Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA perlu bersuara lebih lantang ketika di Amerika Serikat yang "demokratis" berlangsung pelanggaran mendasar terhadap prinsip demokrasi itu sendiri. Semangat egaliter dalam demokrasi mengakui kesetaraan manusia di depan hukum, tapi ketetapan eksekutif Presiden Donald Trump yang mengharamkan penduduk tujuh negara muslim memasuki negeri itu merupakan bentuk diskriminasi yang paling telanjang.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sekaligus negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, republik ini seharusnya menegaskan penolakannya terhadap diskriminasi berdasarkan agama itu. Imbauan pemerintah supaya warga negara Indonesia di Amerika menaati hukum, memahami hak-haknya, dan mencermati lingkungan sekitar tentu saja merupakan bentuk tanggung jawab yang bagus. Namun itu saja tak cukup, karena inti persoalannya justru terletak pada administrasi pemerintahan Donald Trump yang baru seumur jagung.
Demi melindungi penduduk Amerika dari teror yang digerakkan dari negara-negara muslim, Presiden Trump menempuh jalan ekstrem. Ia mengeluarkan ketetapan eksekutif yang melarang warga tujuh negara yang mayoritas penduduknya muslim-Suriah, Iran, Irak, Yaman, Sudan, Libya, dan Somalia-masuk ke Amerika selama 90 hari ke depan, serta menunda penerimaan pengungsi selama 120 hari.
Indonesia tak termasuk di antara tujuh negara itu. Tapi, mengingat kebijakan itu mengandung penalaran yang bengkok, tak seirama dengan alasan utamanya (menangkal teror dari negara muslim), ketetapan eksekutif Trump dapat menyasar siapa saja-tak terkecuali Indonesia. Elemen-elemen kelompok teroris Al-Qaidah serta Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS memang tumbuh subur di negara-negara yang sedang diroyan konflik bersenjata, seperti Irak, Suriah, Sudan, Libya, Somalia, dan Yaman. Namun memasukkan Iran ke kategori negara yang berpotensi mengancam keamanan Amerika dengan teror sungguh merupakan tindakan sewenang-wenang.
Iran yang Syiah itu tentu tak akan pernah menjadi habitat kelompok penebar teror seperti Al-Qaidah dan ISIS yang Sunni. Sedangkan milisi Hizbullah, satu-satunya kelompok bersenjata yang dianggap dekat dengan Iran, tidak pernah beroperasi lebih jauh dari perbatasan Libanon Selatan dan Suriah. Cukup jelas, "de-Obamaisasi" mewarnai kebijakan yang memusuhi imigran dan Iran ini, dengan membuyarkan kembali kebijakan mantan presiden Barack Obama-yang telah bersusah payah berbaikan dengan Iran, setelah negeri para mullah itu menandatangani kesepakatan nuklir tahun lalu.
Ada pelajaran yang bisa dipetik dari gelagat populisme Donald Trump yang membahayakan tradisi demokrasi Amerika ini. Demokrasi dibangun dengan perjuangan dan pengorbanan panjang. Karena itu, negara seharusnya menarik jarak tegas-ketimbang ikut lebur-dengan sentimen anti-imigran, anti-kelompok-kelompok agama, atau anti-etnis minoritas, yang tengah berkembang bagai cendawan di musim hujan di kalangan masyarakat tapi berlawanan dengan asas demokrasi itu sendiri.
Kalau sudah begini, keyakinan pada konstitusi dan dasar negara harus lebih kuat daripada tekanan kelompok-kelompok yang hendak menunggangi sentimen tersebut untuk kepentingan kelompoknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo