Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alkisah, ketika berpidato, seorang presiden keseleo lidah. Lalu sebagian rakyatnya yang terlampau sensitif marah-marah. Para pembantu presiden berusaha meredakan kegaduhan itu, tapi dengan cara yang salah. Alih-alih mereda, cekcok di ruang publik pun kian ramai saja. Sialnya, itu bukan kisah rekaan di negeri antah-berantah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berpidato pada "Hari Bangga Buatan Indonesia", 5 Mei 2021, Presiden Joko Widodo mempromosikan makanan khas daerah yang bisa dipesan secara daring ketika perantau tak bisa mudik Lebaran tahun ini. Jokowi pun menyebutkan contoh makanan khas daerah, seperti gudeg Yogya, siomai Bandung, bandeng Semarang, pempek Palembang, dan bipang Ambawang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh terakhir yang disebut Jokowi, bipang Ambawang, segera memicu kegaduhan. Video rekaman pidato singkat Presiden viral di media sosial. Kelompok yang kerap mengkritik pemerintah menggorengnya dengan bumbu bahwa Jokowi tak sensitif mempromosikan makanan yang haram menurut Islam. Apalagi promosi itu persis menjelang Idul Fitri, hari raya yang sangat penting bagi umat Islam. Kelompok masyarakat yang sensitif dengan urusan halal-haram pun meradang.
Urusan keseleo lidah itu semestinya tak diributkan berlama-lama, apalagi dibawa-bawa ke wilayah agama. Katakanlah Presiden tidak salah ucap, anggap saja Jokowi tidak tahu bahwa bipang itu akronim dari babi panggang. Presiden mungkin mendapat naskah pidato singkat yang minus penjelasan dari anggota stafnya. Rakyat yang bijak tak ada salahnya memaafkan kekeliruan pemimpinnya. Tapi jalan ceritanya tidak seperti itu.
Kebakaran jenggot, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, yang punya hajatan "Hari Bangga Buatan Indonesia", buru-buru membuat klarifikasi. Pidato Jokowi itu, menurut dia, konteksnya promosi kuliner Nusantara, bukan hanya kuliner khusus umat Islam. Apalagi, pada 13 Mei 2021, bukan hanya umat Islam yang bakal merayakan Lebaran. Umat Nasrani, yang tidak mengharamkan babi, juga akan merayakan hari Kenaikan Isa Almasih. Sampai di sini, penjelasan Lutfi terdengar masuk akal. Sayangnya, di akhir penjelasannya, Lutfi juga meminta maaf bila promosi bipang Ambawang itu menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Kalau memang tidak ada yang salah, apa perlunya meminta maaf.
Kegaduhan di jagat maya menjadi-jadi setelah juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, membuat kesalahan baru. Dia mengunggah cuitan soal “bipang” yang disebutnya “jipang”, makanan dari beras, khas Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Fadjroel seharusnya tidak meremehkan pengetahuan masyarakat soal kuliner. Bipang Ambawang, makanan khas asal Pontianak, Kalimantan Barat, jelas berbeda dari jipang, makanan khas asal Banjarmasin. Apa hendak dikata, heboh bipang Ambawang kian melebar ke mana-mana.
Lebih dari sekadar urusan salah ucap pejabat, ribut-ribut soal bipang Ambawang menunjukkan masalah yang lebih serius: amburadulnya koordinasi pada pemerintahan saat ini. Bagaimana bisa penjelasan seorang juru bicara presiden berbeda arah 180 derajat dengan penjelasan seorang menteri. Celakanya, miskoordinasi seperti ini berkali-kali terjadi. Bila dalam urusan sederhana saja pejabat negara tak bisa bekerja sama, bagaimana mereka mengurusi masalah lain yang jauh lebih rumit akarnya.
Ke depan, agar Presiden tak sering-sering keseleo lidah, Menteri Sekretaris Negara Pratikno harus lebih selektif menyaring bahan pidato yang akan dibacakan Jokowi. Tentu saja Jokowi pun seharusnya tidak asal membaca atau menghafal teks yang disiapkan para staf, tanpa mengecek akurasi dan menimbang konsekuensinya. Klarifikasi belakangan oleh para pembantu presiden yang saling bertentangan akibat buruknya koordinasi bisa dianggap sebagai kebohongan yang disengaja. Begitu ketahuan, buruknya koordinasi dan kebohongan pejabat sama-sama memalukan. •
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo