Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tentang keunggulan komparatif

Pada pjpt i indonesia berhasil mengembangkan ekonomi dengan doktrin keunggulan komparatif. kini, strategi itu tak cocok. diganti dengan teknologi melalui peningkatan sumber daya manusia.

17 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA argumentasi yang mengatakan bahwa selama PJPT-I Indonesia telah berhasil mengembangkan ekonominya berdasarkan doktrin keunggulan komparatif (comparative advantage). Tapi untuk PJPT- II strategi seperti itu dianggap tidak cocok lagi dan harus diganti dengan strategi lompatan teknologi melalui peningkatan sumber daya manusia. Dasar argumentasinya kurang lebih adalah sebagai berikut: Pada awal pembangunan, terutama selama Pelita III s/d V, strategi ekspor dengan memanfaatkan keunggulan komparatif melalui mekanisme pasar yang pada dasarnya bebas, telah berhasil menimbulkan industri yang memanfaatkan sumber daya ekonomi yang murah dan banyak tersedia di Indonesia, yaitu tenaga kerja dan sumber daya alam. Ekspor pakaian jadi, sepatu, mebel, minyak nabati, karet, timah dan sebagainya adalah contoh produk di mana Indonesia jelas mempunyai keunggulan. Dan untuk pengembangan industri-industri itu tidak banyak diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun tenaga manusia yang memiliki keterampilan tinggi. Dalam masa PJPT-II persaingan di pasar dunia akan semakin ketat. Negara-negara yang selama ini ketinggalan di bidang ekspor, seperti India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, dan juga negara-negara Amerika Latin, akan memacu ekspor hasil industri mereka dan mencoba mengejar ketinggalannya. Indonesia akan dituntut untuk mulai bersaing dalam produk-produk yang semakin canggih, semakin padat-teknologi, tapi juga yang mempunyai nilai tambah lebih besar. Dengan demikian, kata argumentasi itu, jelas bahwa strategi pembangunan harus diarahkan pada penguasaan teknologi canggih melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan tidak lagi mengandalkan pada keunggulan komparatif. Argumentasi di atas punya daya tarik besar karena sepintas lalu dasar pemikirannya logis dan masuk akal. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut ternyata ada kelemahan yang serius dalam arus pemikirannya, terutama mengenai konsep keunggulan komparatif (comparative advantage). Pertama, anggapan bahwa jika di masa yang lalu keunggulan komparatif Indonesia menghasilkan industri padat karya dan padat bahan mentah, maka untuk seterusnya di masa yang akan datang keunggulan komparatif itu akan tetap dan tidak berubah. Angapan ini tidak sesuai dengan kenyataan dan pengalaman negara-neara lain. Keunggulan komparatif suatu negara akan bergeser apabila jumlah, macam, dan kwalitas sumber daya ekonominya berubah. Jepang, misalnya, pada awal industrialisasinya juga mengandalkan produk-produk padat karya, seperti tekstil, untuk merebut pasaran internasional, tapi kemudian secara bertahap industri andalannya terus bergeser, dan sekarang keunggulan Jepang sudah jauh bergeser ke produk-produk yang padat teknologi. Hal yang sama terjadi di Korea, Taiwan, Singapura, dan sebagainya, di mana kekuatan pasar mendorong mereka terus menyesuaikan struktur industrinya ke bidang baru di mana mereka memiliki keunggulan komparatif. Juga Indonesia akan mengalami proses yang serupa, berarti bahwa keunggulan komparatif Indonesia tidak akan terus terpaku pada produk hasil tenaga kerja murah dan bahan mentah pertanian dan pertambangan saja. Hal kedua yang perlu diingat ialah bahwa keunggulan komparatif dapat berubah sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah dan dapat berubah jika keunggulan produksi negara pesaing dagang kita berubah. Contoh yang pertama ialah kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Melalui program pendidikan yang luas dan intensif, kualitas tenaga kerja cepat meningkat dan dengan demikian keunggulan komparatif bergeser ke cabang produksi yang lebih canggih. Contoh yang kedua ialah jika Jepang mulai menggunakan robot dalam industri tekstil sehingga produktivitasnya meningkat dan biaya produksinya menurun, maka itu mempengaruhi keunggulan komparatif Indonesia. Di Indonesia sekarang sudah ada konsensus, yang tertuang dalam GBHN, bahwa selama PJPT-II prioritas utama harus diberikan pada pengembangan sumber daya manusia. Melalui program pendidikan, kesehatan, riset dan pengembangan, dan sebagainya, kualitas tenaga kerja Indonesia akan meningkat dan dengan itu keunggulan komparatif akan bergeser. Dengan demikian tidak benar kalau dikatakan bahwa di tahun- tahun mendatang asas keunggulan komparatif tidak cocok lagi untuk Indonesia. Asas keunggulan komparatif masih tetap berlaku dalam PJPT-II jika kita mengartikannya secara dinamis dan tidak secara statis, yaitu bahwa keunggulan komparatif suatu negara tidak konstan tapi terus bergeser sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunannya. Mengenai lompatan teknologi, hal itu dapat saja dilakukan lewat satu atau beberapa cabang industri tertentu, tapi tidak untuk perekonomian secara keseluruhan dan tidak sebagai substitut bagi asas keunggulan komparatif. Masalahnya di situ ialah berapa besar biaya yang diperlukan untuk melakukan lompatan teknologi itu. Biaya yang tidak hanya berupa anggaran yang diperlukan tapi juga berupa subsidi (langsung atau tidak langsung) dan proteksi yang mengakibatkan harga barang yang diproteksi naik dan dibebankan pada pemakainya di dalam negeri. Biaya juga diartikan sebagai kesempatan yang harus dilepaskan (misalnya membangun gedung sekolah, rumah sakit, atau penyediaan air bersih) karena dana dan sumber daya lainnya dipakai untuk mengembangkan suatu cabang industri tertentu. Pada akhirnya keputusan apakah biaya sutu program lompatan teknologi wajar atau tidak, dan apakah sepantasnya ditanggung atau tidak oleh masyarakat umum, merupakan keputusan politik. Yang penting ialah bahwa sebelum keputusan politik seperti itu diambil, informasi mengenai segala aspek program itu diketahui dan dipahami secara luas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus