Saya ikut bergembira, ada orang Indonesia memperoleh gelar doktor (cum laude) di Universitas Al-Azhar, Mesir, dengan disertasi tentang tafsir Quran oleh orang Indonesia pula, yakni Tafsir A-Azhar Hamka (TEMPO, 6 Mei 1989, Agama). Dalam tafsirnya itu, Hamka, menurut Dr. M. Roem Rowi, antara lain menggabungkan penafsiran secara naql dan aql (tekstual dan kontekstual). Juga menghindari pengaruh fanatisme mazhab. Saya setuju sekali dengan cara penafsiran seperti itu. Cara penafsiran yang tepat memang penting, terutama untuk mendudukkan perkara pada proporsinya, dan agar kita tak tergelincir atau salah tafsir. Masalahnya, orang, khususnya ulama, bisa tergelincir jika tak mempunyai cara penafsiran yang tepat. Ini terjadi, misalnya, pada penafsiran soal bekicot yang dilakukan ulama NU tahun lalu (TEMPO, 17 Desember 1988, Agama). Berikut ini saya ingin mencoba menunjukkan bagaimana menafsirkan secara naql dan aql itu. Menurut TEMPO, ulama NU mengharamkan bekicot. Haram baik untuk dimakan maupun dibudidayakan. Alasannya, bekicot tergolong hewan melata yang menjijikkan (hasyarat). Malahan disebutkan ukuran "jijiknya orang Arab". Ini aneh. Sebab, sebetulnya tak semua hasyarat itu haram. Bahkan, meski Islam mengharamkan sebagian binatang buas, toh tak semua hewan buas diharamkan. Tinjauan mengenai masalah ini bisa dilakukan, baik berdasarkan Quran, hadis, maupun pendapat ulama. Dalam Quran, empat kali Allah memberitahukan soal makanan yan diharamkan, dua kali di Mekah, dua kali di Madinah. Dalam ayat 145 Surah Al-An'am, misalnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad saw. agar menyatakan makanan yang diharamkan Allah. Yakni empat macam: bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan hewan yang dipotong bukan atas nama Allah, tetapi atas nama tuhan-tuhan orang kafir Mekah. Tiga yang pertama disebut rijs -- jijik, kotor -- lainnya fisiq, yang menyebabkan orang menjadi fasiq. Di Mekah terdapat empat suku (Bani Tsaqif, Bani Khuza-ah, Bani Amir bin So'soah, dan Bani Mudzlij) yang sering menjadi panutan dalam menentukan makanan yang haram dan halal. Karena masih saja ada kaum muslimin yang mengikuti "petuah" empat suku tadi, yaitu tak mengikuti firman Allah dalam ayat 145 Al-An'am tadi, Allah menurunkan lagi ayat 115 Surah An-Nahl. Nadanya agak keras. "... yang Aku haramkan hanya empat. Dan janganlah mengelompokkan yang ini haram yang ini halal dengan mengatasnamakan Aku." Setelah Nabi hijrah ke Madinah, muncul banyak pertanyaan penduduk Madinah tentang makanan yang diharamkan. Maka, turunlah ayat 168 Surah Al-Baqarah, yang nadanya menegaskan ayat-ayat tadi. Terakhir, turun ayat 3 Surah Al-Maidah. Nadanya sama. Tetapi Allah merinci, apa yang termasuk bangkai, yakni hewan yang mati dicekik atau dipukul (dengan batu, kayu, dan lain-lain), yang jatuh (dari gunung, misalnya), yang mati karena bertarung, dan sisa yang dimakan binatang buas. Semua ayat itu bernada sama: mengharamkan empat jenis makanan. Sejumlah hadis bisa kita kaji sehubungan dengan masalah tadi, yang bersifat rincian. Antara lain diriwayatkan Ibnu Umar. Rasulullah saw. bersabda, dihalalkan bagi kita dua jenis makanan yang mengandung darah, yaitu hati dan limpa dan dua bangkai, yakni ikan laut dan belalang. Tentang memakan keledai liar, Nabi bersabda, "Apa yang dihalalkan Allah tetap halal yang diharamkan tetap haram. Sedangkan yang Allah diamkan (tak memberikan penjelasan) berarti Allah memberikan maaf kepada kita." Lima ahli hadis (Bukhari, Muslim, dan !ain-lain) meriwayatkan, Nabi melarang hewan yang liar, yang buas, bertaring, dan burung yang bertaring (memakan bangkai). Tentang memakan dzab (sejenis biawak atau kadal besar), Nabi menyatakan, "Tidak haram. Karena tak ada di tempat-Ku, Aku kurang berselera atas makanan itu." Para ulama, antara lain Syafii, menyebutkan dua jenis binatang buas yang dihalalkan dan dua jenis hasyarat. Yang pertama, dzubu' (sejenis singa yang kecil) dan tsa'lab (mirip anjing hutan). Sedangkan dua hasyarat adalah al-yarbuu' (mirip tikus) dan gunfuth (sejenis landak). Bagaimana bekicot? Dalam bahasa Arab bekicot disebut halazuun. Al-Umm Imam Syafii tak menyebutkan halazuun, maka saya berkesimpulan halazuun atau bekicot halal, baik dimakan maupun dibudidayakan. Hanya saja, bila akan dimakan harus dijadikan thoyyiban dulu, yaitu dibersihkan dari unsur yang membawa efek samping.ALI TOHA Jalan Untung Surapati 31 Kedunglumbu Solo Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini