DI dermaga pelabuhan Pasar Ikan yang bacin, 9 Juli 1942 lewat
tengah hari, suatu peristiwa bersejarah terjadi. Bung Karno
kembali dari pengasingan.
Awal 1934 kapal van Riebeeck mengangkutnya dari Jawa ke Flores.
Sewindu kemudian, setelah dipindah ke Sumatera, akhirnya ia
kembali pulang. Pemerintah penjajahan yang membuangnya telah
kalah. Jepang masuk, dan membawa Bung Karno kembali dari
pengasingan. Di dermaga Pasar Ikan, di hari yang panas itu, ia
pun bersua lagi dengan tokoh-tokoh pergerakan, antara lain
Hatta. Suatu babakan baru perjuangan kemerdekaan dimulai.
Tapi apakah yang layak dikenang dari peristiwa siang itu? Bung
Karno melihat Anwar Tjokroaminoto, bekas iparnya, putra tokoh
pergerakan H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka berpelukan. Berciuman.
Air mata Anwar terbit. Bung Karno terharu. Tapi kemudian ia
kembali kepada kenyataan. Jas Anwar diraba-rabanya. "Jasmu bagus
sekali potongannya," ia memuji.
"Bikinan De Koning," Anwar melagak.
"Penjahit paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. Bagaimana
kau membayarnya?"
Anwar mengangkat kedua belah tangan seperti corong ke mulutnya,
dan berbisik, "Saya masuk dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu
tinggi, akan tetapi ada seorang kawan yang bekerja sebagai
penjahit pembantu di toko De Koning."
"Apa dia mau kira-kira membikinkan untukku? "
"Tentu mau. Kalau Bung Karno sudah senggang sedikit, saya bawa
ke sana."
Betapa sepele. Seorang tokoh perjuangan pulang dari pembuangan,
untuk menghadapi zaman baru yang tak kalah sulit tapi yang
dibicarakan pertama kali dengan temannya adalah perkara baju.
Bung Karno sendiri, dalam riwayat hidup yang dikisahkannya
kepada Cindy Adams, menyadari keganjilan itu. Katanya:
"Seringkali generasi muda menukil kembali ucapan-ucapan yang
abadi dan yang akan hidup terus. Ucapan yang keluar dalam
detik-detik yang besar di dalam sejarah. Ucapan yang akan
menggeletarkan tulang sumsum . . . Akan tetapi sayang, ketika
kami bertemu dan setelah aku menanyakan tentang keadaan Anwar
beserta keluarganya, pokok persoalan selanjutnya yang kutanyakan
kepadanya hanyalah mengenai tukang jahit . . . "
Adakah ini karena Bung Karno pesolek? Barangkali. Tapi Bung
Hatta, yang terkenal lebih serius, kering dan tak menggemari
kenikmatan dunia, dalam Memoir-nya mencerminkan hal yang mirip.
Catatan hari-hari pertama pembebasannya oleh Jepang dari
pengasingan, penuh dengan detail tentang "pakaian yang pantas",
sebuah "oto", dan kopi susu. Tinggal di kamar Hotel Des Indes
(kini Duta Merlin) yang mewah -- disediakan pemerintah militer
Jepang untuknya -- Hatta juga minta sarapan telur mata sapi dan
segelas yoghurt. "Begitulah hendaknya tiap pagi," pesan Hatta
kepada pelayan hotel.
Riwayat kita memang tak seluruhnya terjadi dari peristiwa
dramatis. Pengarang kitab sejarah dan para ilustratornya boleh
saja pandai memilih adegan. Napoleon membawa panji. Diponegoro
berjubah putih di kelam perang. Mao Zedong bersinar bak matahari
dari Yenan. Tapi kita tak ingat Napoleon yang sakit ambeien,
Diponegoro yang menganggap diri Arjuna (walaupun tubuhnya
gempal), dan Mao yang suatu hari memujI-mumi orang yang yang
jadi musuh utamanya, Chiang Khai-sek.
Di depan Letnan Jenderal Imamura, panglima tertinggi tentara
ekspedisi Tenno Heika, Bung Karno mengucapkan terima kasih.
"Tuan mengusir orang-orang yang akan selalu dianggap
penindas-penindas sejati dari Indonesia," katanya, mengutuk
Belanda. "Saya berterima kasih kepada tuan selama-lama-nya."
Tuluskah ucapannya? Bung Karno kemudian bilang tidak. Ia hanya
bersandiwara. Ia teringat akan Jenderal Aguinaldo, pendekar
kemerdekaan Filipina. Kepada orang Amerika yang berhasil
mengusir Spanyol, Aguinaldo mengucapkan terima kasih. Kemudian
ketika orang Amerika mencoba bercokol di Filipina, Aguinaldo
menyepaknya keluar.
Katakanlah itu taktik, kelihaian atau hipokrisi di tingkat
tinggi. Atau justa. Tapi barangkali kita memang tak usah
terlampau berharap. Ternyata yang penting memang bukan
pahlawan-pahlawan. Lebih penting dari itu adalah perbuatan
kepahlawanan. Sebab yang membentuk sejarah bukanlah orang-orang
besar, melainkan tindakan-tindakan besar -- dan itu tak terjadi
setiap hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini