Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harimurti Kridalaksana
Pelbagai media elektronik selama beberapa bulan terakhir ini menggunakan proleksem (kata terkait, yang tak bisa berdiri sendiri) pasca- dalam kata pascabencana atau pascagempa. Kata-kata ini kemudian dilafalkan sebagai [paska-] tanpa menyadari bahwa ucapan demikian adalah salah. Celakanya, ucapan keliru itu dianggap sebagai ucapan yang betul. Ada apa dengan penutur bahasa kita?
Seingat saya, belum pernah sekali pun ada penjelasan resmi dari pihak mana pun yang menyatakan bahwa bentuk pasca harus dilafalkan [paska]. Bentuk pasca- diperkenalkan ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Sanskerta dalam Komisi Istilah pada tahun 1950-an oleh Prof. Poerbatjaraka sebagai pasangan pra-, untuk menggantikan bentuk Eropa post-. Jadi ada pasangan pra pasca sebagai terjemahan pre post; ucapannya seperti tulisannya, yakni [pra] -[pasca]. Sejak kapan pun tidak pernah huruf [c] dalam bahasa Indonesia dilafalkan sebagai [k]!
Kasus pengucapan salah semacam itu berlainan dengan kasus penulisan China dan dilafalkan [caina] seperti bahasa Inggris, sebagaimana dipraktekkan oleh harian Kompas dan MetroTV, seolah-olah penulisan dan ucapan Cina tidak cukup menggambarkan maksud yang betul tanpa konotasi apa-apa. Dalam suatu seminar seorang redaktur harian menyatakan bahwa penggunaan kata yang ditulis ”cina” dianggap penistaan, sehingga diputuskan ditulis secara dengan kata China. Alasan demikian tidak dapat saya terima: mana ada dalam masyarakat modern yang beradab kita menista orang. Siapa menista siapa? Apakah kalau kita menggunakan kata bidara cina atau petai cina kita menista orang? Sudah ratusan tahun dalam bahasa kita digunakan kata Cina, dan tidak pernah dikembalikan kepada bahasa asing China atau bahasa aslinya Zhong guo, seperti halnya kita gunakan kata Belanda dan Inggris, dan tidak pernah kita asingkan kembali menjadi Holland dan England.
Kasus ini pun berlainan dengan kasus penggantian ejaan anda menjadi Anda, praktek menjadi praktik yang dilakukan oleh Pusat Bahasa. Seperti kita ketahui, penggantian ejaan itu dilakukan Pusat Bahasa secara diam-diam, tanpa pengumuman resmi; tetapi karena dimulai oleh instansi bahasa resmi, masyarakat mengikutinya tanpa protes walaupun penggantian ejaan itu bisa diperdebatkan.
Cara penulisan Anda dan praktik untuk menggantikan anda dan praktek yang secara diam-diam ditetapkan Pusat Bahasa sesudah sekitar tahun 1980-an pada hakikatnya melanggar konsensus yang disepakati ketika Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan diresmikan pada tahun 1972, yang menyatakan bahwa kata yang tidak terkena peraturan ejaan baru dikekalkan cara penulisannya. Konsensus itu juga diungkapkan dalam buku Pedoman itu. Cara menetapkan peraturan bahasa secara diam-diam itu menjadi sumber ketidakstabilan bahasa, dalam arti penutur akan terus-menerus ragu-ragu dan bertanya-tanya mana yang betul dan mana yang salah. Bila demikian pasti terganggulah kefasihan orang untuk berbahasa.
Kasus ini pun berlainan dengan pengucapan kata seperti ide dan komite sebagai [ide] dan [komite] yang dilakukan oleh kebanyakan penutur muda; padahal yang betul ialah [idE] dan [komitE]. Terjadinya salah ucap yang sering membuat gusar penutur ”tua” (=generasi yang dalam pendidikannya lebih banyak belajar bahasa asing) itu dapat dijelaskan oleh fakta bahwa penutur Bahasa Indonesia tidak biasa menggunakan kamus dalam berbahasa tulis maupun lisan, dan para siswa generasi sekarang di sekolah tidak dididik untuk berbuat demikian.
Kasus ketidakbiasaan menggunakan kamus dalam berbahasa di kalangan muda juga nampak dalam pelafalan kata-kata seperti [klaien] dan [faksimili] untuk kata klien dan facsimile, seolah-olah bahasa kita belum secara resmi menyerap kata-kata Inggris client dan facsimile, padahal sudah secara resmi ditetapkan dalam buku Pedoman Pembentukan Istilah dan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk ditulis klien dan faksimile; lafalnya [kliEn] dan [faksimilE].
Kesalahan pengucapan [paska] untuk bentuk pasca bisa saja dikembalikan kepada faktor tidak biasanya penutur menggunakan bahan-bahan rujukan untuk berbahasa, tetapi saya lebih melihat telah terjadi kegoncangan dalam tata nilai para penutur, yakni penutur telah kehilangan kemampuan menentukan mana yang betul mana yang salah dalam berbahasa; gejala ini, menurut pandangan saya, menandai bahwa bahasa kita merupakan salah satu pranata sosial budaya yang rentan keragu-raguan, ketidakpastian dan ketidakstabilan, yang kalau dibiarkan akan menyebabkan kegoncangan pada nilai-nilai budaya bangsa kita. Di sinilah letak peranan media massa, seperti pers dan buku, untuk terus-menerus mengingatkan penutur bahasa agar memanfaatkan dan memantapkan konvensi bsahasa yang berlaku sebelum menciptakan inovasi untuk mengungkapkan gagasan-gagasan segar yang memang diperlukan masyarakat bahasa yang hidup yang selalu menuntut perubahan demi kemajuan kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo