Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Timur Tengah Pasca-Hafiz al-Asad

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riza Sihbudi
Peneliti LIPI

NO war without Egypt, no peace without Syria" menjadi pepatah yang sangat terkenal di Timur Tengah. Maksudnya, tak akan ada perang (Arab-Israel) tanpa keterlibatan Mesir, dan tak akan ada perdamaian tanpa keterlibatan Suriah. Itulah sebabnya, kendati Israel sudah berdamai dengan Mesir, Yordania, dan Palestina, itu dianggap belum cukup selama belum ada perdamaian dengan Suriah. Memang, selama tiga dekade di bawah Hafiz al-Asad, Suriah menjadi satu-satunya negara "garis depan" yang paling sulit diajak berkompromi oleh Israel. Karena itu, proses perdamaian Arab-Israel terlihat mengalami stagnasi.

Kini, Asad, yang dijuluki sebagai "Lion of Damascus", sudah wafat. Lalu, bagaimana nasib proses perdamaian Arab-Israel sepeninggalnya?

Barangkali sangat sedikit—atau tak ada sama sekali—seorang "diktator" yang disegani banyak pemimpin dunia lainnya, termasuk dari Barat. Lihat, misalnya, para petinggi Barat yang menghadiri upacara pemakaman Asad, seperti Menteri Luar Negeri AS, Menteri Luar Negeri Inggris, dan Presiden Prancis, di samping hampir semua tokoh penting Timur Tengah. Bahkan Irak, yang menjadi musuh bebuyutan Asad di Dunia Arab, mengirimkan wakil presidennya.

Para pengamat, pemimpin, ataupun pers Barat umumnya sepakat menyebut Asad sebagai "diktator yang acap kali menggunakan cara-cara brutal untuk menghabisi lawan-lawan politiknya." Ingat saja, bagaimana ia menghabisi sekitar 20 ribu kaum "revivalis Islam" yang melancarkan aksi anti-Asad di Kota Hamma pada 1982. Penyerbuan itu dipimpin adiknya, Rifaat al-Asad, yang mengomandani pasukan elite, Sarayaaddifa. Tapi, dua tahun kemudian, justru Rifaat yang disingkirkan. Rifaat tidak hanya dicopot sebagai komandan Sarayaaddifa, tapi juga dari kursi wakil presiden, serta diusir dari negaranya. Tidak hanya itu, Asad pun memberlakukan kontrol yang ketat terhadap media massa (termasuk melarang parabola dan internet), serta mengharamkan oposisi.

Sikap kaku dan keras Asad juga terlihat dari politik luar negeri Suriah. Sejak awal 1980-an, misalnya, Asad menerapkan doktrin strategic parity ("keseimbangan strategis"), yaitu kekuatan militer Suriah harus terus dibangun sampai pada tingkat "mampu mengimbangi kekuatan militer Israel". Untuk menunjang ambisinya itu—sebagai akibat kekalahan dalam Perang 1973 dan ditinggalkan sekutunya, Mesir, yang berdamai dengan Israel—Asad mengalokasikan 35-56 persen dana APBN guna membangun sektor pertahanan. Asad pun berupaya mengendalikan Lebanon dan Palestina dengan cara mendukung faksi-faksi tertentu di Lebanon ataupun PLO.

Terhadap gagasan perdamaian Timur Tengah, Asad tidak beranjak dari prinsip lima "tidak" yang dianut Arab pra-1979, yaitu tidak ada perundingan dengan Israel sebelum negara Yahudi ini menarik mundur seluruh pasukannya dari wilayah-wilayah yang diduduki; tidak ada perundingan langsung (face-to-face) dengan Israel; tidak ada solusi secara parsial; tidak ada kesepakatan secara terpisah; dan tidak menerima perjanjian damai secara formal. Asad kemudian menambahkan "tidak" yang keenam, yaitu tidak ada pemecahan konflik Suriah-Israel sebelum bangsa Palestina mendapatkan hak-hak sah mereka. Itulah sebabnya, ketika Mesir kemudian meneken perjanjian damai dengan Israel dan AS di Camp David (1979), Asad termasuk yang terdepan menentangnya. Begitu pula ketika tercapai perdamaian Palestina-Israel (Oslo 1993) dan Yordania-Israel (1994). Asad menuding para pemuka Arab yang berdamai dengan Israel sebagai "pengkhianat."

Konsistensi Asad juga terlihat ketika negaranya hanya mau berpartisipasi dalam perundingan Arab-Israel yang dikenal sebagai Konferensi Madrid (1991). Dalam konferensi yang disponsori Washington dan Moskow itu, Suriah berada di satu "front" bersama Palestina, Lebanon, dan Yordania. Namun, kegagalan perundingan Madrid menyebabkan Yasser Arafat dan mendiang Raja Hussein bin Talal kemudian lebih memilih jalur perundingan bilateral dengan mendiang Yitzhak Rabin. Dan Asad pun merasa untuk kedua kalinya ditinggalkan para sekutu Arabnya. Tapi, situasi ini tidak membuat Asad surut. Presiden Clinton, misalnya, dalam KTT AS-Suriah di Jenewa, Maret lalu, tidak berhasil melunakkan Asad agar menerima tawaran damai dari Israel. Waktu itu Ehud Barak menawarkan diadakannya negosiasi dengan Asad sebelum Israel mundur dari Dataran Tinggi Golan dan Lebanon Selatan. Namun, Asad bergeming dari tuntutan: agar semua pasukan Israel ditarik dari setiap inci tanah di Golan dan Lebanon Selatan, setelah itu baru membahas soal perdamaian.

Tapi, itulah Asad. Kendati selalu menampakkan sikap yang kaku dan keras, serta sering kali dijuluki oleh AS sebagai "pendukung terorisme internasional", toh ia sangat disegani oleh Barat. Tentu ini bukan hanya lantaran ia sempat bergabung dalam pasukan Sekutu ketika mengusir Irak dari Kuwait (1991), tapi itu tadi, mereka menyadari bahwa tidak akan ada perdamaian Arab-Israel tanpa keterlibatan Suriah.

Asad sudah tiada. Anaknya, Bashar al-Asad, kini muncul sebagai penggantinya. Semula Asad senior berharap adiknya, Rifaat, yang akan menggantikannya. Tapi karena Rifaat tidak sabar, ia pun tersingkir. Kemudian Asad mencoba mengorbitkan putra sulungnya, Basil al-Asad, tapi ia keburu tewas akibat kecelakaan pada 1994.

Bashar, yang semula tidak berminat terjun ke politik (ia lebih tertarik bidang teknologi informasi dan kedokteran mata), oleh banyak kalangan sempat diragukan kemampuannya. Apalagi mengingat usianya yang masih relatif muda, 34 tahun. Namun, Bashar telah menunjukkan "kelasnya" sebagai calon pemimpin. Kepemimpinannya secara formal memang baru akan disahkan pada 17 Juni ini dalam Kongres Partai Ba'th yang berkuasa. Namun, selama tiga tahun terakhir ia sudah dipersiapkan oleh sang ayah.

Dibandingkan dengan sang ayah, Bashar lebih banyak bersentuhan dengan Barat. Ia sangat fasih berbahasa Inggris dan Prancis. Antara 1988 dan 1992, ia sempat magang di rumah sakit militer Tishrin, Tehran (Iran), sebelum berangkat ke London untuk lebih memperdalam ilmu kedokteran mata. Bashar lalu masuk akademi militer di Homs, utara Damaskus, dan meraih pangkat kolonel pada Januari 1999. Tapi, prestasinya yang cukup spektakuler di kancah politik adalah ketika ia berhasil mempengaruhi ayahnya untuk mendukung Jenderal Emile Lahoud sebagai Presiden Lebanon pada 1998, serta "membersihkan" para koruptor di sekitar ayahnya. Dalam dua tahun terakhir, gerakan antikorupsi yang dipimpin Bashar berhasil menyeret sejumlah pejabat senior (sipil dan militer) yang korup. Di antara mereka terdapat mantan kepala intelijen, Brigjen Bashir Najjar, yang dijebloskan ke penjara selama 12 tahun, dan mantan PM Mahmud al-Zohbi, yang ditangkap pada Maret lalu (dan lebih memilih bunuh diri pada Mei lalu ketimbang menghadapi pengadilan).

Kendati Hafiz memimpin dengan tangan besi (yang tampaknya "diperlukan" bagi negara dan bangsa yang sangat heterogen serta sering dilanda kudeta militer seperti Suriah), toh ia dikenal sebagai sosok yang "bersih." Citra demikian tampaknya juga melekat pada diri Bashar. Dan naiknya Bashar diharapkan akan membawa angin segar bagi Suriah, tidak hanya ke dalam, tapi juga ke luar. Ia memang sudah menegaskan akan meneruskan kebijakan ayahnya. Namun, ini harus dipahami dalam konteks jangka pendek, ketika suasana duka cita masih menyelimuti Suriah.

Dengan latar belakang pendidikan dan pergaulan yang lebih baik ketimbang ayahnya, Bashar diharapkan lebih luwes. Apalagi ia tampil pada saat generasi baru kepemimpinan di Timur Tengah mulai bangkit, seperti terlihat dari tampilnya Khatami di Iran, Abdullah II di Yordania, dan Muhammad di Maroko. Juga munculnya Ehud Barak, yang lebih moderat, di Israel. Karena itu, dengan tampilnya Bashar sebagai pemimpin baru Suriah, proses perdamaian Arab-Israel tampaknya akan lebih prospektif.

Hanya, dalam hal ini dibutuhkan kesabaran dari lawan-lawan Suriah, khususnya AS dan Israel. Mereka harus memberikan kesempatan kepada Bashar untuk melakukan konsolidasi ke dalam. Kendati ia sudah mendapat dukungan penuh dari para pemain kunci di pentas politik Suriah seperti Wakil Presiden Abdul Halim Khaddam, Menteri Pertahanan Jenderal Mustafa Tlas, dan Menteri Luar Negeri Farouk al-Shaara, serta sudah diberi jabatan sebagai Pangab, ini bukan jaminan seratus persen bagi keamanan posisi Bashar. Niat pamannya, Rifaat, untuk merebut kekuasaan tidak dapat dipandang remeh. Sebagai mantan komandan pasukan elite, Rifaat tentu masih memiliki para pendukung yang loyal di tubuh militer. Karena itu, Bashar harus berhati-hati dalam mengonsolidasikan kekuasaannya. Ia perlu belajar banyak dari mendiang ayahnya, khususnya bagaimana menguasai militer dan Partai Ba'th, dua pilar utama penopang kekuasaan di Suriah. Jika ini berhasil, tidak mustahil Bashar akan tampil sebagai motor bagi munculnya sebuah era baru, tidak hanya bagi Suriah, tapi juga bagi kawasan Timur Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum