Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Indonesia-Australia Pasca-Timor Timur

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ikrar Nusa Bhakti
Peneliti LIPI

JALAN tampaknya belum mulus bagi Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengunjungi Canberra. Ketika berada di New York pekan lalu, Gus Dur lagi-lagi menunda rencana lawatannya ke Australia, dari bulan Juli ke Agustus. Perdana Menteri John Howard tentunya kecewa berat karena urung mendapatkan nilai "plus" pada akhir masa jabatannya yang kedua dan menjelang pemilu Australia akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Tak pelak lagi, penundaan kunjungan tersebut tentunya tak lepas dari ingar-bingar politik domestik di Indonesia menjelang sidang tahunan MPR Agustus ini. Kinerja kepresidenannya banyak dikritik orang. Belum lagi soal skandal Buloggate yang menghebohkan itu. Gus Dur tentunya tak ingin menambah "nilai minus" dalam rapor kinerja kepresidenannya di mata anggota DPR/MPR.

Bagi sebagian politisi di DPR, jika Gus Dur melawat ke Australia, itu dianggap "mengalah" terhadap Australia. Bagi mereka, Australia harus meminta maaf dulu atas sikap dan tindakannya di Timor Timur sebelum dan setelah jajak pendapat Agustus 1999, khususnya perannya dalam UNAMET dan pasukan multinasional Interfet. Dalam bahasa Ketua Komisi I DPR, Jasril Baharuddin, mengutip bait sebuah lagu berirama Melayu, "Kau yang mulai, kau yang mengakhiri." Karena itu, PM John Howard harus berkunjung ke Indonesia dulu dan meminta maaf, sebelum Gus Dur ke Australia.

Sikap emosional atas "kehilangan Timor Timur" menghalangi berbagai kalangan di Indonesia untuk berpikir jernih menata kembali hubungan Indonesia-Australia. Sebaliknya, di Australia, membahana euforia kemenangan atas kemerdekaan Timor Timur. Ini bertambah buruk dengan pernyataan John Howard yang siap membantu AS menjadi penjaga stabilitas di kawasan Asia Pasifik, yang dipelesetkan oleh majalah The Bulletin sebagai Doktrin Howard untuk menjadi deputy sheriff bagi AS. Dari sisi Indonesia, seperti yang penulis utarakan dalam seminar Rethinking Indonesia di Melbourne, Australia, Maret 2000 lalu, "daripada berhubungan dengan 'Deputy Dawg' lebih baik berhubungan langsung dengan sheriff-nya".

Jika kita menilik balik kekisruhan hubungan Indonesia-Australia yang berkaitan dengan jajak pendapat di Tim-Tim, baik PM John Howard maupun (saat itu) Presiden B.J. Habibie melakukan kekhilafan, kalau tidak bisa dikatakan sebagai political blunder. Kekhilafan John Howard, ia memberi masukan kepada Habibie soal Tim-Tim melalui surat tertanggal 19 Desember 1998, dan bukan melalui dialog langsung. Surat itu antara lain menyatakan, dukungan Australia atas kedaulatan Indonesia di Timor Timur tidak berubah. Adalah untuk kebaikan Indonesia, Australia, dan rakyat Tim-Tim, apabila Tim-Tim tetap berada di bawah Indonesia. Daripada memberikan referendum mengenai status final Tim-Tim, lebih baik memberikan otonomi berikut review atas paket otonomi itu yang sudah built-in. Paket semacam itu pernah dilakukan melalui Matignon Accord di Kaledonia Baru. Paket otonomi dengan review yang built-in itu telah menunda bertahun-tahun referendum atas status final Kaledonia Baru. Jika rakyat Tim-Tim bahagia dengan status otonomi seluas-luasnya, mereka akan menerima untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.

Presiden B.J. Habibie mungkin melakukan interpretasi yang salah atas surat PM John Howard tersebut. Pertama, beliau merasa dilecehkan. Kedua, Indonesia kok disamakan dengan Prancis yang menjajah Kaledonia Baru. Ketiga, daripada memberikan otonomi dan kemudian referendum lima atau sepuluh tahun kemudian, lebih baik langsung dilakukan referendum mengenai status final Tim-Tim. Karena itu, keluarlah opsi kedua pada Januari 1999. Apalagi, beliau kecewa dengan Uskup Belo yang tidak mau diundang untuk membicarakan masa depan Tim-Tim. Ini berarti, rakyat Tim-Tim memang tak ingin bersatu dengan Indonesia.

Setelah emosi di kedua negara itu berlalu, baik Presiden Abdurrahman Wahid maupun PM John Howard tampaknya menilai betapa pentingnya menata kembali hubungan Jakarta-Canberra. Pencairan hubungan yang membeku itu bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mengembalikan rasa saling percaya dan kemauan baik antara kedua negara.

Dalam pertemuan pertama Indonesia-Australia Strategic Forum (Iasfor) yang diselenggarakan Balai Wilayah dan Internasional Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI dan Australian Defence Studies Centre di Jakarta, 7-9 Juni 2000, ada beberapa pokok pembahasan yang mungkin dapat menjadi masukan bagi agenda pembicaraan antara Gus Dur dan John Howard. Antara lain, pertama, stabilitas politik, integrasi nasional, kemajuan ekonomi, dan perkembangan demokrasi di Indonesia adalah kunci bagi keterkaitan Australia dengan Asia. Kedua, Australia dan Indonesia sangat berkepentingan dengan stabilitas politik dan ekonomi di Tim-Tim agar wilayah itu tidak menjadi pusat pencucian uang (money laundering), penyelundupan orang, dan penyebaran narkotik di Asia Tenggara. Ketiga, Indonesia tetap memegang peranan penting sebagai pemersatu ASEAN dan agar Indonesia mendukung masuknya Tim-Tim ke dalam ASEAN. Keempat, Australia ingin memulihkan kerja sama pertahanan dengan Indonesia di bidang maritim, pertukaran kunjungan dan studi, serta perubahan postur TNI yang sesuai dengan proses demokratisasi di Indonesia. Kelima, Australia—belajar dari pengalaman Tim-Tim yang harus mengeluarkan A$ 100 juta per bulan—tak ingin bermain api di Papua Barat. Namun, Indonesia perlu mencegah munculnya peristiwa semacam Santa Cruz, yang dapat mengubah dukungan internasional atas masalah kemerdekaan Papua Barat.

Dari sisi strategis, lebik baik punya tetangga yang bersahabat daripada yang bermusuhan. Selain itu, sudah waktunya kita meninggalkan cara pandang yang out of date terhadap Australia, dan mulai membina hubungan atas dasar prinsip kesetaraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum