TEMPO, 27 Februari 1993, memuat urun rembuk Saudara M. Hanif Muslih dari PP Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Walaupun menamakan dirinya santri theklek, jika dilihat dari isi bantahannya terhadap apa yang disebutnya sebagai pendapat Dr. Atho' Mudzhar, tentulah ia adalah seorang santri yang pandai dan kaya ilmu. Karena itu saya ingin mengajukan pertanyaan untuk Sdr. Hanif, kalau perlu bisa dibantu oleh para kiai dan ustad di pondok tersebut, sebagai berikut: 1. Pada waktu Nabi SAW menjalani Isra Miraj, sebelum beliau berhijrah ke Madinah, umat Islam masih berjumlah kira-kira 70 orang. Mesjid yang pertama dibangun Nabi di Yathrib, yaitu Mesjid Quba', baru berdiri setelah Nabi hijrah. Di Yerusalem tentunya belum ada seorang pun pemeluk Islam. Nabi juga baru menerima perintah salat setelah Isra Miraj. Kalau sebelum Miraj sudah ada Mesjid al Aqsha, siapa gerangan yang bersalat di situ dan memakai cara apa? 2. Menurut tarikh, misalnya keterangan Ibn Khaldun, pada waktu Nabi menjalani Isra Miraj, Mesjid al Aqsha yang kita kenal sekarang ini memang belum ada. Yang ada hanyalah bekas reruntuhan ''Dinding Ratapan'' di muka The Dome of the Rock. Di situlah Khalifah Umar ibn Khattab mendirikan mesjid sederhana, yang disebut Mesjid Umar. Baru pada masa khalifah al Walid ibn Abdul Malik, Mesjid Umar itu dibangun kembali secara besar-besaran, kira-kira 50 tahun setelah Nabi wafat. Namanya diambil dari surat al Isra' ayat 1, yaitu Mesjid al Aqsha. Apakah Anda bisa memberikan penjelasan yang lain tentang Mesjid al Aqsha itu, disertai bukti-bukti sejarah? Apa yang dikemukakan oleh Dr. Atho' Mudzhar itu hanyalah satu dari dua pendapat para ulama. Pendapat baru itu, menurut Dr. Atho', justru lebih tua dari pendapat yang umum sekarang, tapi karena alasan politik, telah tak disebut-sebut lagi. Dalam hal ini Dr. Atho' sendiri berkata: ''Demikianlah dua penafsiran tentang arti kata Masjidil Aqsha dalam surat al Isra' ayat 1 tadi. Tentang penafsiran mana yang lebih cocok dan terasa lebih kuat dengan kita, serahkan kepada pertimbangan kita masing- masing. Hanya satu yang jelas, penafsiran mana pun yang kita ambil, tidak perlu mengurangi nilai iman kita kepada Allah SWT.'' Jadi, pendapat di atas bukanlah pendapat Dr. Atho', seperti yang Anda tulis dan yang telah difitnahkan oleh orang-orang lain kepadanya. Perlu saya jelaskan, saya bukanlah muridnya. Malah dia adalah salah seorang ''kader'' saya waktu saya di LP3ES, walaupun ia sekarang lebih pandai dari saya sendiri. Saya menunggu jawaban Anda, kalau Anda memang ingin mencari kebenaran. A. DAWAM RAHARDJO Jalan Empang Tiga 31 A, Pejaten Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini