Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menanti Legalisasi Ganja Medis

Sebelum Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan, Kementerian Kesehatan harus mengkaji manfaat ganja bagi keperluan medis. Penegakan hukum sebaiknya dikesampingkan dulu.

29 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Editorial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Kesehatan perlu mengkaji semua penelitian untuk melihat manfaat ganja bagi keperluan medis.

  • DPR mengaku akan mengkaji legalisasi ganja untuk kebutuhan medis.

  • Ma’ruf Amin juga meminta Majelis Ulama Indonesia membuat fatwa.

Keputusan Mahkamah Konstitusi soal status penggunaan ganja untuk keperluan medis amat dinanti publik. Sebelum keputusan diambil, Kementerian Kesehatan seharusnya mengkaji semua bukti ilmiah yang ada soal manfaat dan dampak buruk ganja jika dipergunakan dalam terapi kesehatan. Polisi dan jaksa juga perlu rehat dari urusan perburuan pengguna ganja di negeri ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Urgensi keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini mengemuka setelah aksi demonstrasi seorang ibu bernama Santi Warastuti jadi viral di media sosial, akhir pekan lalu. Membawa papan putih bertulisan “Tolong, anakku butuh ganja medis”, Santi menggugah hati berbagai kalangan untuk bersama-sama mendesak Mahkamah dan Kementerian Kesehatan mengkaji kembali status mariyuana. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Unjuk rasa solo Santi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, pada Minggu, 26 Juni lalu, itu sontak menerbitkan simpati khalayak ramai. Pasalnya, sejak November 2020, dia telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi perihal penggunaan ganja untuk keperluan medis dalam Undang-Undang Narkotika. Dua tahun berlalu, setelah delapan kali persidangan, nasib Santi terus menggantung.  

Santi, perempuan asal Sleman, Yogyakarta, ini memperjuangkan pengesahan ganja medis untuk keperluan pengobatan anaknya, Pika. Sejak lahir, Pika mengalami cerebral palsy, kondisi kelainan tubuh yang sulit diobati. Hingga saat ini, terapi yang paling efektif adalah menggunakan minyak biji ganja.

Sejumlah studi memang menemukan senyawa dalam minyak yang diekstraksi dari tanaman ganja bisa mengurangi nyeri serta mengatasi epilepsi, kanker, gangguan kecemasan, dan ketergantungan obat. Terapi cannabidiol (CBD oil) ini sudah diterapkan di setidaknya sembilan negara, di antaranya Finlandia, Selandia Baru, dan Britania Raya.

Akan tetapi, sebelum Mahkamah mengambil keputusan, ada baiknya Kementerian Kesehatan mengkaji serius semua bukti ilmiah dan jurnal penelitian yang sudah ada tentang ganja medis. Menteri Budi Gunadi Sadikin perlu mempelajari semua penelitian resmi untuk melihat manfaat ganja bagi keperluan medis. Pro dan kontra pasti selalu ada, namun itu semua bisa dimitigasi jika data pendukung untuk sebuah kebijakan dapat dipertanggungjawabkan.

Bila mayoritas hasil penelitian Kementerian Kesehatan menunjukkan ganja bermanfaat untuk kebutuhan medis, pemerintah jelas tak perlu ragu menurunkan statusnya ke  narkotik kelas dua atau tiga. Toh penggunaan jenis narkotik lain, seperti morfin dan metadon, yang memiliki efek lebih hebat dari ganja, sudah biasa diterapkan di dunia medis sepanjang di bawah pengawasan dokter.

Belum lama ini tetangga kita, Thailand, sudah melangkah lebih jauh. Pemerintah di sana melegalkan penanaman dan konsumsi ganja sebanyak mungkin, dengan beberapa batasan kecil ihwal cara penjualan. Sebelumnya, Thailand menerapkan hukuman mati bagi terpidana penyelundup narkotik. Bahkan penjara-penjara di sana mengalami kelebihan penghuni, yang otomatis membuat pemerintah Thailand mengucurkan anggaran besar. Dari total 321 ribu tahanan pada 2017, sebanyak 70 persennya dibui karena terlibat kasus narkotik.

Perubahan di Thailand seharusnya menjadi inspirasi kita di Indonesia. Kondisi Thailand sama dengan republik ini. Narapidana narkoba mendominasi penghuni lembaga pemasyarakatan di Tanah Air. Per Agustus 2021, dari 151.303 narapidana tindak pidana khusus, sebanyak 96 persennya adalah napi narkotik. Dari jumlah itu, sebanyak 116.930 pengedar, sementara sisanya pengguna. Hal ini menjadi salah satu penyebab kelebihan penghuni di semua lapas. 

Merespons desakan publik belakangan ini, angin segar sudah datang dari Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka mengaku akan mengkaji legalisasi ganja untuk keperluan medis pada masa sidang berikutnya. Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga meminta Majelis Ulama Indonesia membuat fatwa baru tentang penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.

Sembari menunggu perangkat hukum yang baru, polisi dan penegak hukum lain sebaiknya tidak lagi mengkriminalkan pengguna ganja untuk kebutuhan medis. Penegakan hukum bisa menunggu sampai ada keputusan final dari Mahkamah Konstitusi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus