Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pembunuhan & dukun hitam di jember

Peristiwa pembunuhan puluhan orang residivis (bromocorah) dan tukang santet oleh massa penduduk di jember. tindakan polisi dianggap kurang cepat, hingga terjadi banyak korban.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG pertama mengalami naas adalah Mohamad. Menjelang tengah malam 10 Januari lalu segerombol massa penduduk mengepung rumahnya yang terletak di desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember. Tanpa perlawanan, pria ini diciduk dan digiring beramai-ramai oleh penangkapnya untuk diserahkan pada yang berwajib. Mohamad, 32 tahun, dikenal penduduk sebagai seorang bromocorah alias pencuri ulung. Di tengah jalan desa yang gelap, rupanya ia berusaha melarikan diri. Lebih dari 100 orang yang menangkap dan menggiring Mohamad segera mengejar dan meneriakinya maling. Di tepi selokan sawah, di tikungan jalan depan SD Tugusari IV, ia tertangkap. Di tempat inilah nyawa Mohamad kemudian dihabisi massa. Berita tewasnya seorang bromocorah yang ditakuti masyarakat ini dengan cepat menyebar ke mana-mana. Dan agaknya tindakan ini cepat menjalar. Bahkan kemudian tidak hanya para bromocorah yang dijadikan sasaran amukan massa, tetapi juga tukang santet (tenung). Selama lebih dari sebulan tindakan main hakim sendiri itu berjalan. Puluhan orang telah menjadi korban, tanpa secuilpun kabar tersiar keluar. Patroli Gabungan Tatkala pekan lalu tiga orang anggom DPR dari F-PP yang kebetulan bcrasal dari Jawa Timur: Jusuf Hasjim, Soewar di dan Hizbullah Huda mengungkapkan, semuanya terkejut. Menurut ketiga orang ini, sejak awal Januari sekitar 45 orang telah menjadi korban, lebih separuhnya terjadi di Kecamatan Bangsalsari yang terletak 20 km arah barat Jember. "Kecamatan itu tempat kelahiran Bapak Mudjono, Ketua Mahkamah Agung yang baru," kata mereka. Gerakan pembunuhan dan penganiayaan itu dilakukan kawanan rakyat berbondong-bondong. "Jumlah mereka sampai ratusan. Gerakan ini mereka lakukan pada malam hari dengan bersenjatakan pentung dan parang. Pembunuhan dilakukan di rumah si tertuduh, ada kalanya juga di jalan-jalan atau di tengah sawah. Jenazah korban dikubur semaunya, dibiarkan menggeletak atau dihanyutkan ke sungai Bedadung dan sungai Mayang," cerita ketiganya. Akibatnya, rakyat menjadi takut dan gelisah. Banyak yang sampai mengungsi ke Madura. Sedang pada awal terjadinya peristiwa itu pihak yang berwajib --khususnya Polri tidak menanganinya. Malah dalam berbagai pertemuan ada petugas Kamtibmas yang memberikan kesan atau dorongan ke arah tindakan main hakim sendiri itu. Akhirnya ketiga anggota parlemen itu menghimbau agar semua pihak bekerjasama untuk menangani dan mengakhiri peristiwa tersebut. Sehari setelah pengungkapan itu, muncul penjelasan pihak Polri. Kapolri Jenderal Pol. Awaloedin membenarkan, di Jember telah terjadi "perkelahian massal dan pengeroyokan" yang mengakibatkan sejumlah korban meninggal. Berdasar laporan Kadapol X Jawa Timur, jumlah yang meninggal 26 orang. Limabelas orang terdiri dari bomocorah (residivis) yang meninggal karena perkelahian massal antar kelompok, dan 11 tukang santet akibat pengeroyokan oleh sekelompok orang. Kapolri juga menjelaskan, 73 orang telah ditangkap untuk diusut -- 13 orang di antaranya sedang dalam proses pemeriksaan untuk secepatnya diajukan ke pengadilan. Untuk mencegah meluasnya tindakan main hakim sendiri itu Polri telah menempatkan 11 pos terdepan di beberapa desa rawan serta mengintensifkan patroli gabungan ABRI. Apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa selama 34 hari (sejak 10 Januari sampai 13 Februari) tindakan liar berupa pembunuhan, penganiayaan, pembakaran dan perusakan bisa terjadi tanpa kontrol? Pihak Kores 1033 maupun Kodim 0824 Jember membantah keras adanya unsur politis dalam peristiwa ini. "Dugaan kuat karena takul dan tidak senangnya masyarakat terhadap bromocorah maupun tukang santet, serta balas dendam penduduk atas tindakan mereka," kata Letkol (Pol) Sukirno, Danres Jember pada TEMPO. Angka kriminalitas di Jember, diakui Danres, cukup tinggi Pada 1979/1980 tercatat sekitar 5.000 kasus dan dari April sampai Desember 1980 tercatat 3.894 kasus dengan 111 kali perampokan. "Pelaku perampokan yang tertangkap sebanyak 114 orang," ujar Sukirno yang menjabat Danres Jember sejak April 1980. Menurut dia, di Jember tcrdaftar sekitar 5.000 bromocorah. Menurut Dansek Bangsalsari Peltu (Pol) S. Sudjadi, di wilayahnya ada sekitar 300 bromocorah. Kecamatan Bangsalsari terdiri dari 11 desa, berpenduduk 98 ribu, namun hanya ada 9 petugas Polri. "Bayangkan, sepertiga jumlah penduduk Petung adalah bromocorah, sedang desa Banjarsari seperempatnya," ujar Sudjadi. Banyak yang menyesalkan mengapa pihak berwajib terlambat bertindak? Bahkan ada yang menuduh pihak Polri kecolongan. Ini dibantah keras. "Kejadian tersebut memang tidak diduga, tapi kami tidak sependapat kalau dikatakan kecolongan dan tidak ada usaha mengatasinya," kata Letkol Sukirno. Toh sebenarnya peristiwa ini bisa diduga. Sejak beberapa tahun terakhir masyarakat sekitar Jember memang dilanda kejengkelan oleh semakin merajalelanya kejahatan. "Sampai-sampai ada pencurian sapi di tengah hari bolong," kata seorang tokoh masyarakat di sana. "Yang lebih menjengkelkan lagi, masyarakat melihat ada pelakunya yang dibiarkan berkeliaran bebas," sambung tokoh itu. Ia memberi contoh. Perampokan yang terjadi awal Ramadhan lalu menyikat Rp 2 juta milik H. Anam dari desa Buluhan. Setelah tertangkap, uang yang dikembalikan hanya Rp 1,5 juta sedang perampoknya tidak masuk penjara. "Saya bisa menunjukkan orangnya," katanya. Banyak petugas keamanan yang "memotong" barang curian yang ditemukan kembali. Ini dibenarkan Hizbullah Huda dan Soewardi. "Di Bangsalsari yang kecurian malah memberi ransum pencurinya," kata Soewardi. Ada lagi penjelasan dari sudut lain. sagi masyarakat Madura -- yang merupakan sebagian besar penduduk daerah ini, kalau sampai rumahnya kecurian itu merupakan suatu "penghinaan". "Untuk menebus keterhinaannya ia biasanya mau mengeluarkan biaya berapa saja asal barangnya kembali. Kebiasaan inilah yang kemudian dimanfaatkan kalangan tertentu untuk melakukan tindakan semacam Mafia," kata seorang okoh Madura di Jember. Bacok Mengapa tukang santet turut menjadi korban? Santet (ilmu hitam tenung) untuk mencelakakan orang lain lewat dukun rupanya menjadi momok yang ditakuti penduduk Jember. Sekitar 2 bulan lalu, menurut Hizbullah Huda, ada tukang santet yang kedapatan mati di kali. Setelah itu, menurut dia, ada tokoh masyarakat yang "mengipasi" penduduk. Konon 'tukang kiyas' ini menganjurkan massa untuk membunuh saja pencuri dan tukang santet dengan membacoknya dari depan seakan mereka melawan. Dari 11 tukang santet yang terbunuh, seorang di antaranya adalah Pak Jati, 52 tahun, yang tinggal di dukuh Andongsari, desa Tugusari. Menurut Kepala Desa Tugusari, di desanya ada 10 tukang santet. Pak Jati tewas dibunuh penduduk yang mengepung rumahnya pada malam hari 25 Januari lalu. "Lebih 150 orang yang menyerbu malam itu," cerita Pak Halimah yang menjadi tetangga korban. Ia tidak tahu persis apakah Pak Jati betul seorang tukang santet. "Begitu saya melihat Pak Jati tewas berlumuran darah di depan rumahnya, kontan saya pingsan," katanya. Rumah tua dari bambu milik si korban juga dirusak penduduk hingga kini hanya tinggal atapnya. Tidak banyak orang yang melayat ketika jenazah Pak Jati dimakamkan. Jenazah itu dikuburkan di kebun kopi, di bawah pohon pisang ditandai dengan batang pohon jarak. "Tapi kami sembahyangkan dan kami sempurnakan jenazah almarhum," tutur Pak Halimah lirih. Kuburan itu terletak sekitar 75 meter dari rumah korban. Semua keluarga Pak Jati kini sudah meninggalkan desa Tugusari. Demikian juga mereka yang dianggap tukang santet lainnya. Tak Ada Tumbal Salah satu korban lain adalah K. Hafsah, 55 tahun, seorang petani yang juga menjadi guru mengaji dari desa Karangpiring, Kecamatan Sukorambi. Anggota Nahdlatul Ulama (NU) ini tewas tengah malam 13 Februari lalu karena kepalanya pecah kena pukulan massa. Kematian Hafsah menurut pihak kepolisian karena dituduh sebagai tukang santet. Namun anak maupun cucunya membantah. "Kalau ia benar tukang sihir, masak ia mengajar anak-anak mengaji yang bisa melemahkan sihirnya," ujar Hasan, cucu sang kiai almarhum. Sampai awal pekan ini belum semua peristiwa serta latar belakangnya terungkap. Hizbullah Huda dkk membantah keterangan Kapolri, yang terjadi di Jember adalah perkelahian massal. Jumlah korban juga mereka persoalkan. Menurut laporan yang mereka peroleh, sampai 12 Februari ada 33 orang yang mati dan yang babak belur 12 orang. Namun pekan lalu mereka memperoleh laporan tambahan, ada 14 mayat yang kedapatan terapung di sungai Bedadung dan pantai laut Puger -- dan 4 mayat yang dibungkus menjadi satu dengan tikar di Jatiroto. Kabarnya menurut catatan resmi pihak keamanan di Jember, sampai 21 Februari lalu jumlah korban yang mati sudah 43 orang. "Kami ungkapkan masalah ini agar hukum bisa ditegakkan. Siapapun yang terlibat harus ditindak berdasar hukum yang berlaku," kata Huda. Ia tidak tahu apakah yang terbunuh itu orang PPP, PDI atau Golkar. Anggota F-PP ini mengusulkan agar dibentuk suatu tim pencari fakta untuk menyelidiki peristiwa ini. Yang menggerakkan peristiwa ini, katanya, pasti ada. Menjadi pertanyaan: mengapa terjadi pengeroyokan -- suatu hal yang tidak lazim pada suku Madura? Seorang penduduk Bangsalsari mengaku, cara ini dilakukan agar tidak ada salah satu warga yang bakal memikul risiko sendirian. "Supaya tidak ada di antara kami yang menjadi tumbal," ceritanya. Kini banyak yang khawatir timbulnya aksi balas dendam. "Sebab bagi seorang Madura, membalas kematian orang tua atau saudara yang dibunuh orang lain dipandang sebagai suatu kewajiban," kata seorang tokoh di Jember. Tampaknya banyak yang harus segera dilakukan aparat keamanan setempat agar peristiwa yang lebih gawat tidak terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus