Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tindakan besar bukan orang besar

Bung Karno mengucapkan terima kasih kepada jenderal imamura yang mengusir belanda. suatu taktik, hipokrisi tingkat tinggi. yang penting dalam membentuk sejarah adalah tindakan besar, bukan orang-orang besar.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dermaga pelabuhan Pasar Ikan yang bacin, 9 Juli 1942 lewat tengah hari, suatu peristiwa bersejarah terjadi. Bung Karno kembali dari pengasingan. Awal 1934 kapal van Riebeeck mengangkutnya dari Jawa ke Flores. Sewindu kemudian, setelah dipindah ke Sumatera, akhirnya ia kembali pulang. Pemerintah penjajahan yang membuangnya telah kalah. Jepang masuk, dan membawa Bung Karno kembali dari pengasingan. Di dermaga Pasar Ikan, di hari yang panas itu, ia pun bersua lagi dengan tokoh-tokoh pergerakan, antara lain Hatta. Suatu babakan baru perjuangan kemerdekaan dimulai. Tapi apakah yang layak dikenang dari peristiwa siang itu? Bung Karno melihat Anwar Tjokroaminoto, bekas iparnya, putra tokoh pergerakan H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka berpelukan. Berciuman. Air mata Anwar terbit. Bung Karno terharu. Tapi kemudian ia kembali kepada kenyataan. Jas Anwar diraba-rabanya. "Jasmu bagus sekali potongannya," ia memuji. "Bikinan De Koning," Anwar melagak. "Penjahit paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. Bagaimana kau membayarnya?" Anwar mengangkat kedua belah tangan seperti corong ke mulutnya, dan berbisik, "Saya masuk dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan yang bekerja sebagai penjahit pembantu di toko De Koning." "Apa dia mau kira-kira membikinkan untukku? " "Tentu mau. Kalau Bung Karno sudah senggang sedikit, saya bawa ke sana." Betapa sepele. Seorang tokoh perjuangan pulang dari pembuangan, untuk menghadapi zaman baru yang tak kalah sulit tapi yang dibicarakan pertama kali dengan temannya adalah perkara baju. Bung Karno sendiri, dalam riwayat hidup yang dikisahkannya kepada Cindy Adams, menyadari keganjilan itu. Katanya: "Seringkali generasi muda menukil kembali ucapan-ucapan yang abadi dan yang akan hidup terus. Ucapan yang keluar dalam detik-detik yang besar di dalam sejarah. Ucapan yang akan menggeletarkan tulang sumsum . . . Akan tetapi sayang, ketika kami bertemu dan setelah aku menanyakan tentang keadaan Anwar beserta keluarganya, pokok persoalan selanjutnya yang kutanyakan kepadanya hanyalah mengenai tukang jahit . . . " Adakah ini karena Bung Karno pesolek? Barangkali. Tapi Bung Hatta, yang terkenal lebih serius, kering dan tak menggemari kenikmatan dunia, dalam Memoir-nya mencerminkan hal yang mirip. Catatan hari-hari pertama pembebasannya oleh Jepang dari pengasingan, penuh dengan detail tentang "pakaian yang pantas", sebuah "oto", dan kopi susu. Tinggal di kamar Hotel Des Indes (kini Duta Merlin) yang mewah -- disediakan pemerintah militer Jepang untuknya -- Hatta juga minta sarapan telur mata sapi dan segelas yoghurt. "Begitulah hendaknya tiap pagi," pesan Hatta kepada pelayan hotel. Riwayat kita memang tak seluruhnya terjadi dari peristiwa dramatis. Pengarang kitab sejarah dan para ilustratornya boleh saja pandai memilih adegan. Napoleon membawa panji. Diponegoro berjubah putih di kelam perang. Mao Zedong bersinar bak matahari dari Yenan. Tapi kita tak ingat Napoleon yang sakit ambeien, Diponegoro yang menganggap diri Arjuna (walaupun tubuhnya gempal), dan Mao yang suatu hari memujI-mumi orang yang yang jadi musuh utamanya, Chiang Khai-sek. Di depan Letnan Jenderal Imamura, panglima tertinggi tentara ekspedisi Tenno Heika, Bung Karno mengucapkan terima kasih. "Tuan mengusir orang-orang yang akan selalu dianggap penindas-penindas sejati dari Indonesia," katanya, mengutuk Belanda. "Saya berterima kasih kepada tuan selama-lama-nya." Tuluskah ucapannya? Bung Karno kemudian bilang tidak. Ia hanya bersandiwara. Ia teringat akan Jenderal Aguinaldo, pendekar kemerdekaan Filipina. Kepada orang Amerika yang berhasil mengusir Spanyol, Aguinaldo mengucapkan terima kasih. Kemudian ketika orang Amerika mencoba bercokol di Filipina, Aguinaldo menyepaknya keluar. Katakanlah itu taktik, kelihaian atau hipokrisi di tingkat tinggi. Atau justa. Tapi barangkali kita memang tak usah terlampau berharap. Ternyata yang penting memang bukan pahlawan-pahlawan. Lebih penting dari itu adalah perbuatan kepahlawanan. Sebab yang membentuk sejarah bukanlah orang-orang besar, melainkan tindakan-tindakan besar -- dan itu tak terjadi setiap hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus