Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA terbiasa dengan gambaran ini, yang agaknya datang dari benua lain: penyair, terusir dari Kallipolis, lusuh, bau, kelayapan, insomniak, hidup tanpa jadwal, dan memproduksi hal-hal yang tak jelas fungsinya: sajak-sajak. Ia jarang mendapat tempat dalam sebuah struktur. Ia di luar. Kalaupun ia ingin, Kallipolis tak akan menerimanya kembali. Dalam kota ideal yang diangankan Plato itu, penyair adalah elemen yang hanya berperan buat memuja para pahlawan—dan kita tahu, itu tak akan cocok, sebab pahlawan adalah tokoh yang membeku dalam dongeng wajib. Maka ada benarnya, meskipun agak berlebihan, bila pada 1832 Alfred de Vigny menulis bahwa penyair adalah "kaum yang akan selalu dikutuk mereka yang berkuasa di atas bumi".
Waktu itu kota-kota Eropa, terutama Paris, mulai bergerak dengan desain modern yang lugas dan teratur. Di sana puisi, dengan sifatnya yang tak terduga-duga, makin terasing. Paul Verlaine menyusun kumpulan puisi, Les Poètes maudits, yang terbit pada 1884: karya-karya "penyair terkutuk". Yang tergabung dalam rombongan ini Verlaine sendiri, juga Rimbaud dan Mallarmé—untuk menyebut yang paling dikenal di luar Prancis. Di barisan depan: Baudelaire.
Baudelaire dijatuhi hukuman setelah ia menerbitkan Les Fleurs du mal, 25 Juni 1857. Kumpulan puisi itu dianggap menampar "moralitas masyarakat". Baudelaire tak dipenjara, namun didenda dan enam sajak dalam Les Fleurs du mal harus dicabut.
Seperti berulang kali terjadi, sensor adalah ketakaburan yang bodoh: mengutuk buku berarti membuatnya ramai dicari. Pada umur 36 tahun, Baudelaire telah menghasilkan satu karya yang paling banyak dibicarakan dan dikagumi—meskipun ia semula datang untuk mencerca dan dicerca.
Ia anak muda pesolek dan pemboros, pelanggan seorang pelacur botak yang buruk muka. Kata orang, dari sini ia terkena raja singa yang pelan-pelan membunuhnya. Mungkin tak hanya sifilis. Ia penikmat laudanum, candu yang dilarutkan dalam alkohol. Ia mengagumi Edgar Allan Poe, penyair Amerika pemabuk yang menurut Baudelaire menggambarkan "kegemilangan" opium, yang muram, hitam, tapi menggugah. Sang penyair Les Fleurs du mal juga anggota tetap Club des Hashischins, sebuah perhimpunan sastra di Paris yang bertujuan menjelajahi kreativitas manusia saat kesadarannya berubah karena pengaruh hashish.
Tak mengherankan bila ia ingin ada jarak, bahkan pertentangan, antara dirinya, juga puisinya, dan ukuran-ukuran akhlak yang lazim. "Ibu tahu," tulisnya di sepucuk surat kepada ibunya beberapa belas tahun sebelum ia meninggal di pangkuan perempuan belahan jiwanya itu, "bahwa aku selalu menganggap sastra dan seni mengejar tujuan yang tak tergantung kepada moralitas."
Sajak-sajaknya memang anti-pesan-moral. Ia menyentuh dengan akrab seks, melankoli, kematian—dengan kata-kata yang menampar. Sajak pembuka Les Fleurs du mal, "Au lecteur" (Kepada Pembaca), menyamakan sang pembaca seperti dirinya: hipokrit. Bila manusia berani, tulisnya, hidup yang datar seperti "kanvas yang banal" ini seharusnya bisa dihiasi dengan "perkosaan, racun, pisau, dan api yang membasmi". Sebab ada yang "lebih buruk, lebih jahat, lebih jorok" ketimbang semua yang mengancam kehidupan, dan itu adalah "Rasa Jemu", l'Ennui.
"Penyair terkutuk" yang memusuhi rasa jemu itu pada gilirannya jadi posisi tersendiri dalam hubungan sastra dengan masyarakat. Di mana-mana. Seandainya kumpulan Verlaine terbit di pertengahan abad ke-20, dan meliputi sastra seluruh dunia, ia mungkin akan memasukkan sajak Chairil Anwar, "binatang jalang/dari kumpulannya terbuang".
Tapi apa artinya bagi "kumpulannya", bagi masyarakatnya?
Baudelaire menyatakan karyanya tak mengejar "tujuan yang tergantung kepada moralitas". Tapi itu tak berarti sajak-sajaknya tak berangkat dari konteks moral tertentu. "Semua sajak, semua benda seni, sepenuhnya menyarankan secara wajar dan kukuh satu moral," tulisnya. Keindahan tak cuma "abadi". Ia juga terpaut kepada keadaan yang merupakan gabungan "zaman, cara hidup, moral, dan gairah hati". Dengan kata lain, dalam sesuatu yang indah, ada yang tak tersentuh ruang dan waktu; tapi sesuatu yang indah harus hadir dalam "sesuatu", dan "sesuatu" hanya terwujud dalam dunia manusia di mana moral dan masyarakat saling membentuk.
Tapi ia tetap mandiri: tak bisa ditaklukkan kutukan "mereka yang berkuasa di dunia". Juga tak bisa digunakan melayani Negara, Partai, Modal, dan Pasar. Dalam posisi itu puisi justru menggugat. Ia menjadikan dirinya tak berguna, dan dengan itu, seperti dikatakan Adorno, ia melawan pemujaan kepada "guna"—sebuah pemujaan yang lupa bahwa "guna" selalu ditentukan oleh imperialisme manusia atas benda-benda.
Di tengah imperialisme itu, puisi terkutuk, tapi ia menunjukkan sesuatu yang lain: ada yang berarti dalam benda-benda tak berguna.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo