Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI kejahatan terencana, sering pula terorganisasi, penculikan anak mesti ditanggapi dengan sikap ekstrawaspada. Melayaskan tindakan kejahatan yang satu ini sama saja dengan menye mai sekam dalam api, pada gilirannya akan mengobarkan nyala yang sulit diteduhkan.
Tragedi Jefri Adriansyah, yang diculik pada akhir Mei lalu dan ditemukan terbunuh pada awal bulan ini, merupakan contoh yang tak mungkin ditenggang. Bocah sembilan tahun itu sempat disandera dengan permintaan uang tebusan Rp 35 juta. Ketika orang tua korban tak kunjung memenuhi tuntutan penculik, karena memang tak mampu, siswa kelas dua sekolah dasar itu dihabisi tanpa ampun.
Kejahatan luar biasa itu tak menimpa Jefri seorang. Setelah kematian Jefri, paling tidak terjadi tiga tindakan kejahatan yang sama dalam tenggang waktu tiga pekan di tiga tempat: Bekasi, Garut, dan Pekanbaru. Di Garut, seorang anak perempuan enam tahun raib ketika bermain di sekitar rumahnya. Di Bekasi, seorang bayi dua bulan hilang setelah dititipkan ibunya ke seorang teman. Di Pekanbaru, seorang anak perempuan kelas satu sekolah dasar diculik selepas upacara bendera.
Disadari atau tidak, ada aspek ”jangkitan” pada kejahatan penculikan. Modus yang satu bisa menginspirasi calon pelaku yang lain. Itu sebabnya, pada masa lampau, terutama di pedalaman Pulau Jawa, ada catatan tentang ”musim culik”, ketika sejumlah anak hilang secara berantai dari satu kampung atau beberapa kampung dalam waktu yang berdekatan.
Dorongan untuk mengimitasi bertambah kuat oleh kenyataan bahwa tindakan jahat itu hampir tak bisa dilakukan seorang diri. Kejahatan ini biasa dilakukan berkelompok, paling tidak oleh lebih dari satu orang, sehingga ada perasaan berkurangnya tanggung jawab—juga ”rasa bersalah”—individual. Sebaliknya, bentuk kejahatan kolektif ini pula yang sering memudahkan penegak hukum membongkar kasus penculikan, karena makin ba nyak pelaku terlibat, makin rentan pula ketahanannya terhadap pembocoran rahasia.
Sepanjang sejarah penculikan, motif utamanya hampir selalu uang, baik dalam bentuk tebusan maupun upah. Ada sedikit sekali penculikan yang dilatarbelakangi ba las dendam, baik pribadi maupun politis. Karena itu, di tengah keadaan ekonomi yang rada kapiran, ketika biaya hidup terasa semakin berat, penculikan anak harus lebih diwaspadai.
Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak, hingga Mei tahun ini sudah tercatat 97 kasus penculikan anak, 40 di antaranya belum terungkap. Bandingkan dengan tahun lalu, yang ”hanya” 102 kasus. Di luar tuntutan tebusan, bisa saja ada motif lain yang lebih mencemaskan, yakni perdagangan anak, baik untuk kepentingan adopsi ilegal maupun penjualan organ.
Karena itu, ”kejahatan kolektif” ini harus direspons secara kolektif pula, oleh keluarga, komunitas, sekolah, sampai negara. Pengalaman mengajarkan, para penculik biasanya bukan orang yang jauh-jauh benar dari korban dan keluarganya. Menyerahkan persoalan semata-mata kepada penegak hukum, terutama kepolisian, bisa me ngurangi tanggung jawab sosial kita.
Kepada kepolisian kita boleh berharap, sebaiknya aturan pelaporan anak hilang setelah 1 x 24 jam bisa ditinjau ulang. Sebab, setelah sehari anak belum pulang, dalam kasus benar-benar terjadi penculikan, jejak sang penjahat sudah agak sulit dilacak. Selain memperpendek jarak waktu pelaporan, diharapkan polisi menyiapkan satuan tugas antipenculikan anak—kejahatan yang sa ngat meresahkan keluarga ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo