Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiko Saputra
Peneliti Auriga Nusantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Perdagangan Internasional Amerika Serikat menuduh Indonesia melakukan praktik dumping terhadap ekspor biodiesel berbahan baku minyak sawit. Berdasarkan hasil investigasi, mereka menemukan bahwa eksportir Indonesia telah menjual biodiesel dengan harga lebih rendah ke mereka dibandingkan dengan harga jualnya di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka lantas memutuskan untuk mengenakan tarif bea masuk antidumping dan tarif bea perimbangan dampak dumping (CVD) sebesar 126,97–341,38 persen terhadap impor biodiesel Indonesia ke Amerika. Pemerintah Indonesia berencana mengajukan gugatan ke badan penyelesaian perselisihan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mustahil eksportir biodiesel menjual lebih murah karena adanya tambahan biaya ekspor. Indonesia malah juga mengenakan tarif bea keluar dan pungutan ekspor terhadap biodiesel.
Masalah sebenarnya berhulu pada kebijakan subsidi biodiesel. Pemerintah mewajibkan pencampuran biodiesel ke dalam solar secara bertahap, mulai pada 2008 dengan kadar campuran 1 persen hingga sekarang sudah mencapai 20 persen. Untuk pencampurannya diberikan subsidi ke produsen biodiesel. Ini karena harga biodiesel masih lebih mahal dibanding solar. Misalnya, pada Juli 2018, pemerintah menetapkan harga biodiesel Rp 7.949 per liter, sedangkan solar hanya Rp 5.150 per liter. Untuk menutupi selisih harga itulah subsidi diberikan.
Penetapan harga biodiesel ditengarai memberikan keuntungan besar bagi produsen biodiesel. Harga itu ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan rata-rata harga minyak sawit (CPO) ditambah faktor konversi yang ditetapkan sebesar US$ 100 per ton.
Produsen biodiesel yang memiliki bisnis terintegrasi, dari perkebunan sawit, pabrik kelapa sawit, sampai pabrik biodiesel, mendapatkan insentif biaya produksi yang murah dan keuntungan besar dari skema kebijakan subsidi ini. Mereka pun dapat menjual murah biodiesel ke pasar Amerika.
Amerika menganggap pemerintah Indonesia telah menjalankan perdagangan yang tidak adil sehingga merugikan industri biodieselnya. Tugas pemerintah sekarang adalah membuktikan tuduhan itu tidak benar di WTO.
Namun, di balik itu, masih banyak masalah yang membelenggu pengembangan biodiesel. Salah satunya adalah keabsahan dana subsidi. Ini diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 bahwa subsidi biodiesel yang memakai dana perkebunan sawit tidak ada dasar hukumnya.
Tata kelola industrinya juga penuh sengkarut. Biodiesel yang digadang-gadang sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan belumlah terbukti. Musababnya, sumber bahan bakunya masih berasal dari perkebunan sawit di kawasan hutan dan lahan gambut yang dibuka dengan cara membakar.
Badan Pemeriksa Keuangan pada 2018 juga menemukan empat persoalan dari hasil auditnya terhadap tata kelola penyaluran biodiesel. Pertama, ketidakjelasan penggunaan nilai tukar dalam penghitungan selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dengan HIP solar. Akibatnya, ada risiko kelebihan pembayaran untuk subsidi biodiesel yang disalurkan. Kedua, pembayaran subsidi tidak didasari nilai riil berat jenis biodiesel sesuai dengan hasil uji laboratorium, yang jumlahnya senilai Rp 30,2 miliar.
Ketiga, penyaluran volume biodiesel periode Mei 2016–April 2017 oleh tiga penyalur melebihi alokasi yang ditetapkan dalam keputusan Menteri Energi. Akibatnya, terjadi kelebihan pembayaran subsidi sebesar Rp 102,8 miliar. Keempat, pembayaran ongkos angkut atas penyaluran biodiesel melebihi ketentuan, yang nilainya Rp 6,6 miliar.
Kita sepakat bahwa industri biodiesel ini harus diselamatkan karena bersifat strategis sebagai sumber energi terbarukan. Pemerintah harus berfokus memperbaiki tata kelolanya agar tak mudah diserang oleh kepentingan global, membuka peluang korupsi, dan tidak ramah lingkungan. Jangan biarkan industri ini layu sebelum berkembang karena biodiesel salah satu harapan untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan devisa untuk impor solar, sebagaimana yang diutarakan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet terbatas berapa waktu lalu.