Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danarto
DEWASA ini ada tiga orang The Beauty Iron Lady dari Sulawesi. Ketua Umum ICMI Marwah Daud Ibrahim, Siti Musdah Mulia yang berkobar-kobar dengan pikiran-pikiran revolusionernya yang mengakibatkan banyak pakar berang. Lalu Lia Aminuddin yang selalu bikin gerah sehingga para ulama sibuk membolak-balik kitab suci Al-Quran maupun Alkitab. Bahkan, kalau perlu, para superman membakar padepokan Lia di Cisarua, Bogor.
Hidup bagi kebanyakan kita perlu makan enak, nonton King Kong, dan membangun pagar mewah miliaran rupiah untuk melindungi mobil-mobil mewah yang kita parkir di Senayan. Bagi Lia, ibu empat anak—dua di antaranya sudah berkeluarga—hidup adalah pelaksanaan misi suci. Misi pertama adalah menjembatani antara Islam dan Kristen yang, menurut Lia, bertengkar melulu. Misi kedua adalah pengabaran bahwa Malaikat Jibril a.s. belum pensiun, jadi masih aktif menjalankan tugasnya.
Dasar pemikirannya ditopang oleh Al-Quran 40:15: ”Dia yang Mahatinggi derajat, Yang mempunyai ’arasy, mengutus ruh (Jibril) dengan membawa perintah-Nya (wahyu) kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya agar dia peringatkan (manusia) tentang hari pertemuan” (terjemahan oleh Drs H.A. Nazri Adlany, Drs H. Hanafie Tamam, Drs H.A. Faruq Nasution). Karena masa kenabian sudah berakhir, maka—begitu pikiran Lia—tibalah masa kejelataan, ketika orang-orang biasa disambangi Malaikat Jibril a.s. untuk diberi wahyu (dalam pengertian sesungguhnya).
Maka tak mengherankan ketika para wartawan di Polda Metro Jaya, pada Kamis, 5 Januari 2006, yang mencoba mewawancarai Lia yang berpakaian tahanan—yang tak pernah dikenakan kepada para koruptor—ditolak dengan jawaban, ”Belum menerima wahyu.”
Dari perkara wahyu inilah, hidup Lia dan jemaahnya sehari-harinya hanya berurusan dengan agama. Dalam sehari semalam, Lia sering melaksanakan pengajian sampai sepuluh kali. Sampai detik ini, print-out ceramah Lia sudah puluhan ribu lembar dengan ribuan judul dari berbagai masalah.
Cara Lia memimpin pengajian cukup unik. Dia telentang di lantai dan dibantu oleh enam orang perempuan. Empat orang perempuan memijit kedua pergelangan tangannya dan kedua pergelangan kakinya, satu orang menyorongkan mikrofon ke mulutnya, dan seorang lagi mengetik apa yang diucapkannya pada komputer. Lia adalah seorang medium. Yang berbicara lewat mulut Lia, atau Lia mengutipnya dari penceramah sesungguhnya, adalah yang diyakini oleh Lia dan jemaahnya, Malaikat Jibril a.s. yang biasa dipanggil Syekh. Kadang juga Lia dan jemaahnya meyakini bahwa ada wahyu yang diturunkan langsung oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Sering terdengar dialog dengan jemaahnya: ”Wahyu ini dari Syekh atau Allah?” yang dijawab: ”O, wahyu ini langsung dari Allah.”
Lia, 54 tahun, adalah seorang seniman. Seorang perancang kembang kering yang terkenal dan hidup darinya. Pergaulannya luas: dari rakyat jelata sampai Istana Merdeka. Lia adalah kesayangan Ibu Tien Soeharto yang dijuluki wanita teladan. Tokoh-tokoh nasional mengenalnya dengan baik dan Lia biasa ngobrol dengan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Bismar Siregar, Ma’rie Muhammad, Sinta Nuriyah (yang kemudian menjadi first lady dari Presiden Abdurrahman Wahid) dan para jenderal. Lia adalah seorang selebriti tulen.
Ibu-ibu jelata yang datang untuk konsultasi dilayaninya dengan senang hati. Mereka bertanya tentang peruntungan dalam hidup, cara mudah mencari nafkah, hidup setelah mati, surga-neraka, dan perjodohan. Di antara ibu-ibu itu ada yang kolokan minta dipijit dan Lia pun memijitnya karena Lia juga mengembangkan penyembuhan penyakit lewat pijitan. Setelah Lia menjawab semua kebutuhan mereka, diajaknya mereka bercanda hal-hal remeh-temeh yang membuat hati mereka gembira. Kamar tamu lalu penuh lelucon. Lalu Lia menyuguhi mereka makanan. Juga, yang tidak punya ongkos pulang, diberinya uang sekadarnya. ”Ini dukun apaan?” celetuk seorang ibu yang biasa melempar tasnya lebih dulu sebelum duduk di rumah Lia di Sunter Podomoro, Jakarta Utara. ”Sudah nyuguh makan, ngasih duit pula.” Lalu suasana penuh ger-geran.
Salamullah, ini mula-mula nama komunitas Lia yang bikin geger pada 1998 oleh wawancara sebuah majalah di Jakarta. Waktu itu Lia memproklamasikan diri sebagai Imam Mahdi yang didampingi Malaikat Jibril a.s. Dia juga mengumumkan bahwa seorang anaknya merupakan titisan Yesus Kristus, namun anak ini menentangnya lalu mengucilkan diri dan tidak mau menemui ibunya sampai sekarang. Sekitar Januari 1999, Majelis Ulama Indonesia memvonis Salamullah sebagai komunitas sesat.
Begitulah. Para ulama di mana-mana menentang Salamullah dengan sangat keras, juga para rohaniwan Katolik. Kemudian Presiden Habibie meminta Departemen Agama memanggil Lia. Di hadapan para pakar agama Departemen Agama, Lia berbicara sekitar empat jam mengenai dirinya dan Salamullah. Departemen Agama kemudian memutuskan bahwa tidak ada masalah dengan Salamullah.
Diskusi-diskusi tentang Salamullah dilangsungkan di sejumlah tempat, di antaranya di Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang dihadiri Lia. Dalam diskusi di Forum Mahasiswa Ciputat, Dr Zainul Kamal, seorang dosen Institut Agama Islam Negeri, Jakarta, menyatakan bahwa jika yang mendampingi Lia Aminuddin itu benar-benar Malaikat Jibril, maka Kitab Suci Al-Quran itu palsu.
Di tempat terpisah, Gus Dur menyatakan bahwa meskipun Lia Aminuddin sesat, dia tak bisa diadili. Bagaimana mungkin mengadili keyakinan agama?
Akhirnya, Lia diperiksa di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, beberapa kali. Seorang psikiater mendampingi Lia. Di sinilah Lia unjuk kebolehan yang bahkan David Copperfield bisa tewas bila hadir di depannya. Di siang hari, di satu ruang kejaksaan, Lia bermetamorfosis menjadi Ibunda Maria, seorang putri mungil yang manis sekali untuk sekitar 15 detik, lalu Lia menjadi Malaikat Jibril, laki-laki berewokan yang luar biasa gantengnya, juga sekitar 15 detik. ”Konyolnya”, sang psikiater mampu melihat perubahan bentuk tubuh Lia yang menakjubkan itu, lalu kontan menyatakan bahwa Lia tidak sakit jiwa.
Lia dan Salamullah kemudian beredar di daerah-daerah. Di masjid Ponpes La Tanza, Rangkasbitung, Jawa Barat, Lia mengadakan pengajian di hadapan ribuan santrinya. Di pelataran masjid, para santri berteriak-teriak sambil menatap langit karena di angkasa tertera tulisan Allah dari awan-gemawan. Di Pekalongan, Lia dan jemaahnya tiduran di parkiran untuk menatap langit yang sedang terjadi silang-selungkai perpindahan bintang-bintang dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tanpa terbakar. Kemudian mereka mengunjungi paroki di Semarang. Salamullah menyuguhkan nyanyian—karya Lia yang jumlahnya hingga sekarang sudah mencapai 200 nyanyian—di hadapan para biarawati dan pastor. Salamullah dan para penghuni paroki itu lalu bertangis-tangisan. Perjalanan dilanjutkan ke Sendang Sono, Muntilan, Yogya, tempat yang disucikan karena diyakini Ibunda Maria pernah mengejawantah di sini.
Sebagai jembatan bagi Islam dan Kristen, Lia yang memeluk Islam merasa tidak adil. Dia harus jadi orang yang netral. Lalu Lia keluar dari Islam dan memeluk, menurut Lia, agama perenial. Kepada jemaahnya, Lia meminta mereka memilih, Islam atau perenial. Ada yang tetap Islam dan ada yang memilih perenial. Agama perenial adalah agama murni sebelum agama samawi diwahyukan Allah. Ritualnya: bermeditasi, pengakuan dosa di hadapan sesama jemaah, dan membakar tubuh.
Terlalu gampang menyatakan Lia sesat dengan tuduhan penodaan terhadap agama dan menangkapnya. Pemerintah Indonesia Bersatu sebenarnya sesat pula karena menyengsarakan rakyatnya. Jauh lebih mengerikan dosanya. Juga Majelis Ulama Indonesia adalah organisasi yang sesat karena melarang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Di antara kelelahan interogasi, barangkali Lia bisa dimintai tolong untuk mendeteksi di mana Noor Din M. Top bersembunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo