A. Tony Prasetiantono *)
*) Peneliti di Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSE-KP) UGM, Yogyakarta
LETTER of intent (LoI) sudah ditandatangani Dana Moneter Internasional (IMF) dan mereka berjanji segera mencairkan dana US$ 400 juta pada pertengahan September 2001. Tapi ternyata hal itu tidak membuat penguatan rupiah berlanjut. Rupiah justru melemah ke level Rp 9.000 per dolar AS. Padahal, semula diyakini rupiah sudah on the right track untuk menuju ke level Rp 8.000 per dolar AS.
Ada apakah gerangan? Apakah "bulan madu" pemerintahan baru Megawati Sukarnoputri sudah berakhir? Ataukah "tim impian" kabinet ekonomi sudah mulai kehilangan "kesaktiannya"?
Ada beberapa hal yang menyebabkan rupiah kembali terkoreksi. Pertama, perundingan dengan IMF ternyata lumayan alot dan agak bertele-tele. Semula pasar memperkirakan tim ekonomi kita yang market friendly ini juga amat bersahabat dengan IMF. Karena itu, logikanya, tim ini akan mudah berunding dengan IMF. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Perundingan yang alot ini, apa pun substansi yang diperdebatkannya, otomatis direspons negatif oleh pasar.
Kedua, tim ekonomi kita pun kadang-kadang mulai menunjukkan sikap gamang. Contohnya, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi di hari pertama langsung melontarkan optimismenya untuk menyetor Rp 6,5 triliun ke kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001. Caranya? Telkomsel dan Indosat akan segera dijualnya. Namun, hanya beberapa hari kemudian, Laksamana mulai tampak ragu-ragu. Apakah target ini realistis, mengingat waktu yang dimilikinya tinggal empat bulan? Kalau Laksamana saja mulai ragu, apalagi pasar.
Ketiga, pasar ternyata sudah sangat pandai menilai apa yang sesungguhnya terjadi dalam perekonomian Indonesia. Meski pasar biasanya banyak diliputi unsur subyektivitas dalam menilai situasi, mereka tetap cerdas dan bisa berpikir obyektif-rasional. Kendati pujian mengalir deras kepada "tim impian", sebagus apa pun tim ini, pasar pun menyadari bahwa lawan yang dihadapi juga mahaberat.
Pasar, misalnya, pasti dapat menilai bagaimana mungkin APBN 2001 dapat diselamatkan jika sampai akhir Agustus 2001 Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) baru dapat mengumpulkan separuh dari target setorannya yang Rp 27 triliun. Lebih celaka lagi, privatisasi BUMN juga belum menghasilkan satu sen pun dari target setoran Rp 6,5 triliun. Upaya divestasi dan privatisasi ini, selain dikejar waktu yang tinggal empat bulan, masih ditambah beban perdebatan seru mengenai modusnya.
Divestasi BCA masih berlarut-larut, apakah mau dilepas mayoritas sahamnya (51 persen) atau cuma sebagian. Kalau tidak mendapatkan hak mayoritas, biasanya investor pun enggan membeli. Namun, kalau sahamnya dijual mayoritas, pemerintah juga merasa rugi karena ongkos rekapitalisasi yang dikeluarkan sudah telanjur sangat besar. Banyak pihak yang menyayangkan jika pemerintah harus kehilangan BCA. Persoalan ini masih ditambah soal indikasi adanya insider trading dan kemungkinan upaya pemilik lama (Grup Salim) untuk memilikinya kembali dengan harga semurah mungkin.
Hal yang kurang-lebih mirip juga terjadi pada kasus PT Semen Gresik. Kalau mau dijual ke strategic investor (investor yang ditunjuk langsung, berdasarkan kompetensinya menangani bidang ini), saham yang dijual harus juga melibatkan Semen Padang dan Semen Tonasa. Tanpa klausul ini, investor asing (Cemex Meksiko) akan mengurungkan niatnya. Daya tarik bagi Cemex adalah jika mereka dapat menguasai mayoritas saham. Padahal, pemerintah sudah berjanji untuk tidak melepaskan kepemilikan Semen Padang kepada investor asing.
Realitas betapa ruwetnya program divestasi BPPN dan privatisasi BUMN inilah yang tampaknya membuat Laksamana Sukardi gamang. Berbagai persoalan pelik teknis dan nonteknis ini jugalah yang membuat perundingan LoI bertele-tele sehingga menurunkan mood penguatan rupiah.
Meski demikian, saya mencatat ada perkembangan menarik dalam LoI kali ini. Tim ekonomi kita terbukti tidak sekadar mengikuti kemauan IMF begitu saja. Bank Indonesia (BI), misalnya, tampak lumayan all-out berusaha meyakinkan IMF agar uang primer (base money) dipatok di atas Rp 110 triliun saja. Pengetatan uang primer melalui suku bunga tinggi hanya akan menyulitkan sektor perbankan untuk mengalirkan kredit. Sikap BI ini bagus. Mereka tidak cuma peduli soal bagaimana mengendalikan inflasi, tapi juga berpikir bagaimana cara menghidupkan sektor riil.
Meski target uang primer sudah agak diperlonggar, tingginya suku bunga SBI 17,67 persen juga memprihatinkan. Bank Mandiri bahkan sudah langsung meresponsnya dengan suku bunga deposito yang tinggi pula. Jika suku bunga deposito hampir 18 persen, suku bunga kredit pun otomatis akan naik menjadi di atas 20 persen. Selain berisiko macetnya sektor riil, kebijakan ini akan menyulitkan pemerintah untuk membayar bunga obligasi dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Ujung-ujungnya, APBN 2001 akan mengalami pembengkakan defisit. Dengan kata lain, pencapaian suatu target LoI (inflasi), melalui peningkatan suku bunga, ternyata menabrak target lain (defisit APBN).
Jujur saja, posisi kita kini terjepit. Dari semua terowongan yang tersedia untuk dilewati, tak satu pun yang tidak mengandung ranjau. Semua pilihan sulit dan berisiko. Namun, di antara pilihan-pilihan yang jelek itu, menurut saya, yang terpenting adalah bagaimana menghidupkan nadi sektor riil melalui penurunan suku bunga. Filosofi ini pula yang kini tengah dijalani Amerika Serikat dan Jepang, dua negara yang tengah ditengarai mengalami krisis ekonomi stadium awal.
BI sudah bagus bisa membujuk IMF menerima target uang primer Rp 100,5 triliun. Namun, ini saja masih belum cukup jika suku bunga masih tetap tinggi seperti sekarang. Saya tidak tahu sampai kapan BI ngotot mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi ini. Apakah menunggu sampai APBN jebol karena capek membayar bunga obligasi pemerintah kepada bank-bank, sehingga "bulan madu" tim ekonomi kita berakhir di sini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini