Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERKAWINAN adalah peristiwa yang amat penting dalam kehidupan seseorang. Pengantin berupaya mengabadikan upacara itu seunik mungkin. Ada yang kawin di udara, kedua mempelai diterjunkan dari pesawat dan ritual dilakukan di awan dengan bantuan parasut. Ada yang kawin di dasar laut dengan alat penyelam yang harganya tak kalah dengan peralatan terjun payung. Ada yang di puncak gunung, ada yang di jeram sungai. Lalu ada yang memilih dengan cara yang "biasa saja", tetapi dengan pesta yang "tidak biasa".
Yang membedakannya adalah harta dan kekayaan. Juga dari mana harta itu diperoleh, apakah melalui keringat bertahun-tahun atau merampok uang rakyat bertahun-tahun. Ada yang cukup menggelar pesta di bawah tenda biru atau rumah pribadi yang dihias janur. Bukan karena sekadar meniru lirik lagu pop atau tak punya uang, justru ia sangat menghargai uang dan betapa susah mencari uang. Banyak orang menggelar pesta pernikahan di gedung pertemuan atau hotel berbintang dan uang yang dihabiskan tak pernah dipikirkan karena mereka bisa mendapatkannya dengan mudah, baik dengan cara halal maupun haram.
Pesta apa yang digelar Keluarga Cendana tatkala Danny Indra Rukmana mempersunting Lulu Tobing yang dikenal sebagai artis sinetron itu? Gengsi, harta melimpah, uang tak berseri-istilah untuk menyebut tak ada habisnya-dimiliki dan tampaknya dipuja dalam keluarga ini. Padahal, Eyang Kakung dari mempelai pria, Soeharto, adalah mantan presiden yang "miskin", tak punya satu rupiah pun tabungan di bank, baik di dalam negeri apalagi di luar-begitu menurut pelacakan resmi pemerintah. Namun orang tua pengantin pria adalah pengusaha sukses, yang ikut mengurusi empat yayasan yang pernah dipermasalahkan kejaksaan sebagai sumber penyimpangan dalam memungut dana dari masyarakat. Sesungguhnya kasus empat yayasan itu bisa disidangkan pengadilan, supaya jelas juntrungannya. Sayangnya, yang jadi terdakwa, Soeharto, selalu sakit ketika akan disidangkan, namun selalu sehat-minimal bisa duduk sebentar di resepsi-ketika ada pesta besar di keluarganya. Duduk di depan pengadilan dan duduk di perhelatan akbar rupanya tidak sama dari sudut ilmu kedokteran.
Begitu gampangnya Keluarga Cendana meraih uang untuk hajatan mewah, terlihat dari cara mereka melecehkan uang: nilainya tak lebih dari kertas mainan anak-anak TK. Lima lembar uang puluhan ribu dipelintir menjadi kelopak-kelopak bunga, lalu uang dua puluh ribu dijadikan daun. "Bunga uang" ini sebagai cendera mata kepada tetamunya saat midodareni-upacara adat Jawa yang sesungguhnya sakral-dan jadi rebutan. Ide brilian yang sangat tak layak diteladani. Bukan saja karena penduduk Yogya terus menunggu uang bantuan gempa yang tak kunjung datang dan berbagai kesengsaraan yang menimpa penduduk, tetapi rupiah adalah uang resmi Republik Indonesia sebagai "lambang kenegaraan": karena itu dalam uang kertas selalu ada burung Garuda, gambar pahlawan nasional, dan tulisan: "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa."
Sensasi apa pun yang ingin dicapai Keluarga Cendana dalam pesta bernilai miliaran rupiah itu, ini adalah hak seseorang. Seperti syair lagu dangdut: "uang-uangnya sendiri. Tak elok mempersoalkannya. Tetapi, jika mempersoalkan apakah kekayaan keluarga Soeharto itu ada kaitannya dengan kekuasaannya selama 32 tahun, ini adalah hak rakyat untuk tahu. Kapan hak ini dijadikan hajatan? n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo