Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Buloggate: Pemerintah Naif?

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erry Riyana Hardjapamekas
Sekjen Masyarakat Transparansi Indonesia

MARAK akhir-akhir ini istilah dana non-bujeter atau ''di luar anggaran". Kata ini berasal dari bahasa Inggris, off budget, maksudnya adalah sejumlah dana yang terkumpul dari kegiatan di luar lingkup kegiatan sebagaimana tercantum dalam anggaran, dan karenanya harus dipisahkan dari pengelolaan APBN.

Istilah lain yang juga sedang banyak digunakan oleh media cetak adalah dana ''di luar neraca". Ini juga berakar dari bahasa Inggris, off balance sheet, yang maknanya serupa dengan istilah pertama. Artinya dana itu tidak tercantum dalam laporan posisi keuangan sebuah organisasi pada tanggal tertentu. Biasanya dana itu hanya digunakan untuk keperluan khusus dan taktis, karena itu dipisahkan dari pengelolaan keuangan organisasi yang biasanya, yang memproduksi neraca dan laporan pendapatan. Ujung-ujungnya, baik yang off budget maupun yang off balance sheet, adalah keleluasaan dalam penggunaan dan kemudahan, atau bahkan kebebasan, dalam pertanggungjawaban.

Tentang kasus Yanatera Bulog, uang Rp 35 miliar itu dana yang dipinjamkan kepada seseorang dengan imbalan tertentu. Artinya dana itu didayagunakan karena menghasilkan imbalan. Tidak salah, cuma naif.

Naif, karena pertanyaan dibenarkankah sebuah yayasan mendayagunakan dananya melalui transaksi peminjaman dengan imbalan sama dengan bunga bank, oleh pemberi pinjaman dianggap boleh. Atau, soal ini tak terpikirkan. Kenaifan ini menjadi mengganjal karena dana itu dibutuhkan dalam penanganan masalah Aceh—bukan soal yang pribadi sifatnya.

Cerita sebelumnya, kebutuhan dana itu diupayakan dipenuhi dari dana taktis yang disebut sebagai dana non-neraca milik Bulog, yang jumlahnya ratusan miliar. Dana seperti ini mungkin tak perlu dipertanggungjawabkan melalui sistem, sehingga penggunaannya leluasa karena masuk dalam kategori rahasia negara. Cukup dengan menerbitkan keputusan presiden, selesailah urusan, begitu mungkin pola pikirnya.

Lalu, ada soal lain. Ternyata, dana untuk Aceh berasal dari sumbangan Raja Brunei, langsung kepada Presiden RI. Apakah sumbangan seperti itu masuk kategori dana non-neraca atau non-anggaran? Di sini mengemuka prinsip benturan kepentingan (conflict of interest) yang sangat boleh jadi disikapi pula dengan naif.

Ada tujuh kata kunci dalam masalah non-bujeter, di luar neraca, dan sumbangan langsung kepada presiden. Yaitu, dana, pemilik, penerima, penggunaan, sistem, dan benturan kepentingan. Sebenarnya tidak terlalu sulit merangkai tujuh kata kunci itu agar menjadi alur pikir yang tidak mengganggu akal sehat dan santun kita dalam menyikapi ketiga masalah itu. Hal mendasar dalam hal ini adalah, keperluan negara harus secara formal dibiayai dari dana yang dimiliki negara. Baik dana itu berasal dari pajak maupun penerimaan negara lainnya. Pelaksanaan dana-mendanai itu dilakukan oleh lembaga negara, digunakan untuk kepentingan negara, melalui mekanisme anggaran negara, dengan cara yang sesuai dengan prosedur baku, tidak salah guna, dan tidak pula untuk kepentingan pribadi atau kelompok, sebagian atau seluruhnya.

Di samping itu, cukup jelas bahwa setiap sen sumbangan ataupun hibah dari siapa pun yang diberikan kepada presiden harus dimasukkan ke kas negara dan dikeluarkan melalui kas negara, semata-mata hanya untuk keperluan negara, demi pertanggungjawaban publik.

Lain soal bila Yanatera Bulog meminjamkan dana kepada Suwondo, yang kebetulan menjadi Direktur Utama PT ''Anu" milik Yanatera. Lain pula masalahnya bila Raja Brunei menghibahkan sejumlah dana sebesar berapa pun kepada seorang kiai sebagai pemimpin sebuah pesantren. Dalam dua kasus seperti itu, tidak ada kewajiban pertanggungjawaban publik karena tidak ada benturan kepentingan.

Bila hal-hal seperti itu dilakukan oleh pemerintah tidak dengan maksud ber-KKN, ya, itu menunjukkan kenaifan atau kelonggaran nilai-nilai yang dianut. Bila hal itu yang terjadi, ditambah dengan tidak kompaknya tim ekonomi dan beragam gonjang-ganjing politik, akan melengkapi pesimisme yang termuat dalam kalimat: cahaya pemulihan ekonomi di ujung terowongan panjang reformasi masih sangat samar-samar, atau belum tampak sama sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum