YANG pertama mengalami naas adalah Mohamad. Menjelang tengah
malam 10 Januari lalu segerombol massa penduduk mengepung
rumahnya yang terletak di desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari,
Kabupaten Jember. Tanpa perlawanan, pria ini diciduk dan
digiring beramai-ramai oleh penangkapnya untuk diserahkan pada
yang berwajib.
Mohamad, 32 tahun, dikenal penduduk sebagai seorang bromocorah
alias pencuri ulung. Di tengah jalan desa yang gelap, rupanya ia
berusaha melarikan diri. Lebih dari 100 orang yang menangkap dan
menggiring Mohamad segera mengejar dan meneriakinya maling. Di
tepi selokan sawah, di tikungan jalan depan SD Tugusari IV, ia
tertangkap. Di tempat inilah nyawa Mohamad kemudian dihabisi
massa.
Berita tewasnya seorang bromocorah yang ditakuti masyarakat ini
dengan cepat menyebar ke mana-mana. Dan agaknya tindakan ini
cepat menjalar. Bahkan kemudian tidak hanya para bromocorah
yang dijadikan sasaran amukan massa, tetapi juga tukang santet
(tenung). Selama lebih dari sebulan tindakan main hakim sendiri
itu berjalan. Puluhan orang telah menjadi korban, tanpa
secuilpun kabar tersiar keluar.
Patroli Gabungan
Tatkala pekan lalu tiga orang anggom DPR dari F-PP yang
kebetulan bcrasal dari Jawa Timur: Jusuf Hasjim, Soewar di dan
Hizbullah Huda mengungkapkan, semuanya terkejut. Menurut ketiga
orang ini, sejak awal Januari sekitar 45 orang telah menjadi
korban, lebih separuhnya terjadi di Kecamatan Bangsalsari yang
terletak 20 km arah barat Jember. "Kecamatan itu tempat
kelahiran Bapak Mudjono, Ketua Mahkamah Agung yang baru," kata
mereka.
Gerakan pembunuhan dan penganiayaan itu dilakukan kawanan rakyat
berbondong-bondong. "Jumlah mereka sampai ratusan. Gerakan ini
mereka lakukan pada malam hari dengan bersenjatakan pentung dan
parang. Pembunuhan dilakukan di rumah si tertuduh, ada kalanya
juga di jalan-jalan atau di tengah sawah. Jenazah korban
dikubur semaunya, dibiarkan menggeletak atau dihanyutkan ke
sungai Bedadung dan sungai Mayang," cerita ketiganya.
Akibatnya, rakyat menjadi takut dan gelisah. Banyak yang sampai
mengungsi ke Madura. Sedang pada awal terjadinya peristiwa itu
pihak yang berwajib --khususnya Polri tidak menanganinya.
Malah dalam berbagai pertemuan ada petugas Kamtibmas yang
memberikan kesan atau dorongan ke arah tindakan main hakim
sendiri itu. Akhirnya ketiga anggota parlemen itu menghimbau
agar semua pihak bekerjasama untuk menangani dan mengakhiri
peristiwa tersebut.
Sehari setelah pengungkapan itu, muncul penjelasan pihak Polri.
Kapolri Jenderal Pol. Awaloedin membenarkan, di Jember telah
terjadi "perkelahian massal dan pengeroyokan" yang mengakibatkan
sejumlah korban meninggal. Berdasar laporan Kadapol X Jawa
Timur, jumlah yang meninggal 26 orang. Limabelas orang terdiri
dari bomocorah (residivis) yang meninggal karena perkelahian
massal antar kelompok, dan 11 tukang santet akibat pengeroyokan
oleh sekelompok orang.
Kapolri juga menjelaskan, 73 orang telah ditangkap untuk diusut
-- 13 orang di antaranya sedang dalam proses pemeriksaan untuk
secepatnya diajukan ke pengadilan. Untuk mencegah meluasnya
tindakan main hakim sendiri itu Polri telah menempatkan 11 pos
terdepan di beberapa desa rawan serta mengintensifkan patroli
gabungan ABRI.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa selama 34 hari (sejak
10 Januari sampai 13 Februari) tindakan liar berupa pembunuhan,
penganiayaan, pembakaran dan perusakan bisa terjadi tanpa
kontrol?
Pihak Kores 1033 maupun Kodim 0824 Jember membantah keras
adanya unsur politis dalam peristiwa ini. "Dugaan kuat karena
takul dan tidak senangnya masyarakat terhadap bromocorah maupun
tukang santet, serta balas dendam penduduk atas tindakan
mereka," kata Letkol (Pol) Sukirno, Danres Jember pada TEMPO.
Angka kriminalitas di Jember, diakui Danres, cukup tinggi Pada
1979/1980 tercatat sekitar 5.000 kasus dan dari April sampai
Desember 1980 tercatat 3.894 kasus dengan 111 kali perampokan.
"Pelaku perampokan yang tertangkap sebanyak 114 orang," ujar
Sukirno yang menjabat Danres Jember sejak April 1980. Menurut
dia, di Jember tcrdaftar sekitar 5.000 bromocorah.
Menurut Dansek Bangsalsari Peltu (Pol) S. Sudjadi, di
wilayahnya ada sekitar 300 bromocorah. Kecamatan Bangsalsari
terdiri dari 11 desa, berpenduduk 98 ribu, namun hanya ada 9
petugas Polri. "Bayangkan, sepertiga jumlah penduduk Petung
adalah bromocorah, sedang desa Banjarsari seperempatnya," ujar
Sudjadi.
Banyak yang menyesalkan mengapa pihak berwajib terlambat
bertindak? Bahkan ada yang menuduh pihak Polri kecolongan. Ini
dibantah keras. "Kejadian tersebut memang tidak diduga, tapi
kami tidak sependapat kalau dikatakan kecolongan dan tidak ada
usaha mengatasinya," kata Letkol Sukirno.
Toh sebenarnya peristiwa ini bisa diduga. Sejak beberapa tahun
terakhir masyarakat sekitar Jember memang dilanda kejengkelan
oleh semakin merajalelanya kejahatan. "Sampai-sampai ada
pencurian sapi di tengah hari bolong," kata seorang tokoh
masyarakat di sana. "Yang lebih menjengkelkan lagi, masyarakat
melihat ada pelakunya yang dibiarkan berkeliaran bebas," sambung
tokoh itu.
Ia memberi contoh. Perampokan yang terjadi awal Ramadhan lalu
menyikat Rp 2 juta milik H. Anam dari desa Buluhan. Setelah
tertangkap, uang yang dikembalikan hanya Rp 1,5 juta sedang
perampoknya tidak masuk penjara. "Saya bisa menunjukkan
orangnya," katanya.
Banyak petugas keamanan yang "memotong" barang curian yang
ditemukan kembali. Ini dibenarkan Hizbullah Huda dan Soewardi.
"Di Bangsalsari yang kecurian malah memberi ransum pencurinya,"
kata Soewardi.
Ada lagi penjelasan dari sudut lain. sagi masyarakat Madura --
yang merupakan sebagian besar penduduk daerah ini, kalau sampai
rumahnya kecurian itu merupakan suatu "penghinaan". "Untuk
menebus keterhinaannya ia biasanya mau mengeluarkan biaya berapa
saja asal barangnya kembali. Kebiasaan inilah yang kemudian
dimanfaatkan kalangan tertentu untuk melakukan tindakan semacam
Mafia," kata seorang okoh Madura di Jember.
Bacok
Mengapa tukang santet turut menjadi korban? Santet (ilmu hitam
tenung) untuk mencelakakan orang lain lewat dukun rupanya
menjadi momok yang ditakuti penduduk Jember. Sekitar 2 bulan
lalu, menurut Hizbullah Huda, ada tukang santet yang kedapatan
mati di kali.
Setelah itu, menurut dia, ada tokoh masyarakat yang "mengipasi"
penduduk. Konon 'tukang kiyas' ini menganjurkan massa untuk
membunuh saja pencuri dan tukang santet dengan membacoknya dari
depan seakan mereka melawan.
Dari 11 tukang santet yang terbunuh, seorang di antaranya adalah
Pak Jati, 52 tahun, yang tinggal di dukuh Andongsari, desa
Tugusari. Menurut Kepala Desa Tugusari, di desanya ada 10 tukang
santet.
Pak Jati tewas dibunuh penduduk yang mengepung rumahnya pada
malam hari 25 Januari lalu. "Lebih 150 orang yang menyerbu
malam itu," cerita Pak Halimah yang menjadi tetangga korban. Ia
tidak tahu persis apakah Pak Jati betul seorang tukang santet.
"Begitu saya melihat Pak Jati tewas berlumuran darah di depan
rumahnya, kontan saya pingsan," katanya.
Rumah tua dari bambu milik si korban juga dirusak penduduk
hingga kini hanya tinggal atapnya. Tidak banyak orang yang
melayat ketika jenazah Pak Jati dimakamkan. Jenazah itu
dikuburkan di kebun kopi, di bawah pohon pisang ditandai dengan
batang pohon jarak. "Tapi kami sembahyangkan dan kami
sempurnakan jenazah almarhum," tutur Pak Halimah lirih. Kuburan
itu terletak sekitar 75 meter dari rumah korban.
Semua keluarga Pak Jati kini sudah meninggalkan desa Tugusari.
Demikian juga mereka yang dianggap tukang santet lainnya.
Tak Ada Tumbal
Salah satu korban lain adalah K. Hafsah, 55 tahun, seorang
petani yang juga menjadi guru mengaji dari desa Karangpiring,
Kecamatan Sukorambi. Anggota Nahdlatul Ulama (NU) ini tewas
tengah malam 13 Februari lalu karena kepalanya pecah kena
pukulan massa. Kematian Hafsah menurut pihak kepolisian karena
dituduh sebagai tukang santet. Namun anak maupun cucunya
membantah. "Kalau ia benar tukang sihir, masak ia mengajar
anak-anak mengaji yang bisa melemahkan sihirnya," ujar Hasan,
cucu sang kiai almarhum.
Sampai awal pekan ini belum semua peristiwa serta latar
belakangnya terungkap. Hizbullah Huda dkk membantah keterangan
Kapolri, yang terjadi di Jember adalah perkelahian massal.
Jumlah korban juga mereka persoalkan.
Menurut laporan yang mereka peroleh, sampai 12 Februari ada 33
orang yang mati dan yang babak belur 12 orang. Namun pekan lalu
mereka memperoleh laporan tambahan, ada 14 mayat yang kedapatan
terapung di sungai Bedadung dan pantai laut Puger -- dan 4 mayat
yang dibungkus menjadi satu dengan tikar di Jatiroto. Kabarnya
menurut catatan resmi pihak keamanan di Jember, sampai 21
Februari lalu jumlah korban yang mati sudah 43 orang.
"Kami ungkapkan masalah ini agar hukum bisa ditegakkan. Siapapun
yang terlibat harus ditindak berdasar hukum yang berlaku," kata
Huda. Ia tidak tahu apakah yang terbunuh itu orang PPP, PDI atau
Golkar. Anggota F-PP ini mengusulkan agar dibentuk suatu tim
pencari fakta untuk menyelidiki peristiwa ini. Yang menggerakkan
peristiwa ini, katanya, pasti ada.
Menjadi pertanyaan: mengapa terjadi pengeroyokan -- suatu hal
yang tidak lazim pada suku Madura? Seorang penduduk Bangsalsari
mengaku, cara ini dilakukan agar tidak ada salah satu warga yang
bakal memikul risiko sendirian. "Supaya tidak ada di antara kami
yang menjadi tumbal," ceritanya.
Kini banyak yang khawatir timbulnya aksi balas dendam. "Sebab
bagi seorang Madura, membalas kematian orang tua atau saudara
yang dibunuh orang lain dipandang sebagai suatu kewajiban," kata
seorang tokoh di Jember.
Tampaknya banyak yang harus segera dilakukan aparat keamanan
setempat agar peristiwa yang lebih gawat tidak terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini