IA merasa disisihkan oleh gurunya, lalu membakar sekolah itu. Murdianto, murid kelas VI SD Talang Negeri, tak menolak dituduh oleh polisi telah membakar sekolahnya sendiri. Sebabnya, ia merasa sakit hati. Yakni, sewaktu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, beberapa hari sebelum kebakaran, dialah satu-satunya siswa yang tak mendapatkan pembagiaN buku. TapI ini bukan satu-satunya sebab. Di kantor polisi, tempat siswa ini ditahan Selasa pekan, lalu kepada TEMPO ia berkisah: selalu dituduh menjadi biang keonaran meski orang lain yang berbuat. Kebakaran itu terjadi tengah malam, 7 Februari lalu Ketika warga Desa Talang Kecamatan Guguk, 157 km utara Padang, Sumatera Barat, lagi tidur, tiba-tiba SD Negeri itu menyala. Cerita Murdianto, 14, lalu ia membangunkan ayahnya yang juga ketua BP 3 (Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan) SD itu. Kedua bapak beranak itulah yang kemudian berteriak-teriak membangunkan penduduk sekitar SD, yang kemudian mencoba memadamkan api dengan apa saja. Sebagian, termasuk Murdianto, mencoba menyelamatkan buku-buku, meja dan bangku sekolah. Tapi bangunan berlangit-langit triplek itu tak terselamatkan lagi. Empat lokal dan satu ruangan guru -yang dibangun sekitar 10 tahun lalu - ludes, tinggal runtuhan kayu dan bata hangus. "Aduh, sekolah ini kita bangun dengan beras genggaman," kata Maisir Datuk Bandaro Sati, 43, ayah Murdianto, yang menaksir kebakaran ini menghabiskan bangunan seharga Rp 16 juta. Malam itu juga pihak kepolisian kecamatan langsung datang. Keesokan harinya dilakukan pengusutan. Tak diperoleh petunjuk. Akhirnya, beberapa hari kemudian, polisi mengalihkan perhatian kepada murid-murid yang dikenal nakal, suka bikin gara-gara. Murdianto ada di urutan pertama. Tapi waktu dicari polisi, 17 Februari lalu, murid yang dikenal nakal ini tak ada di rumah. O, ya, 160 siswa-siswa SD itu untuk sementara menumpang belajar di sebuah SD Inpres sekitar 1,5 km dari sekolah yang terbakar. Polisi, kemudian, menemukan yang dicari duduk di warung di ujung desa, membawa tas pakaian. Kepada polisi, anak kedua dari lima bersaudara ini mengatakan bahwa ia akan pergi dari desanya. Setelah tanya jawab sebentar, Murdianto ternyata tak bisa memberikan alibi di malam kejadian. Lalu, anak yang jago memetik gitar dan meniup seruling ini menyerah. Ia mengaku, dialah yang membakar sekolahnya. Malam itu Murdianto tak kuat lagi menyimpan sakit hati terhadap sekolahnya. Selain tak kebagian buku PMP, beberapa hari sebelumnya ia dituduh Nur Ikhlas, gurunya, melemparkan kulit pisang ke tengkuk guru. Malam itu, sambil menyulut rokok kretek Gudang Garam, ia masuk ke kelasnya lewat jendela kaca yang sudah pecah. Buku PMP yang membuat ia sakit hati didapatinya di dalam lemari, yang tak terkunci. Berniat melenyapkan buku-buku itu, ia menyulut tumpukan itu dengan api. Sulutan pertama tak berhasil. Pada sulutan kedua, api pun membesar. Anak itu lalu keluar dari kelas, bersembunyi di sebuah pondok di kebun kosong, tak jauh dari sekolah. Dari pondok itulah ia mengharap buku-buku PMP itu hangus jadi abu. Tapi mana tahu si api hanya ditugasi membakar buku? Murdianto melihat, tiba-tiba nyala api muncul dari atap sekolah. Anak yang dinilai oleh Rasyidah, kepala sekolahnya, sebagai anak brilyan ini pun cemas. Lalu ia berlari membangunkan ayahnya. Polisi mula-mula tentu tak percaya kepada cerita ini. Tapi, setelah Murdianto menunjukkan pondok tempat ia bersembunyi, dan di situ masih ditemukan korek api miliknya aparat keamanan ini lalu percaya, dan Murdianto pun ditahan di Polsek Dangung Dangung, Kecamatan Guguk. Maisir Datuk Bandaro Sati dan Murni, ayah dan ibu Murdianto, mengakui bahwa tingkah laku anak lelaki satu-satunya ini memang memusingkan. "Ia jarang tidur di rumah, hanya pulang untuk ganti pakaian," tutur Maisir, pedagang gambir dan peternak ayam yang kecukupan ini. Bila dinasihati, tutur ayah yang disegani masyarakat desanya ini, "Ia cuma diam, tapi ia akan mengulangi kenakalannya." Bapak yang pernah terpilih jadi wali jorong (kepala dukuh) Talang ini memang pernah berniat memeriksakan anaknya kepada ahli psikologi. Sayang, di Payakumbuh, kota madya terdekat dari Talang, yang ada cuma psikiater - dan kala itu pun sedang pergi ke Jakarta. Di sekolah, Murdianto sama saja bengalnya, kendati ia selalu juara pertama dari kelas I sampai V. Menurut kepala sekolahnya, bila latihan kesenian, murid satu ini selalu meninggalkan kelas, memilih berlatih memetik gitar dan meniup seruling sendirian. Bila pelajaran baris-berbaris, Murdianto selalu memberi aba-aba dari dalam barisan, meskipun ia bukan pimpinannya.Maka, ia pernah dijadikan ketua kelas. Tapi, celaka, teman-temannya yang tak patuh kepadanya lalu dipukuli. Sebenarnya, Murdianto datang dari keluarga terpandang dan disegani masyarakat sekitar. Bapaknya ikut ambil bagian yang tak kecil dalam membangun SD yang dibakarnya itu. Bahkan Maisir, seperti telah disebutkan, kemudian dipercaya menjadi ketua BP3. Tapi anak cerdas ini mungkin , kurang mendapat tantangan, hingga berbuat yang bukanbukan. Untunglah, peristiwa ini telah menjadi guru bagi Murdianto, meski guru yang mahal. Di tahanan Polsek, Murdianto tampaknya telah berubah. "Saya malu," katanya kepada Fachrul Rasyid dari TEMPO, "teman-teman jadi susah sekolah karena saya." Uang kiriman sanak keluarganya, yang terkumpul Rp 30.000, diserahkannya kepada ibunya, untuk disumbangkan guna mendirikan sekolah baru. Dan katanya, "Nanti, setelah saya keluar dari tahanan, saya tak akan pulang kampung sebelum Jadi sarjana." Ia kini menunggu diajukan ke pengadilan. Berkas perkaranya sedang disiapkan oleh Polres Payakumbuh. Sementara itu, bantuan untuk mendirikan kembali sekolah itu datang dari mana-mana - kabupaten dan SDSD lain di Kecamatan Guguk, antara lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini