Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tiap Kali Perlu Ditinjau

Presiden AS Johnson sibuk mengurus masalah pemerataan. Orang negro yang terbelakang memperoleh kesempatan sama dengan kulit putih, namun prestasi hasilnya berbeda. Keadilan tiap kali perlu ditinjau.

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Tahun 1965 Presiden Amerika Johnson sibuk juga mengurus masalah pemerataan. Orang Negro tertingal di belakang dari orang putih dalam masyarakat Amerika yang disebut kaya raya itu, dan suara protes serta keprihatinan terdengar deras. Maka berkatalah Johnson sebagaimana tercatat dalam Executive Order 11246, September 1965: "Bayangkan perlombaan lari 100 yard di mana salah seorang pelari kedua kakinya terantai. Ia telah maju 10 yard, sementara pelari yang satunya telah mencapai 50 yard. Pada tahap itu juri memutuskan bahwa pertandingan itu tidak adil. Lalu bagaimana mereka memperbaiki keadaan? Haruskah mereka hanya melepaskan rantai yang mengikat dan kemudian menyuruh perlombaan diteruskan? Dengan itu mereka dapat mengatakan bahwa 'persamaan kesempatan' telah berlaku. Akan tetapi salah seorang pelari dari pelari itu sudah berada 40 yard di depan pelari yang lain. Tidakkah akan lebih merupakan keadilan untuk mengijinkan pelari yang kakinya semula terantai untuk mengejar dulu ketinggalan 40 yard itu atau memulai kembali pertandingan itu sama sekali?" Johnson nampaknya ingin menggerakkan pihak yang ketinggalan lebih dulu. Seluruh beleidnya bertemakan ikhtiar memperluas persamaan kesempatan. Yang diarah pertama ialah pendidikan sekolah. Anak-anak kulit hitam yang tinggal di daerah miskin diintegrasikan ke sekolah-sekolah kulit putih kelas menengah. Kalau jaraknya berjauhan, disediakan bis. Namun kemudian terlihat, bahwa bukan kondisi sekolah yang menyebabkan perbedaan hasil prestasi para murid. Di tahun 1966, sebuah survai dilakukan terhadap 4000 sekolah dan 600.000 murid. Yang mengadakan survai, Prof. James Coleman dari John Hopkins University, mulanya berharap bahwa ia akan menemukan ketimpangan menyolok dalam fasilitas sekolah-sekolah itu-antara yang dikunjungi orang hitam dengan yang dikunjungi si putih kaya. Ia berharap penemuannya nanti akan mendorong pembiayaan lebih besar diberihan oleh pemerintah AS buat sekolah anak-anak kulit hitam. Tapi ternyata satu hal lain diketahui: sedikit sekali beda fasilitas itu. Ternyata juga bahwa perbedaan angka prestasi antara murid kulit hitam dengan murid kulit putih sudah nampak di kelas satu. Kesimpulan Coleman yang ditulisnya dalam Equality of Educational Opportunity akhirnya berbunyi: "Latarbelakang keluarga yang berlainanlah yang lebih menentukan adanya variasi dalam prestasi." Maka orang pun mulai berfikir kembali. Pendidikan sekolah bukanlah sumber kekuatan yang bisa menyebabkan pemerataan. Murid yang tak begitu berhasil dalam kehidupan, karena ia tak begitu tinggi prestasinya di sekolah, pada akhirnya hanya akibat sejarah keluarganya yang naas. Dan Presiden Johnson berbicara tentang kaki yang terantai. Tapi di mana letak rantai itu? Haruskah masyarakat disamaratakan dulu, supaya menjadi samarata seterusnya? Seorang ahli lain, Christopher Jencks, seraya menelaah data Coleman menulis juga sebuah buku penting yang berjudul Inequality. Ia tak berbicara tentang penyamarataan kondisi sosial keluarga-keluarga anggota masyarakat. Ia punya dasar argumentasi yang menarik. Ia melihat, bahwa seringkali murid yang punya prestasi terbaik dalam survai Coleman sama-sama berada satu sekolah dengan murid yang prestasinya paling buruk. Maka baginya, soal pokok pada jangka panjang bukanlah perbedaan kondisi antar sekolah. Masalah pokok kemudian ialah perbedaan antara murid yang terpintar dan terbodoh. Christopher Jencks sendiri cenderung melihat ketidaksamaan nasib sebagai sesuatu yang tak mudah diterangkan sebab-sebabnya. Kesimpulannya? "Kita harus mengubah aturan permainan," kata Jencks, "supaya berkurang hadiah yang didapat dari sukses seseorang dalam persaingan, dan berkurang pula beban seseorang dalam kegagalan." Maka tujuan sebuah kebijaksanaan sosial ialah pemerataan hasil, bukan pemerataan kesempatan. Namun adilkah hasil yang sama bagi orang yang bekerja dengan dedikasi tak sama? Tentu tidak. Keadilan memang tiap kali dituntut untuk ditinjau kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus