Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tantangan Parlemen Indonesia

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Richard Robison *) *) Guru besar politik di Universitas Murdoch, Australia, dan penulis buku Indonesia: the Rise of Capital; saat ini sedang menyelesaikan buku mengenai reorganisasi kekuasaan pasca-Soeharto bersama Vedi Hadiz SERENTETAN pemerintahan yang lemah, terpecah belah, dan tanpa agenda jelas telah gagal untuk secara efektif mengatasi problem ekonomi akibat krisis. Sampai hari ini, sebagian besar sistem perbankan Indonesia masih lumpuh. Kebanyakan konglomerat menolak menjalankan restrukturisasi utang mereka sehingga mewariskan beban yang harus ditanggung para pembayar pajak sampai puluhan tahun mendatang. Hampir tak ada pengusaha kakap atau pejabat negara yang terlibat kegiatan korupsi yang bisa dihukum. Bukan hanya konglomerat yang melecehkan pemerintah. Upaya untuk mereformasi institusi strategis seperti Pertamina, PLN, bank pemerintah, dan Departemen Kehutanan tidak berjalan tuntas. Di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, baik polisi maupun tentara secara efektif melepaskan diri dari kendali pemerintah. Yang paling terasa mengganggu adalah gamblangnya ketidakberdayaan pemerintah untuk memaksakan reformasi pada sistem hukum, yang di mata masyarakat umum terkesan sangat korup. Dengan melemahnya otoritas pemerintahan yang sah, kekuasaan terlihat mengalir ke tangan kelompok-kelompok informal, preman, milisi, dan berbagai organisasi kriminal ataupun semikriminal lainnya. Patut dikhawatirkan bahwa proses desentralisasi dalam kondisi seperti ini akan memperkuat aliran kekuasaan tersebut. Selain itu, pemerintah dilemahkan oleh beban berat utang yang berasal dari dampak upaya menyelamatkan perbankan nasional. Akibatnya, kemampuan untuk mendanai kegiatan pendidikan, kesehatan, dan sektor kesejahteraan masyarakat lainnya terkikis dan bersamaan dengan itu legitimasinya di mata masyarakat otomatis menurun. Lahirnya pemerintahan Megawati telah menerbitkan harapan akan pulihnya otoritas dan efektivitas pemerintah. Para penanam modal asing telah memberikan reaksi positif, tapi masih menunggu perkembangan selanjutnya. Sebagian pengamat menyuarakan keyakinan atas kemampuan dan komitmen menteri seperti Laksamana Sukardi dan atas penunjukan ekonom teknokrat di berbagai posisi penting. Pengamat lain melihat Bambang Kesowo sebagai kunci dalam memulihkan kohesi proses pemerintahan melalui Sekretariat Negara yang kuat. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada individu menunjukkan kelemahan pada institusi dan struktur kekuasaan yang ada. Tokoh datang dan pergi. Sosok dengan idealisme tinggi acap tak mampu mengatasi lingkungan yang dimasukinya. Mereka sering terisolasi dan dimusuhi. Aturan dan prosedur manajemen yang penting pun kerap tak diindahkan atau dipelintir. Sebagai contoh, bukanlah kekurangan otoritas formal yang menghalangi Bank Indonesia mengendalikan perilaku tak bertanggung jawab bank-bank swasta nasional dalam sepuluh tahun terakhir sebelum terjadinya krisis. Harus diakui, pemerintahan demokratis pasca-Soeharto tidak kebal dari pengawasan dan kritik seperti di era Soeharto. Salah satu perkembangan terpenting di Indonesia adalah munculnya pers yang ligat dan mampu mengawasi serta mempertanyakan keputusan dan perilaku para pemimpin politik. Namun, hal ini belum memadai untuk memaksa pemerintah mengambil tindakan tegas dan serius terhadap para koruptor ataupun pelaku kekerasan di Ambon. Juga belum membuat pemerintah mengambil tindakan berarti untuk membuat para penegak hukum lebih akuntabel. Bagaimana masa depan politik Indonesia dan sistem pemerintahannya sebenarnya terletak di tangan institusi parlemen. Di lembaga inilah kelompok politik terorganisasi, karena wewenangnya untuk menciptakan dan menjatuhkan pemerintahan dapat memaksakan hadirnya pemerintahan yang efektif dan bertanggung jawab. Parlemen di Indonesia memiliki kekuasaan yang memadai, termasuk menyetujui anggaran dan menolak atau menerbitkan rancangan undang-undang. Namun, kehadiran parlemen saja tak menjamin apa pun, termasuk demokrasi. Setidaknya parlemen yang tidak demokratis berkuasa di Inggris selama lebih dari dua abad sampai awal abad ke-19. Parlemen juga tidak menjamin munculnya pemerintahan yang efektif dan jujur. Parlemen kini berkuasa di Rusia dan Pakistan dan pemerintahannya jauh dari efektif. Kinerja parlemen Indonesia, sampai saat ini, belum berkilau. Sistem komisi yang ada memang membuat para menteri mempersiapkan dan memperhatikan soal-soal legislasi, tapi ini sudah terjadi di era Soeharto. Sejumlah acara dengar pendapat telah dilakukan, utamanya membuat frustrasi upaya menjual aset dan mereformasi institusi publik. Yang pasti, keefektifannya dalam menggulirkan reformasi dalam pemerintahan dan kebijakan publik terlihat minimal. Sebagian dari masalahnya adalah karena wewenangnya terbatas dalam menghadapi presiden yang tidak dipilih langsung tapi juga tidak berada dalam sistem parlementer, seperti dalam kasus Abdurrahman Wahid. Realitas saat itu menyebabkan parlemen bertanggung jawab atas terpilihnya presiden dari kekuatan minoritas dan hanya dapat menjungkirkannya melalui proses yang berlarut-larut dan penuh daya rusak. Kendati demikian, prospek memperbaiki masalah ini melalui perubahan menuju sistem presiden yang dipilih langsung atau ke sistem parlementer tidak terlihat cerah. Kedua alternatif ini berpotensi menghilangkan kekuasaan yang sekarang dipegang oleh bagian besar dari elite di berbagai partai yang kini mendominasi parlemen. Keduanya membuka pintu kemungkinan munculnya gerakan populer dan tokoh karismatis yang dapat mengganggu kepentingan elite yang ada. Prinsip integralisme telah merasuk ke parlemen. Lagi pula, solusi konstitusional tidak memberikan jaminan berarti. Walaupun parlemen dibanjiri oleh anggota yang tak mungkin mempunyai akses ke pusat kekuasaan di era Soeharto, sulit untuk tidak mengatakan bahwa perubahan yang terjadi hanyalah pembukaan pintu yang terbatas dari sistem yang lama. Meski parlemen sekarang menikmati kekuasaan dan keleluasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya, partai politik tetap hanya berfungsi sebagai alat untuk mengakses dan membagi kekuasaan. Jika demikian, transformasi seperti apa yang dapat membuat parlemen menjadi instrumen reformasi? Sistem distrik, yang membuat setiap wakil rakyat bertanggung jawab atas konstituennya, dianggap mampu membongkar jaringan kolusif hierarki partai yang ada, tapi membuat tiap-tiap wakil rakyat menjadi rentan terhadap politik main uang dan kepentingan kelompok kecil yang kuat. Tak dapat dihindarkan bahwa di masa depan presiden akan membina aliansi di parlemen untuk mendukung kepentingan legislasinya. Pada saat yang sama, tokoh tandingan akan disisihkan dari proses pengambilan keputusan sehingga mereka bereaksi dengan membangun kekuatan alias oposisi. Megawati, misalnya, tidak mengikutsertakan semua kekuatan dalam menyusun kabinetnya. Sampai tahap tertentu, ini adalah logika parlementer; semua pihak tak dapat berbagi-bagi selamanya. Tapi apakah kekuatan-kekuatan yang muncul disebabkan oleh perbedaan agenda sosial atau jaringan patron adalah kunci soalnya. Jika pengalaman Inggris yang menjadi acuan, dominasi para bangsawan dan petualang politik baru mendapat perlawanan setelah munculnya partai-partai baru yang terbentuk atas dasar disiplin agenda sosial. Adalah partai liberal, yang mewakili aspirasi kelas menengah yang tumbuh pesat, yang menuntut berlakunya rule of law dan hak properti. Adalah partai buruh yang menuntut dan memaksakan berlangsungnya keadilan sosial serta tanggung jawab kemasyarakatan. Bagi elite yang saat itu menikmati berbagai kelebihan, tuntutan tersebut mengejutkan, terlihat brutal, dan meresahkan. Parlemen Indonesia tidak efektif dalam memperjuangkan reformasi bukan karena hambatan konstitusional, melainkan karena dirinya adalah institusi status quo. Pertanyaan penting bagi dekade mendatang adalah apakah kepentingan sosial dan ekonomi baru di sektor usaha, buruh, dan kelas menengah dapat tertampung dalam partai-partai yang ada, yang masih berbasis patron itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus