Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Determinisme Teknologi dan Tradisi Hari Raya

Kemajuan teknologi mengancam eksistensi tradisi Lebaran. Bagaimana kita mengantisipasinya?

9 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHADIRAN media sosial, yang kemudian menjadi saluran komunikasi populer di Indonesia, suka tidak suka turut mempengaruhi tradisi dan kebiasaan masyarakat. Tak terkecuali tradisi Lebaran, ketika dulu kita terbiasa melakukan aktivitas saling berkunjung ke sanak saudara dan kerabat demi menyambung tali silaturahmi serta bermaaf-maafan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini tradisi itu, meski masih kita jalankan, polanya mulai berubah, yang dipicu oleh determinisme teknologi atau ketergantungan pada keberadaan teknologi informasi. Orang lebih suka mengucapkan "minal aidin wal faidzin" lewat aplikasi perpesanan seperti WhatsApp serta media sosial X, Facebook, Instagram, dan lain-lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Popularitas media sosial di Indonesia memang tinggi. Data Digital Indonesia 2024 dari We Are Social & Meltwater menunjukkan sebesar 97,8 persen dari 278,7 juta penduduk Indonesia mengkonsumsi media sosial, dengan durasi pemakaian rata-rata 3 jam 11 menit per hari.

Apa yang salah dengan fenomena ini? Tidak ada dan hal ini adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak bisa menghindari atau mengubah perkembangan teknologi. Masih ingat fenomena ojek online yang melanda negara ini? Di beberapa daerah terjadi unjuk rasa, penghadangan, hingga aksi kekerasan terhadap pengemudi ojek online oleh serombongan pengemudi ojek konvensional. Mereka lupa bahwa ini adalah tantangan yang mau tidak mau harus mereka hadapi dan tak bisa dihindari.

Fenomena lain yang juga menarik kita perhatikan, yang berkaitan dengan masifnya penggunaan teknologi, adalah bagaimana konsumsi perangkat digital, seperti telepon seluler, seolah-olah menjadi bagian penting. Bahkan penulis mengamati, setiap kali Ramadan dan Idul Fitri, toko ponsel di banyak daerah selalu kebanjiran pembeli.  

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memang sedang mengepung kita. Sebagai negara berkembang, Indonesia termasuk negara dengan jumlah pengguna Internet yang tinggi. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mengumumkan jumlah pengguna Internet di Tanah Air pada 2024 mencapai 221,5 juta, dengan angka penetrasi 79,5 persen. Mayoritas mengakses Internet menggunakan ponsel. Hal ini menjadikan Indonesia pasar yang empuk bagi para produsen perangkat keras ataupun perangkat lunak teknologi informasi dan komunikasi.

Fenomena ini tergambarkan dalam pandangan Mark Poster (1990). Dalam bukunya yang berjudul The Second Media Age, ia menyatakan teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, terutama dunia maya, akan mengubah masyarakat. Ponsel, yang semula sekadar alat komunikasi, kini berubah menjadi bagian dari gaya hidup. Perangkat ini bahkan bisa menjadi sebuah tolok ukur kelas sosial seseorang. Wajarlah toko-toko ponsel penuh sesak pada hari raya. 

Tren teknologi terbaru yang mengubah tradisi Lebaran menjadi transaksi keuangan digital. Kini hampir semua orang mafhum bahwa uang tak mesti berupa benda fisik, tapi juga bisa berbentuk angka-angka yang terpampang di layar ponsel. Maka terjadilah perubahan tradisi pemberian "angpau Lebaran", dari biasanya dilakukan dengan amplop menjadi transfer menggunakan aplikasi mobile banking ataupun dompet digital. 

Tak mengherankan Bank Indonesia melaporkan bahwa nilai transaksi uang elektronik pada Maret 2023 (masa Ramadan dan Lebaran) meningkat sebesar 11,39 persen secara tahunan (year-on-year) menjadi Rp 34,1 triliun. Sementara itu, nilai transaksi digital banking mencapai Rp 4,994,1 triliun, naik sebesar 9,88 persen (year-on-year).      

Inilah contoh nyata determinisme teknologi. Kita tidak bisa menahan, mencegah, atau menghalangi perkembangan teknologi. Jika kita lebih bijak menggunakan teknologi komunikasi dan informasi, dunia ada di genggaman kita. Jika tidak, yang terjadi adalah sebaliknya, kitalah yang justru diperbudak oleh perkembangan teknologi. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengikuti kemajuan teknologi tak mesti dibarengi dengan menghentikan tradisi. Pemanfaatan teknologi informasi dalam perayaan Idul Fitri, misalnya, cukup kita jadikan sebagai sebuah saluran untuk menyambung silaturahmi. Namun perjumpaan fisik dan silaturahmi secara langsung tetaplah harus kita utamakan. 

Ucapan selamat hari raya dan permintaan maaf secara digital cukuplah digunakan untuk menjangkau keluarga dan kolega yang jauh dan tak terjangkau secara fisik. Jangan sampai justru kita menyampaikan ucapan selamat Lebaran secara digital kepada orang yang dekat dan dapat kita jangkau. Jika hal itu terjadi, teknologi digital telah menguasai dan menggantikan eksistensi diri kita.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Yayan Sakti Suryandaru

Yayan Sakti Suryandaru

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus