DI Tahun 1965 Presiden Amerika Johnson sibuk juga mengurus
masalah pemerataan. Orang Negro tertingal di belakang dari
orang putih dalam masyarakat Amerika yang disebut kaya raya itu,
dan suara protes serta keprihatinan terdengar deras.
Maka berkatalah Johnson sebagaimana tercatat dalam Executive
Order 11246, September 1965: "Bayangkan perlombaan lari 100 yard
di mana salah seorang pelari kedua kakinya terantai. Ia telah
maju 10 yard, sementara pelari yang satunya telah mencapai 50
yard. Pada tahap itu juri memutuskan bahwa pertandingan itu
tidak adil. Lalu bagaimana mereka memperbaiki keadaan? Haruskah
mereka hanya melepaskan rantai yang mengikat dan kemudian
menyuruh perlombaan diteruskan? Dengan itu mereka dapat
mengatakan bahwa 'persamaan kesempatan' telah berlaku. Akan
tetapi salah seorang pelari dari pelari itu sudah berada 40 yard
di depan pelari yang lain. Tidakkah akan lebih merupakan
keadilan untuk mengijinkan pelari yang kakinya semula terantai
untuk mengejar dulu ketinggalan 40 yard itu atau memulai
kembali pertandingan itu sama sekali?"
Johnson nampaknya ingin menggerakkan pihak yang ketinggalan
lebih dulu. Seluruh beleidnya bertemakan ikhtiar memperluas
persamaan kesempatan. Yang diarah pertama ialah pendidikan
sekolah. Anak-anak kulit hitam yang tinggal di daerah miskin
diintegrasikan ke sekolah-sekolah kulit putih kelas menengah.
Kalau jaraknya berjauhan, disediakan bis.
Namun kemudian terlihat, bahwa bukan kondisi sekolah yang
menyebabkan perbedaan hasil prestasi para murid. Di tahun 1966,
sebuah survai dilakukan terhadap 4000 sekolah dan 600.000 murid.
Yang mengadakan survai, Prof. James Coleman dari John Hopkins
University, mulanya berharap bahwa ia akan menemukan ketimpangan
menyolok dalam fasilitas sekolah-sekolah itu-antara yang
dikunjungi orang hitam dengan yang dikunjungi si putih kaya. Ia
berharap penemuannya nanti akan mendorong pembiayaan lebih besar
diberihan oleh pemerintah AS buat sekolah anak-anak kulit hitam.
Tapi ternyata satu hal lain diketahui: sedikit sekali beda
fasilitas itu. Ternyata juga bahwa perbedaan angka prestasi
antara murid kulit hitam dengan murid kulit putih sudah nampak
di kelas satu. Kesimpulan Coleman yang ditulisnya dalam Equality
of Educational Opportunity akhirnya berbunyi: "Latarbelakang
keluarga yang berlainanlah yang lebih menentukan adanya variasi
dalam prestasi."
Maka orang pun mulai berfikir kembali. Pendidikan sekolah
bukanlah sumber kekuatan yang bisa menyebabkan pemerataan. Murid
yang tak begitu berhasil dalam kehidupan, karena ia tak begitu
tinggi prestasinya di sekolah, pada akhirnya hanya akibat
sejarah keluarganya yang naas.
Dan Presiden Johnson berbicara tentang kaki yang terantai. Tapi
di mana letak rantai itu? Haruskah masyarakat disamaratakan
dulu, supaya menjadi samarata seterusnya?
Seorang ahli lain, Christopher Jencks, seraya menelaah data
Coleman menulis juga sebuah buku penting yang berjudul
Inequality. Ia tak berbicara tentang penyamarataan kondisi
sosial keluarga-keluarga anggota masyarakat. Ia punya dasar
argumentasi yang menarik. Ia melihat, bahwa seringkali murid
yang punya prestasi terbaik dalam survai Coleman sama-sama
berada satu sekolah dengan murid yang prestasinya paling buruk.
Maka baginya, soal pokok pada jangka panjang bukanlah perbedaan
kondisi antar sekolah. Masalah pokok kemudian ialah perbedaan
antara murid yang terpintar dan terbodoh.
Christopher Jencks sendiri cenderung melihat ketidaksamaan nasib
sebagai sesuatu yang tak mudah diterangkan sebab-sebabnya.
Kesimpulannya? "Kita harus mengubah aturan permainan," kata
Jencks, "supaya berkurang hadiah yang didapat dari sukses
seseorang dalam persaingan, dan berkurang pula beban seseorang
dalam kegagalan." Maka tujuan sebuah kebijaksanaan sosial ialah
pemerataan hasil, bukan pemerataan kesempatan.
Namun adilkah hasil yang sama bagi orang yang bekerja dengan
dedikasi tak sama? Tentu tidak. Keadilan memang tiap kali
dituntut untuk ditinjau kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini