Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK pernah surut duka Serambi Mekah. Dua tahun tsunami berlalu, derita korban belum sirna. Rumah penduduk belum penuh dibangun, jalan-jalan putus belum disambung. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias—lembaga yang dibentuk Presiden untuk memulihkan Aceh—dituding lamban bekerja. Di pundak lembaga ini semua beban memang dipikulkan.
Selasa lalu ratusan warga menyerbu kantor lembaga itu. Menyebut dirinya Forum Komunikasi Antar-Barak (Forak), mereka menuntut BRR segera membangun rumah untuk pengungsi, memberikan beasiswa untuk anak yatim, dan memperbaiki ekonomi rakyat. Lebih dari sekadar unjuk rasa, aksi ini sempat ricuh: kantor BRR ditimpuki, staf dan pimpinan lembaga itu ”disandera”. Terlepas dari kecurigaan ada ”juru kipas” dalam aksi itu, demonstrasi adalah hak warga negara. Minus anarki, demo warga harus diterima BRR dengan tangan terbuka.
Di lain pihak, badan itu nyatanya bukan Bandung Bondowoso—tokoh legenda yang membangun 1.000 candi dalam semalam. Setahun lebih bekerja, tampak nyata bahwa BRR tak punya cukup wewenang. Kendala birokrasi dan egoisme sektoral lembaga-lembaga lain membuatnya tak leluasa bergerak.
Ambillah contoh soal pembangunan kembali permukiman penduduk. Saat ini yang bisa dilakukan lembaga itu adalah membangun rumah di atas tanah warga. Adapun untuk kampung-kampung yang penduduknya harus direlokasi—karena tanah mereka terendam air—BRR tak punya pilihan. Tanah negara tak bisa dipakai karena wewenang penggunaannya ada di lembaga lain, yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di sini muncul persoalan lain: egoisme kelembagaan.
BRR pernah mengusulkan agar pemerintah dan legislatif membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) soal tanah. Tujuannya agar soal ”tetek bengek” begini bisa segera diselesaikan. Harap maklum, ribuan pengungsi tak bisa menunggu. Diterpa dingin di barak-barak, yang mereka inginkan adalah rumah permanen. Tapi Perpu itu tak kunjung rampung. Sesuai dengan peraturan, Perpu ini mestinya dibahas DPR, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Badan Pertanahan Nasional.
Karena terdesak, BRR kerap mengambil jalan pintas: nekat membangun rumah di atas tanah negara. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Selain tindakan itu melanggar hukum, rumah-rumah tersebut berpotensi digusur di kemudian hari. Jika ini terjadi, selain menghamburkan dana bantuan, BRR juga bisa dianggap menyeleweng.
Soal komunikasi antarlembaga yang tak mulus ini mestinya bisa diselesaikan jika Presiden bersedia turun tangan. Sialnya, hubungan BRR dengan Susilo Bambang Yudhoyono kabarnya sedang tak mesra. Entah apa sebabnya, telah tiga bulan Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto tak berhasil mendapat jadwal bertemu Presiden. Komunikasi macet. Rekonstruksi tersengal-sengal. Di luar itu ada pula intrik-intrik lokal yang mengaitkan rekonstruksi Aceh dengan pemilihan kepala daerah secara langsung dan pemilu presiden pada 2009.
Tak bisa tidak BRR harus diberi wewenang penuh agar bisa menyelesaikan tugasnya. Majalah ini berkali-kali telah mengusulkan agar pelaksana rekonstruksi Aceh diberi status badan otorita. Dengan status itu, ketua BRR, siapa pun dia, tak akan direcoki oleh persoalan sentimen kelompok. Itu tidak berarti BRR lantas tak bisa dikontrol. LSM, mahasiswa, pers, dan DPR bisa menjadi anjing penjaga.
Bertahun tahun Aceh adalah tanah duka cita. Tak ada alasan bagi kita untuk mempertahankan kesedihan itu. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo