Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tahun kerbau, tahun fiskus

Th anggaran 1985/1986 pemerintah meningkatkan pemungutan pajak. Para pengusaha gelisah karena pasar masih lesu. Masyarakat tidak biasa membayar pajak banyak. Tetapi konjungtur internasional membaik. (kl)

9 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA usaha swasta menyongsong permulaan tahun anggaran baru 1985/1986 dengan rasa harap-harap cemas. Umumnya disadari, tahun 1985 masih merupakan tahun yang berat, walaupun para pengamat ekonomi yang terkenal meramalkan tahun 1985 paling tidak akan sedikit lebih baik daripada 1984. Kalau tahun Tionghoa yang baru adalah tahun kerbau, tahun anggaran 1985/1986 bagi dunia usaha adalah "tahun fiskus" alias tahun pajak. Karena pemerintah hendak meningkatkan penerimaan dari sektor nonmigas, maka pengumpulan pajak penghasilan, pajak penjualan, dan pajak kekayaan digalakkan. Tarif tertinggi memang diturunkan. Namun, karena pelaksanaan serta pengumpulannya akan lebih ketat, akhirnya banyak pengusaha akan terpaksa membayar pajak jauh lebih banyak dari semula. Tadinya tarif-tarif lebih tinggi, tapi berapa yang harus dibayar dapat "didamaikan". Pemerintah pun tidak begitu getol mengumpulkan pajak, karena pajak minyak bumi sudah lebih dari cukup. Maka, dahulu, yang banyak membayar pajak kepada pemerintah adalah orang asing yang menggunakan BBM asal minyak bumi Indonesia. Mengapa masalah pajak menjadi sumber kecemasan? Pertama, karena masyarakat belum biasa membayar banyak pajak. Kedua, pasar masih lesu, sehingga pajak atas kegiatan usaha sebagian besar tidak dapat digeserkan kepada khalayak pembeli dan konsumen, dan terpaksa ditampung pengusaha-produsen. Hal demikian akan mengurangi marge keuntungannya serta cash flownya. Dalam sistem pajak yang baru, pajak pertambahan nilai ((PPN) harus dibayar lebih dini daripada datangnya pembayaran dari penjualan barang - sehingga ada kemungkinan perusahaan harus pergi ke bank untuk menambah kredit. Dengan bunga yang sekitar 26% setahun, siapa yang tidak gusar? Pajak penjualan baru sudah pasti menaikkan harga BBM. Rokok-rokok kretek dan putih juga akan menanggung beban besar. Demikian pula tekstil, minuman dalam botol, dan barang kelontong, yang pasar dalam negerinya masih lesu. Karena usaha bangunan juga dipungut pajak penjualan, biaya konstruksi dan bangunan akan naik, sehingga industri bahan bangunan yang hidupnya masih sangat merana tidak dapat menghilangkan perasaan cemasnya. Industri sepeda motor sangat berkecil hati karena biaya produksinya akan bertambah banyak - harus membeli suku cadang dalam negeri, hasil deletion program, dan barangnya dimasukkan klasifikasi barang mewah. Padahal, sepeda motor di daerah sangat berfungsi sebagai alat kendaraan serba guna. Pajak kekayaan juga banyak membuat para pengusaha yang mempunyai banyak aset atas nama pribadi tidak bisa tidur: harga atau nilai berapa harus mereka pakai untuk mengisi formulir pajak itu? Kalau tanah dan bangunan yang sudah diperoleh berpuluh tahun yang lalu kini harus dicantumkan atas dasar harga pasar sekarang, maka jumlah pajak yang harus dibayar menjadi besar. Sebaliknya, kalau nilai historis dimasukkan, sang pengusaha tetap cemas kalau ingat berapa pajak penghasilan nanti harus dibayarnya kalau sampai harus menjual aset (harta kekayaan) itu. Sebaliknya, menjelang tahun anggaran baru toh ada juga harapan bagi pengusaha. Pertama: konjungtur internasional baik, sehingga yang berhasil mengekspor akan aman hidupnya. Terkecuali industri tekstil dan pakaian jadi, yang sedang diancam Amerika Serikat dengan countervailing duties. Pelipur hati lain: lebih besarnya pengeluaran anggaran belanja negara. Tahun lalu, pelaksanaan anggaran belanja ini jauh di bawah sasaran - sehingga Siap-nya besar, dan dampak anggaran belanja pemerintah pada pasar menjadi kontraktif dan deflatoir. Sektor bangunan dan industri bahan bangunan sangat menderita, tetapi secara tidak langsung juga industri kendaraan bermotor dan usaha pengangkutan. Harapan sekarang: Siap ini dicairkan, sehingga lebih banyak uang akan masuk pasar. Juga karena kenaikan gaji pegawai negeri. Kalau anggaran belanja pemerintah betul-betul dapat dilaksanakan, konjungtur dalam negeri akan membaik. Satu kecemasan lain adalah kalau harga-harga minyak bumi turun drastis, sehingga pengeluaran anggaran belanja harus diturunkan. Hal demikian memang merupakan keprihatinan besar. Tapi kebijaksanaan penghematan pemerintah dapat disesuaikan: yang ditangguhkan hendaknya pengeluaran yang padat devisa, padat modal, dan yang tidak cepat menghasilkan (quick yielding). Kebijaksanaan merangsang penanaman modal swasta harus lebih dilonggarkan agar investasi ini dapat mengimbangi kekurangan-kekurangan keramaian konjungtur. Penggalakan ekspor nonmigas juga harus digarap ''all-out" sebagai dikatakan oleh Presiden baru-baru ini, "sebagai tekad nasional".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus