Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Whistle Blower Act?

2 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis *) *) Praktisi hukum SAMPAI hari ini tak ada yang memastikan bahwa terbunuhnya Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dilakukan oleh orang-orang yang marah terhadap putusannya yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi, dan si koruptor harus menjalani hukuman. Akan tetapi, cukup banyak yang berspekulasi bahwa hakim agung tersebut dibunuh karena perkara-perkara korupsi yang ditanganinya termasuk dalam perkara besar yang kontroversial. Mungkin hakim agung itu dibunuh karena menghukum terlalu berat, atau karena dianggap ingkar janji setelah menerima suatu imbalan. Kita tidak tahu. Yang pasti, menangani perkara korupsi, apalagi dalam bilangan yang besar, jelas sangat berbahaya. Mati adalah risiko yang harus dibayangkan, apalagi pada zaman ketika orang yang berduit bisa saja memiliki senjata api secara resmi ataupun tidak. Begitu beratnya memberantas korupsi di negeri ini. Lihat pula apa yang terjadi pada Endin Wahyudin, yang memaparkan adanya suap kepada majelis hakim. Endin mengalami nasib sial karena di-adili atas dasar pencemaran nama baik, sedangkan ketiga orang yang diduga menerima suap sepertinya dilindungi oleh pengadilan karena para hakim tak ingin mereka yang dituduh menerima suap itu dinyatakan bersalah. Dilema yang dihadapi oleh pengadilan adalah jika membenarkan telah terjadi suap terhadap majelis hakim tersebut, hal ini sama saja artinya dengan mengakui bahwa korupsi di pengadilan tertinggi itu adalah hal yang normal dan wajar. Kebetulan ada alasan hukum yang ampuh, yaitu dakwaan jaksa penuntut umum yang menggunakan UU Nomor 3/1971 tidak bisa diterima karena sudah dicabut oleh UU Nomor 31/1999. Alasan ini bisa dibenarkan secara teoretis, tetapi kesan umum yang tampak adalah semangat melindungi sesama korps hakim. Dalam era pemberantasan korupsi, saat pengadilan dianggap memainkan peran sentral, ternyata semangat para hakim adalah menutup-nutupi kasus korupsi. Para hakim tampaknya takut bahwa gerakan pemberantasan korupsi ini akan menghantam semua ruang pengadilan. Kita semua mengetahui bahwa peran saksi pelapor dalam kasus korupsi begitu instrumental, dan pengalaman nahas Endin Wahyudin akan membuat nyali para saksi pelapor ciut. Para hakim sudah berhasil menakut-nakuti dan meneror para saksi pelapor yang berniat melaporkan adanya korupsi. Bisa dibayangkan betapa sulitnya kerja pemberantasan korupsi di negeri ini tanpa ada perlindungan hukum yang kuat terhadap para saksi pelapor. Perlu diketahui bahwa di banyak negara yang sukses dalam pemberantasan korupsi selalu ada perlindungan hukum yang kuat kepada saksi pelapor serta kepada para pembantu pelaku tindak pidana korupsi. Dalam konteks inilah keberadaan undang-undang semacam Whistle Blower Act, yang sangat melindungi orang-orang yang berkicau tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme, sangat kita perlukan. Sayangnya, pemerintah masih belum siap memberantas korupsi kecuali dalam retorika dan pidato politik. Kita belum mempunyai undang-undang perlindungan saksi, walaupun sesungguhnya keberanian kejaksaan dan pengadilan bisa memberi jalan keluar dalam melindungi para saksi pelapor ini. Untuk dan atas nama kepentingan umum, kejaksaan dan pengadilan seharusnya bisa memberi perlindungan terhadap para saksi pelapor. Kalau sikap ini tak dimiliki oleh kejaksaan dan pengadilan kita, tak akan ada lagi yang mau berkorban seperti Endin Wahyudin. Akibatnya, pembuktian kasus korupsi yang biasanya rumit dan kusut itu akan semakin sukar, apalagi hampir mustahil mendapatkan alat bukti. Lihat saja pengalaman Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menerima berkarung-karung laporan korupsi, tetapi hampir semua laporan yang masuk tidak disertai nama pelapor karena mereka takut. Selain itu, bukti yang dilampirkan juga semuanya fotokopi, yang hampir pasti akan ditolak oleh pengadilan karena hukum acara kita masih belum menganggap fotokopi sebagai alat bukti yang dapat diterima. Bayangkan, betapa kunonya hukum acara kita. Lantas bagaimana dengan korupsi lintas negara yang dilakukan secara elektronik melalui internet? Apakah e-corruption itu tak bisa disentuh dan diberantas? Tentu hanya melindungi saksi pelapor yang berani berkicau tidak akan cukup. Kalau kita sungguh-sungguh ingin memberantas korupsi, harus pula dipikirkan bagaimana memberikan "insentif" bagi pihak pelaku korupsi yang melaporkan kasus korupsi, misalnya karena tidak puas dengan koleganya yang mendapat bagian lebih banyak. Para pelaku korupsi, atau pelaku pembantu yang tidak puas dan bersedia membongkar kasus korupsi, mungkin dapat diberi "insentif" berupa keringanan atau pembebasan hukum, tergantung kasusnya. Ada tawar-menawar hukuman sebagai imbalan. Inilah yang dalam hukum Amerika dikenal sebagai plea bargaining, yang ternyata cukup ampuh. Lihatlah apa yang dilakukan oleh beberapa pentolan mafia yang bersedia melaporkan bos mereka untuk sebuah tawar-menawar hukuman. Saya kira, untuk pemberantasan korupsi, kita harusnya dapat melakukan plea bargaining agar lebih banyak kasus korupsi yang terbongkar, asal saja semua ini dilakukan dalam kerangka hukum itu sendiri, bukan secara diam-diam di kamar para hakim. Apa yang kita bicarakan sesungguhnya menyangkut soal yang lebih besar, yaitu soal pembaruan hukum acara, baik itu hukum acara pidana maupun perdata. Pada zaman yang begitu dinamis dan serba berteknologi tinggi ini, tak dapat tidak, kita harus lebih membuka diri. Kejahatan korupsi tak lagi mengenal batas negara, korupsi terjadi lintas negara, dan karenanya hukum acara kita hendaknya memasukkan juga aspek lintas negara ini dalam pembaruannya, ter-masuk dalam alat-alat bukti seperti saksi. Akan banyak saksi dari negara tempat hasil korupsi itu parkir yang bisa membantu kita, tetapi mereka hanya bersedia membantu jika ada perlindungan hukum terhadap keselamatan mereka. Jadi, Whistle Blower Act kita seharusnya tidak hanya berorientasi domestik tetapi justru harus lintas negara. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah bertekad bulat mem-berantas korupsi. Apakah pemerintah sudah siap menerjemahkan retorika politik mereka menjadi tindakan nyata, sehingga secara perlahan kita akan menyaksikan bahwa pihak pelaku korupsi tak lagi petantang-petenteng di pesta-pesta, koran-koran, dan di layar kaca.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus