Dalam Nukilan Buku, TEMPO, 6 Maret 1993, dikupas soal sepak terjang konglomerat Cina perantau (hua qiao). Dikatakan, sekarang hua qiao di seluruh dunia berjumlah 50 juta, mendominasi ekonomi Asia Tenggara, mengontrol dua pertiga perdagangan eceran, meski jumlah mereka hanya 10 persen dari total penduduk. Di Indonesia, yang jumlah Cina perantaunya hanya 5%, mereka bisa menguasai 75% aset yang ada. Konglomerat Cina, grup Liem, menguasai 5% GDP (pendapatan kotor nasional). Lebih lanjut dikatakan oleh Raja Siam Rama VI, puak Cina ''hidup seperti tikus'' dan memakan ''makanan yang tak layak bagi manusia'' demi menyisihkan saingan dagang mereka. Di sini konglomerat Cina selalu dikonotasikan negatif: serakah, eksklusif, tetap setia kepada tanah leluhur, dan sederetan cap negatif lainnya. Ini jelas tidak adil. Pikiran diskriminasi rasial harus dikikis habis, karena mereka pun makhluk ciptaan Tuhan seperti kita. Di samping itu, perlakuan yang diskriminatif bertentangan dengan konstitusi dan hukum (vide: UUD 1945, Pasal 27 Ayat 1 jo Pasal 5 Ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970). Dalam konteks ini, timbul suatu pertanyaan, apakah konglomerat itu baik atau buruk. Untuk menjawab pertanyaan itu, harus diadakan penilaian terhadap perilaku sang konglomerat. Dalam hal ini, saya ingin mengutip tulisan Kwik Kian Gie dalam ''Bermimpi Menjadi Konglomerat''. Konglomerat merupakan kumpulan dari sentra laba. Ciri pokok dari sentra laba adalah perilaku yang selalu tunduk terhadap persaingan dan mekanisme pasar, walaupun berhubungan dengan sentra laba kelompoknya sendiri karena pemiliknya sama. Dalam pengertian ini, konglomerat adalah baik. Konglomerat dinilai buruk bila mempunyai perilaku dirty and tricky mind, yaitu pikiran kotornya orang gadungan, cara-cara cerdik, licik, yang tidak mengenal hati nurani dan etika, menyalahgunakan segala celah yang tersedia untuk memiliki konglomerat dalam waktu singkat, dan lalu menggunakan konglomeratnya untuk memanipulasi dan berkelit dengan cara pat- pat-gulipat dan sim-sim-salabim, supaya orang luar bingung dan tidak ada yang bisa mengontrolnya. Di Indonesia, menurut Christianto Wibisono terdapat 263 konglomerat sejati yang menguasai omset Rp 52 triliun melalui mekanisme pasar yang jujur. Mereka menjadi besar karena kerja keras, mengumpulkan sen demi sen, rupiah demi rupiah, bukan karena tuyul lisensi. Sedangkan selebihnya 37 konglomerat termasuk tipe konglomerat semu, yang mengandalkan lisensi dan proteksi. Atau dengan kata lain disebut ''pengusaha klien'', yakni individu dan perusahaan yang tergantung penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya. Adalah dosa besar bila kita nggebyah uyah bahwa semua konglomerat adalah buruk dan manipulatif. Yang buruk adalah jenis konglomerat semu yang bersekongkol dengan penguasa melahirkan konglomerat ''tuyul modern'' melalui pintu proteksi dan lisensi. HADI DARMONO, S.H. Jalan Jenderal Sudirman 581 Purwokerto 53114 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini