Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anugerah itu dan diplomasi utang

Presiden soeharto tiba kembali di indonesia, menerima penghargaan PBB karena berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk di indonesia. di AS, Presiden Bush janji akan membantu ekonomi dan perdagangan.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH terbang sekitar 15 jam dari Jenewa, pukul 08.20, dan singgah mengisi bahan bakar di Abu Dhabi, Senin pagi pekan ini pesawat DC-10 Garuda yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma. Sebuah perjalanan yang menggembirakan, tentunya. Presiden meninggalkan Jakarta Senin pekan lalu menuju New York, untuk menerima penghargaan dari PBB, karena berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Sebelumnya, yang menerima penghargaan tertinggi PBB adalah mendiang PM India, Indira Gandhi (1983), lalu Presiden Bangladesh Muhammad Ershad (1987). Bagi Soeharto, program kependudukan dan KB erat kaitannya dengan program menyejahterakan rakyat. Dengan memajukan program itu, maka satu saat -- menurut Presiden sekitar tahun 2050, ketika manusia Indonesia berjumlah 250 juta -- penduduk Indonesia akan berada dalam posisi stasioner, alias tak akan bertambah lagi. "Dalam pertumbuhan nol seperti itu, lebih mudah bagi kita untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran," kata Presiden kepada para wartawan yang ikut rombongan, dalam perjalanan pulang ke tanah air. Melaksanakan pembangunan, menurut Kepala Negara, merupakan amanat rakyat. "Jadi, dalam keadaan bagaimanapun, pembangunan harus bisa jalan," katanya. Harap dicatat, pembangunan membutuhkan stabilitas nasional. Maka, bila pemerintah selalu menyebut-nyebut stabilitas nasional, kata Presiden, "Bukan berarti pemerintah ingin mengurangi kebebasan dan hak-hak asasi yang dimiliki perorangan atau golongan yang ada." Komitmen Presiden Soeharto terhadap masalah kependudukan ini, ternyata dipantau oleh komite penghargaan kependudukan PBB (The Committee for the United Nations Population Awards) yang dipimpin oleh Mario Moya Palencia. Komite dengan anggota dari 10 negara itu dibentuk sejak PBB memberikan penghargaan tersebut kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang kependudukan, sejak 1983. Setelah berunding beberapa kali selama Januari dan Februari silam, komite pun sepakat memutuskan memberikan penghargaan untuk kategori perorangan kepada Presiden Soeharto. Penghargaan untuk kategori lembaga diberikan kepada badan nasional kependudukan Togo, sebuah negara berpenduduk 3,2 juta, di barat daya Arika. Tak mengherankan bila Mario Palencia yang dihubungi TEMPO mengatakan, "Hasil yang dicapai Indonesia dengan 13 ribu pulau adalah yang terbaik di dunia." Kebijaksanaan pemerintahan Soeharto telah amat berhasil menekan angka kelahiran di Indonesia, dari 48,8 kelahiran per seribu penduduk pada 1971, menjadi 28,5 ditahun 1987. Maka, tepuk tangan pun meledak di ruang sidang utama markas besar PBB Kamis sore pekan lalu (Jumat dini hari di sini) ketika Sekjen PBB Javier Perez De Cuellar menyerahkan piagam penghargaan itu ke tangan Presiden RI Soeharto. Di forum itu puLa orang No. 1 di Indonesia menjelaskan bahwa strategi KB di negerinya merupakan perombakan tata nilai dan norma-norma yang ada. Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di desa, Presiden RI ini mengetahui betul apa arti setiap anak bagi orangtuanya: ia membawa rezeki masing-masing, yang akan menolong sang ayah di ladang atau ibu di dapur, dan penawar hati orangtua kala menghadapi kesulitan. Pandangan yang tradisional itu dapat diubah menjadi: keluarga kecil, bahagia, dan seiahtera. "Jelas, ada jurang pemikiran yang lebar yang harus dilompati sebelum kami memulai program ini," kata Presiden. Keberhasilan itu, selain karena meningkatnya usaha pembangunan dan modernisasi, terutama karena peranan para pemangku norma sosial budaya yang dipercayai masyarakat, yaitu pemuka agama dan pemuka masyarakat. Mereka selalu mengingatkan bahwa anak bukanlah hanya milik orangtua untuk jaminan hari tua, tapi juga titipan Tuhan yang harus dibesarkan, dan dididik agar menjadi manusia yang berguna. "Bagi masyarakat kami yang umumnya sangat kuat rasa keagamaannya, pemikiran seperti itu merupakan terobosan yang membukakan jalan bagi program keluarga berencana," katanya. Presiden lalu mengemukakan peranan partisipasi pekerja lapangan KB, serta kegiatan sekitar 200.000 institusi pedesaan berupa kelompok akseptor KB, PKK, posyandu, dan sebagainya. Sebelum menerima penghargaan itu, paginya, anak petani yang dilahirkan di Kemusu, Yogyakarta, 8 Juni 1921, memperingati ulang tahunnya yang ke-68, dalam sebuah upacara syukuran yang sederhana, di ruang suite Presiden di Hotel Plaza, New York. Presiden memotong tumpeng, dilanjutkan dengan pembacaan Surat Al-Fatihah yang dipimpin Ny. Tien. Pemberian anugerah jatuh bersamaan di hari ulang tahun Presiden, menurut Mensesneg Moerdiono karena, "Orang-orang di PBB tahu hari lahir Pak Harto, sehingga ya dipaskan saja." Malamnya Presiden berbicara di depan masyarakat Indonesia di New York. Sedang esoknya, Jumat, Soeharto terbang ke Washington untuk berunding dengan George Bush. Presiden Soeharto, antara lain, meminta perhatian Presiden Bush tentang adanya pejabat keuangan AS yang dianggap kurang mengerti posisi dan sikap Indonesia dalam menangani masalah utang luar negeri. Pejabat keuangan AS yang dimaksudkan agaknya adalah Menteri Keuangan Nicholas Brady. Dia melontarkan gagasan yang amat menguntungkan negeri-negeri berkembang yang tak mampu ataupun tak mau mencicil utang luar negerinya. Kalau gagasan Menteri Brady dijalankan, maka Indonesia, yang terkenal taat mencicil utang luar negerinya, merasa dirugikan. Apresiasi nilai yen terhadap dolar AS membuat beban utang RI semakin membengkak. Akibatnya, cicilan utang Indonesia mencapai 33% dari seluruh pengeluaran pemerintah selama 1989-90. Lalu apa hasil pembicaraan Soeharto dengan George Bush? "Pada dasarnya, Presiden Bush mengatakan akan membantu masalah ekonomi dan perdagangan Indonesia. Dan soal utang itu juga menjadi perhatiannya," kata Presiden.Amran Nasution, Yusril Djalinus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum