Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Biografi dari "surat-surat" itu

Surat-surat bung karno dari penjara sukamiskin yang dikutip rosihan anwar jadi bahan diskusi. tokoh sejarah tidak begitu saja diukur ketika, ia hanya dirinya. pelajarilah bung karno sebagai aktor sejarah.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI akhir Mei 1979 selesailah saya membaca buku John Ingleson yang berjudul Road to xile. Saya tidak berla gak. Tetapi tanggal ini saya ingat benar saya tuliskan di sampul dalam buku tersebut. Kesan saya? Biasa saja. Buku ini hasil penelitian yang cukup teliti dan ditulis dengan baik, tanpa berteori yang aneh-aneh. Dan lebih penting lagi ialah bahwa Ingleson tidaklah berbeda dari sebagian terbesar para penulis asing tentang sejarah dan politik di Indonesia dalam berhadapan dengan Sukarno (atau gaya politik pemikiran ke-Sukarno-an) dan Hatta (atau gaya politik dan pemikiran ke-Hatta-an). Mereka terpukau pada Sukarno dengan gayanya dan loncatan pemikirannya, seakan-akan ia adalah sesuatu yang "eksotis dari Timur", tetapi mereka merasa lebih mengerti Hatta. Maka dengan begini sikap terhadap Sukarno sering tidak se-nuchter sikap terhadap Hatta. Senang dan jengkel lebih bisa ditimbulkan oleh sesuatu yang "eksotis". Tetapi biar sajalah. Namun heboh tentang "surat-surat" Bung Karno dari penjara Sukamiskin yang diungkapkan buku tersebut dan dikutip antara lain oleh Rosihan Anwar menyebabkan saya ingat peristiwa lain, yang terjadi kira-kira empat setengah tahun yang lalu di suatu konperensi ilmiah di negeri Belanda. Begini. Setelah menguraikan dengan sangat menarik beberapa liku dari kehidupan Eduard Douwes Dekker, yang pernah menjadi asisten residen di Lebak itu, si penceramah, seorang sastrawan dan ahli sastra Belanda, bertanya, "Nah, bagaimana bisa seseorang yang gaya hidup dan tujuan hidupnya begitu bisa jadi mithos sebagai pembela rakyat kecil di "Hindia Belanda" dulu?" Memang pertanyaan yang cukup menantang. Dalam uraiannya si penceramah memperlihatkan bahwa tokohnya adalah seseorang yang kecewa dalam jabatan -- gagal naik pangkat dan mendapatkan kesempatan hidup sebagai "tuan besar", dan sebagainya. Dalam kekecewaan ini, ia mulai menulis. Maka ia dikenal sebagai Multatuli dengan karyanya yang terkenal Max Havelaar. Mungkin ada keinginannya yang tak disadari oleh si penceramah, untuk menumbangkan mithos itu -- jika hal itu memang mithos -- sebagaimana dituduhkan oleh sebagian ahli sejarah sastra Belanda. Mungkin juga ia seorang ikonoklast. Namun masalahnya tidaklah di sana. Bisa saja Douwes Dekker itu hanyalah manusia lata biasa, yang ingin segala yang hebat yang berada di luar jangkauannya. Peduli amat. Bukan ia-lah yang diingat atau dikenang. Yang tercatat dalam sejarah ialah Multatuli, sedangkan Douwes Dekker hanyalah catatan kaki tambahan saja. Secara faktuil kedua nama ini dimiliki oleh orang yang sama, tetapi dalam kenyataan historis keduanya berbeda. Maksud saya ialah segala sesuatu tentang Douwes Dekker itu adalah masalah biografis tentang seorang manusia yang harus bergumul dengan nasibnya, keinginannya dan sebagainya. Tetapi Multatuli adalah suatu "peranan", ketika manusia itu telah terkait dan dikaitkan dengan masyarakat atau, katakanlah, dengan sejarah. Adalah Multatuli, bukan Douwes Dekker, yang dianggap dalam kesadaran sejarah dan tercatat sebagai salah seorang yang paling penting menyentuh masalah kemanusiaan dalam hubungan kolonial. Mungkin, sebagai Multatuli, ia merasa benar sendiri. Bukankah ia demikian memaksakan penilaian moralnya terhadap lingkungan sosial-kultural dari dunia lain? Betapa pun, tulisannya merupakan salah satu faktor dari mulai ditinjaunya kembali corak hubungan kolonial. Dan, tentu seorang ahli sejarash sastra Belanda akan mengingatkan pula peranannya dalam membentuk suatu corak suasana kepengarangan. Jadi terlepas dari soal tepat atau tak tepatnya fakta dan interpretasi yang diajukan si penceramah yang saya sebut tadi tentang perjasanan hidup seseorang yang bernama Douwes Dekker, ia tidaklah menyentuh "Multatuli" sebagai aktor sejarah. Pengungkapan hal-hal yang selama ini tak diketahui dalam kehidupan pribadi seseorang tidak harus serta merta menggugah tempat dari "peranan"-nya dalam sejarah. Apalah artinya, jika pun benar pengungkapan bahwa Syekh Jalaluddin Al Alghani, sebenarnya bukanlah seorang yang berasal dari Afghanistan, tetapi seorang Persia, yang waktu mudanya mungkin seorang Syiah, seandainya ia secara faktuil telah memperlihatkan dirinya sebagai mujtahid utama dari kebangkitan Islam modern? Ada beda antara biografi dengan sejarah. Dalam biografi kita ingin mengetahui seutuh mungkin perjalanan hidup seseorang, sebagai manusia biasa, tidak sebagaimana citra-citra kita telah membentuknya (sebutlah pahlawan, pendekar. atau apa saja yang serba baik). Dalam sejarah, kita ingin mengerti pengalaman dan dinamik manusia, sebagai suatu kelompok, di hari lalu. Ada beda antara manusia dalam kediriannya, di saat ia adalah ia sebagaimana adanya, yang bisa mencintai, membenci atau takut, nekat, dan apa saja, dengan manusia sebagai pemeran, aktor, ketika ia terluluh dalam kaitannya dengan masyarakat dan dinamik sejarah. Tokoh sejarah, jadinya tidaklah begitu saja diukur dari perbuatannya ketika ia hanyalah dirinya. Jika patokan ini diambil, maka legalah perasaan untuk melihat permasalahan kehidupan pribadi seorang tokoh, baik yang dipuja ataupun yang dibenci. Maka terlepaslah segala hambatan untuk berhipothesa -- bahwa konsistensi dalam hidup manusia tak lebih daripada hasrat yang ideal belaka. Jika saja manusia ini konsisten dalam tindak-tanduk dan sikapnya, maka baiklah kita persetankan saja kehadiran Freud, dan tak ada salahnya kita hanya tersenyum mendengar para ulama sibuk berkhotbah. Pernahkah anda mendengar dongeng si Pandir yang dalan kepengecutannya malah bisa memberantas komplotan penyamun? Maksud saya sederhana saja, bahwa penyimpangan -- artinya, keluar dari apa yang biasa diperkirakan -- bisa terjadi. Saat-saat tertekan, ketika seseorang hanya dapat berkomunikasi dengan dirinya atau, mungkin dengan Tuhannya, ia dapat melakukan hal-hal yang tak diduga sebelumnya. Katakanlah ini suatu misteri, tetapi memang begitulah kebiasaan manusiawi. Apalagi jika diingat pula bahwa orang berbuat berdasarkan interpretasinya terhadap situasi yang mengitarinya. Sialnya ialah apa yang dilihat dan dirasakan orang itu, si aktor, tidaklah tentu sama dengan yang kita lihat sebagai peninjau. Kembali kepada "surat-surat Sukamiskin". Saya tak bisa mengatakan apakah surat-surat itu otentik alias sahih atau tidak. Saya tidak menelitinya dan tak berselera untuk menelitinya. Jika akan meneliti, saya lebih ingin mempelajari Bung Karno sebagai "aktor sejarah", sedangkan "surat-surat" itu jika pun benar, menurut perkiraan saya berada di luar lingkaran "signifcance" (penting atau tidak) dari masalah pokok. Biarlah mereka yang tertarik pada pendekatan psikologis terhadap sejarah mempersoalkannya. Biarlah mereka, jika mau, mencari kaitan antara manusia, dalam kesendiriannya dengan ia, sebagai aktor sejarah. Namun seandainya kita sekali-sekali menyadari perlunya suatu kerangka konseptual dalam mengerti berbagai kenyataan, baik yang hanya riil dalam kesadaran ataupun yang bisa diamati, masalah "surat-surat" Sukamiskin itu tak perlu harus keluar dari proporsinya yang wajar. Dalam keadaan seperti sekarang ini, terkaburlah rasa keinginan tahu terhadap hidup seseorang dengan hasrat-hasrat lain, yang tak ada kaitannya yang jelas dengan keinginan tahu itu. Perdebatan yang terjadi kini kurang menyumbang pada pengetahuan kita tentang pribadi Bung Karno, tetapi lebih memperlihatkan berbagai kecenderungan sosial-politik yang ada. Karena itu, memang sebaiknyalah diadakan moratorium, istirahat. Bukan demi keluarga Bung Karno dan para pencintanya (sebab jika hal-hal ini harus selalu diperhatikan, tak ada biografi yang "murni" yang bisa ditulis), tetapi masalahnya memang telah berpindah padahal yang lain. Dan lagi, apa perlunya, melanjutkan sesuatu yang tak produktif ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus