Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menunda peresmian Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno-Hatta cukup beralasan. Apalagi Jonan mengemukakan argumen masuk akal: standar keamanan terminal itu belum terpenuhi.
Apa boleh buat, keinginan banyak pihak akan hadirnya terminal baru sebelum Lebaran belum bisa terwujud. Padahal gedung megah dengan ornamen budaya dari Sabang sampai Merauke itu sekilas tampak sudah rapi jali. Terminal dengan 28 gerbang untuk rute domestik dan internasional itu bahkan digadang-gadang sekelas dengan Bandara Changi, Singapura. Terminal yang dibangun dengan biaya Rp 7 triliun ini mampu menampung 25 juta penumpang setahun—sangat membantu mengurangi beban Soekarno-Hatta yang sekarang kebanjiran 60 juta penumpang.
Mungkin itu sebabnya Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli menegaskan keinginan Presiden Joko Widodo agar terminal diresmikan sebelum Lebaran. Problem kekurangan listrik yang diidentifikasi Rizal memang sudah bisa diperbaiki, tapi itu bukan masalah terpenting.
Problem terpenting ternyata soal keamanan: wilayah manuver pesawat di Terminal 3 tak bisa dilihat langsung dari menara pemandu lalu lintas udara (air traffic controller/ATC). Kementerian Perhubungan mensyaratkan soal menara pemandu atau ATC itu dipecahkan sebelum peresmian. Walaupun ATC itu sebenarnya milik Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau AirNav Indonesia dan bukan milik Angkasa Pura II sebagai operator bandara, syarat yang diminta Kementerian Perhubungan wajib dipenuhi.
Berdasarkan regulasi, ATC harus bisa melihat langsung lalu lintas penerbangan. Meskipun di Terminal 3 yang lama pengawas dari menara pemandu tak bisa melihat langsung lalu lintas itu, dan dibantu dengan kamera pemantau (CCTV), bukan berarti "kelemahan" tersebut boleh begitu saja diteruskan di Terminal 3 Ultimate. Pandangan dari menara pemandu lalu lintas Terminal 3 Ultimate ke area manuver pesawat yang saat ini terhalang atap Terminal 3 lama mesti segera dibebaskan.
Demi keselamatan, "kejar tayang" peresmian bandara baru itu memang mesti dihindari. Sikap Menteri Jonan yang mendahulukan keselamatan publik layak didukung. Tapi Jonan perlu membereskan koordinasi di kementeriannya. Sebelum penundaan itu, PT Angkasa Pura II menyatakan sudah mengantongi lampu hijau dari salah satu direktorat di Kementerian Perhubungan. Koordinasi intensif pun telah dilakukan Angkasa Pura II dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan. Semua pihak optimistis terminal bisa diresmikan pada 20 Juni 2016, tapi banyak yang bertanya-tanya alasan Menteri Jonan mempersoalkan standar keamanan hanya tiga hari menjelang jadwal peresmian.
Jonan punya alasan tepat dengan mensyaratkan semua lini pengelolaan bandara harus memenuhi standar internasional Civil Aviation Regulation. Lebih lagi karena Indonesia akan mencalonkan diri sebagai anggota dewan di Organisasi Internasional untuk Penerbangan Sipil (ICAO), September nanti.
Obyektivitas Jonan itu akan diuji dengan serangkaian perbaikan yang sedang dilakukan Angkasa Pura II—umpamanya membangun menara pemandu yang memenuhi syarat. Kalau dengan sejumlah perbaikan itu Terminal 3 Ultimate masih tak lolos verifikasi Kementerian, patut diduga ada alasan "nonteknis" di baliknya, misalnya berkaitan dengan isu yang beredar bahwa Direktur Utama Angkasa Pura II Budi Karya akan mengisi kursi Menteri Perhubungan dalam bursa perubahan kabinet mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo