Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ancaman Politisasi Riset

Keputusan pemerintah memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari  Kementerian Riset dan Teknologi lebih diwarnai kepentingan politis ketimbang teknokratik. Banyak riset penting bisa terganggu. 

8 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Presiden Joko Widodo memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Kementerian Riset dan Teknologi mencerminkan dominannya pertimbangan politik dalam strategi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Penetapan BRIN sebagai lembaga otonom tak bakal serta-merta  menjadi solusi atas mandeknya riset dan inovasi di negeri ini. Apalagi jika Kementerian Riset dan Teknologi justru dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keputusan Jokowi itu malah bisa menjadi blunder besar bagi dunia penelitian kita. 

Kisruh BRIN ini bermula dari keinginan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk ikut mendesain lembaga yang dirancang menjadi payung semua kegiatan riset dan inovasi di Indonesia tersebut. Di Dewan Perwakilan Rakyat, Fraksi PDIP memang aktif mengawal pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem llmu Pengetahuan dan Teknologi, peraturan yang menjadi dasar pendirian BRIN. Namun desain BRIN ala Fraksi "Banteng" itu rupanya tak cocok dengan rencana yang disiapkan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro.  

Akibat silang pendapat itu, Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 yang menjadi dasar hukum struktur Kementerian Riset tidak kunjung diperbarui ketika masa berlakunya berakhir pada 30 Maret 2020. Ada kabar bahwa peraturan baru yang sudah diteken Presiden Joko Widodo--yang isinya menyetujui fungsi BRIN diemban Kementerian Riset dengan tambahan sejumlah deputi--malah tak diproses oleh Kementerian Hukum. Akibatnya, selama 16 bulan, Kementerian Riset berjalan tanpa struktur organisasi yang pasti. Insubordinasi Menteri Hukum Yasonna Laoly semacam itu jelas tidak bisa dibenarkan.

Sungguh disayangkan, alih-alih memberikan sanksi kepada bawahan yang tidak menindaklanjuti perintah, Presiden Joko Widodo kini justru berbalik 180 derajat. Tak hanya membatalkan persetujuannya pada desain BRIN yang diemban Kementerian Riset, Presiden kini juga merestui pendirian BRIN sebagai lembaga otonom. Jangan terkejut jika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kelak didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN, sebagaimana permintaan sejumlah politikus partai berlambang banteng itu sedari awal. 

Rencana pemisahan BRIN dari Kementerian Riset ini jelas lebih didorong oleh syahwat politik partai pendukung pemerintah ketimbang motif memajukan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditambah  rencana penghapusan Kementerian Riset dengan meleburkan fungsinya pada Kementerian Pendidikan, keduanya merupakan langkah mundur dalam desain dan strategi kebijakan riset nasional kita.

Alasannya sederhana: secara administrasi, proses pemisahan BRIN dan peleburan Kementerian Riset jelas akan membutuhkan waktu dan energi yang tak sedikit. Keruwetan proses transisi ini berpotensi menghambat banyak proyek riset penting yang saat ini tengah berjalan. Padahal sejumlah riset itu dirancang khusus untuk merespons situasi pandemi Covid-19. Keputusan keliru Presiden soal desain BRIN ini mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah untuk pengembangan riset dan teknologi. 

Sedangkan soal yang lebih substansial, seperti anggaran dan dukungan infrastruktur riset, belum jelas benar bagaimana keputusan pemisahan BRIN bakal berperan. Kaitan antara BRIN yang otonom dengan perguruan tinggi dan industri, dua motor utama pengembangan riset dan inovasi di banyak negara lain, tak muncul dalam pertimbangan pemerintah ketika membuat kebijakan ini. 

Dalam soal anggaran, selama ini keberpihakan pemerintah kepada riset dan inovasi sungguh minim. Dari total APBN 2021 sebesar Rp 2.750 triliun, alokasi untuk riset hanya Rp 9,9 triliun (0,36 persen). Ini jauh lebih rendah dibanding anggaran riset negara lain di ASEAN.

Selain soal dana, rendahnya perhatian pemerintah terlihat dari keterbatasan jumlah peneliti dan sarana penunjang riset. Konsekuensinya kemudian bisa dilihat dari Indeks Inovasi Global 2020. Dalam daftar itu Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 131 negara, tak berubah sejak 2018. Indonesia hanya menempati posisi ke-14 dari 17 negara di Asia Tenggara, Asia Timur, dan Oseania.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkembangan ini amat mengkhawatirkan. Tanpa riset dan inovasi yang mumpuni, mustahil bangsa Indonesia bisa bersaing di tengah percaturan global. Kualitas sumber daya manusia merupakan modal utama kemajuan negara ini. Ketika badan riset saja bisa dikocok ulang hanya demi pertimbangan politis, sulit membayangkan pemerintah punya strategi pengembangan ilmu pengetahuan yang komprehensif dan efektif.  (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus