Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tamasya Napi Sukamiskin

6 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENJARA tidak selamanya dapat mengurung narapidana. Tengoklah Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, tempat para tahanan mendapatkan banyak fasilitas dan kemudahan. Napi penting dan berduit dengan mudah memperoleh izin keluar-hampir semuanya dipakai untuk pelesiran.

Salah satunya Anggoro Widjojo, narapidana kasus korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Dia berkali-kali, sejak pagi hingga malam, keluar dari penjara. Beralasan sakit, ia keluar menggunakan ambulans menuju apartemen tak jauh dari bui.

Empat bulan menelisik kelakuan napi koruptor di sana, majalah ini menemukan bukan cuma Anggoro yang sering keluar-masuk. Mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan bekas Wali Kota Bogor Rachmat Yasin melakukan hal serupa. Keduanya pergi ke luar penjara tanpa kawalan aparat-sesuatu yang jelas melanggar aturan.

Napi koruptor bahkan bisa mengundang artis dangdut untuk joget di dalam lembaga pemasyarakatan pada pesta ulang tahun. Mereka juga diperbolehkan merenovasi kamar dan membangun saung yang nyaman di taman untuk bersantai atau menerima tamu.

Penjara telah menjadi rumah tetirah. Tidak ada WC dan kamar mandi kotor atau makanan membosankan. Kalaupun ada, itu hanya untuk penjahat kelas teri seperti pencuri, pencopet, dan maling ayam, yang kurang duit buat menyogok petugas.

Menurut aturan, narapidana hanya boleh ke luar penjara untuk berobat, kerja sosial, atau mengunjungi keluarga dekat yang sakit berat. Faktanya, izin diperjualbelikan untuk alasan yang dibuat-buat. Apa pun jenis izinnya, kebanyakan napi akan berhenti di tempat peristirahatan atau hotel, atau di rumah kontrakan mereka yang letaknya tak jauh dari bui. Pengawas tahu, tapi membiarkan.

Asalkan punya uang cukup, tahanan bisa mengatur apa saja di sana. Kelakuan pengelola Sukamiskin membuat koruptor tidak takut dipenjara dan lembaga pemasyarakatan kehilangan wibawa.

Awalnya, pemerintah menjadikan Sukamiskin penjara khusus koruptor untuk memudahkan pengawasan. Nyatanya tak ada yang berubah. Karena iming-iming duit, petugas memberi napi koruptor fasilitas ilegal.

Dulu Artalyta Suryani alias Ayin pernah hidup senang di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Ayin dibui lantaran menyuap jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Ayin bahkan punya kantor pribadi untuk rapat dan menerima tamu. Ia juga punya pembantu.

Sebelum Ayin, fasilitas "wah" dalam penjara pernah dinikmati Bob Hasan di Nusakambangan dan Tommy Soeharto di Cipinang. Pengelola rumah tahanan umumnya terlibat dalam menyediakan berbagai fasilitas.

Pelanggaran yang terang-terangan dan terus terjadi ini menunjukkan lemahnya pengawasan di penjara. Sipir dan kepala penjara, yang semestinya menegakkan aturan, malah menjadi pelaku pelanggaran.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan mengatakan penjara bukan sekadar tempat membui pelaku kejahatan, melainkan untuk rehabilitasi mereka. Efek jera tidak bisa dicapai jika napi memperoleh fasilitas "wah".

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dulu pernah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, yang tugasnya antara lain membenahi pengawasan penjara. Tapi, setelah memberikan efek kejut dengan merazia penjara Ayin pada Januari 2010, upaya pembenahan jalan di tempat.

Karena hal itu berulang-ulang terjadi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tak boleh lemah. Pejabat yang terbukti nakal segera dipecat saja. Pemerintah harus merekrut tenaga-tenaga baru yang punya komitmen pada penegakan hukum.

Selain membenahi petugas LP, Kementerian Hukum perlu menata ulang manajemen penjara. Selama ini secara struktural LP merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Tapi kewenangan penganggaran dan pengawasannya malah berada di bawah sekretariat jenderal, yang tidak memiliki struktur yang menjangkau LP. Tidak aneh kalau banyak persoalan tak tertangani dengan baik.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat juga perlu memikirkan kembali gagasan memiskinkan koruptor. Tak persis sama dengan ide ini, pada 2011 Swiss memberlakukan Return of Illicit Assets Act. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah Swiss buat menyita harta pejabat atau mantan pejabat sebuah negara, yang terbukti korup, dari bank-bank Swiss untuk dikembalikan kepada negara bersangkutan. Syaratnya, pejabat tersebut harus sudah divonis bersalah dan harta yang dikembalikan digunakan untuk program kemasyarakatan.

Model Swiss ini bisa dicontoh. Asalkan terbukti hasil korupsi, semua simpanan disita. Tanpa duit sama sekali, mereka tak bisa membeli surga di penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus