Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH malang nasib jutaan penduduk miskin di Tanah Air. Menonton putaran final Piala Dunia melalui televisi tetap saja menjadi mimpi. Ketiadaan listrik menjadi salah satu penyebabnya-sebagian yang punya duit harus membeli aki jika ingin menonton perhelatan bola paling akbar empat tahunan itu. Saat ini, masih ada 30 persen atau 70-an juta penduduk yang belum bisa menikmati terang listrik.
Pekan lalu, harapan merasakan nikmatnya listrik itu sedikit terkuak setelah Dewan Perwakilan Rakyat me nyetujui kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10 persen. Sayangnya, kenaikan itu tetap tak mampu membuat kantong PLN bertambah tebal. Tambahan pendapatan itu ternyata dipakai pemerintah untuk mengurangi beban subsidi listrik sebesar Rp 5 triliun dari seharusnya Rp 61,1 triliun. Artinya, kemampuan PLN menambah pasok an tidak banyak berubah.
Keuangan perusahaan listrik negara itu memang sudah jauh membaik belakangan ini. Tapi kemampuannya berinvestasi masih sangat terbatas. Padahal kebutuhan dana untuk membuat terang seluruh Indonesia sangatlah besar. Dalam lima tahun ke depan, PLN menghitung, Indonesia membutuhkan sedikitnya Rp 72 triliun. Namun, kalau ingin meratakan listrik ke seluruh negeri, total butuh Rp 360 triliun. Jika hal ini bisa dipenuhi, Indonesia akan benderang pada 2020.
Harapan tinggallah harapan. Sejumlah kendala membuat target 2020 tak bakal terlampaui. Keuntungan PLN ternyata tak memadai untuk berinvestasi. Tahun ini, PLN memang mampu meraih laba Rp 10 triliun. Tapi, jika ingin terus berinvestasi, PLN minimal harus membukukan laba Rp 35 triliun. Angka itu sulit dicapai selama model bisnis PLN tidak diubah: harga jual ditentukan pemerintah, tapi harga bahan baku energi dibeli dengan harga pasar. Tak aneh jika PLN selalu kerepotan jika harga minyak mentah dunia naik seperti sekarang.
Pemerintah sebetulnya juga sudah berusaha saweran dengan mengalihkan dana infrastruktur di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk investasi kelistrik an. Tahun ini angkanya dipatok Rp 2,5 triliun. Pemerintah juga memberikan utang ke PLN sebesar Rp 7,5 trili un. Tapi angka ini tetap saja tidak cukup. Sebenarnya ada pilihan lain, margin PLN dinaikkan jadi 10 persen, tapi Dewan menolaknya. Buntutnya, keuangan pabrik setrum pelat merah itu tetap pas-pasan.
Perusahaan listrik itu sesungguhnya juga sudah mengefisienkan diri dengan secara perlahan mengurangi pembangkit berbahan bakar minyak yang mahal. PLN juga membuat langkah terobosan dengan menggandeng pemerintah daerah, antara lain Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menggarap Pembangkit Listrik Tenaga Air Asahan III. Nantinya, kerja sama ini diperluas ke daerah lain di Sumatera dan Kalimantan. Cara ini bakal cukup efektif karena bisa mengurangi ketergantungan pemerintah pada PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Undang-Undang Kelistrikan juga membuka peluang bagi swasta untuk mengadakan dan menjual listrik seperti di Batam dan Cikarang. Mereka ternyata bisa menjual listrik 10 sen per kilowatt-jam, jauh di atas tarif PLN yang tujuh sen. Model ini akan cocok untuk diterapkan di pelbagai daerah industri, bukan untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat.
Karena itulah tetap saja diperlukan dukungan penuh dari pemerintah dan Dewan. Selama beberapa tahun ke depan, harga listrik, sekali lagi, harus naik. Keluarga menengah ke atas tak pantas lagi mendapat subsidi. Namun kebijakan ini tampaknya akan susah dilakukan karena Dewan lebih membela industri besar dan kalang an berpunya ketimbang mereka yang belum tersentuh listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo