis, dan itu adalah kesejahteraan manusia. Ia tak terkekang oleh nasionalisme. Sesuatu yang mungkin bagi orang sezamannya—bahkan bagi banyak orang saat ini—dianggap melampaui zamannya. Sutan Sjahrir memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus