Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masih soal Bung Karno

Polemik tentang surat-surat permintaan ampun soekarno dianjurkan berhenti oleh adam malik, wapres sendiri yakin bung karno tidak pernah minta ampun, namun rosihan tetap bertahan dengan pendapatnya.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKIL Presiden Adam Malik bicara. Kamis pekan lalu seusai bertemu Presiden Soeharto di Bina Graha, Wapres menghimbau agar "melupakan" saja masalah surat-surat "permintaan ampun" Bung Karno pada Belanda yang akhir-akhir ini ramai dipertentangkan. "Tidak ada gunanya lagi mempersoalkan hal-hal yang menyangkut mendiang Bung Karno, karena orangnya sudah tiada," ujar Adam Malik. Hingga, menurut Wapres, sebaiknya dilupakan saja semua masalah tentang kekhilafannya -- kalau memang ada. "Penilaian saya sama dengan Presiden Soeharto, bahwa segala perbuatan Bung Karno sudah tercatat dalam sejarah," katanya. Menurut pendapatnya, mengemukakan masalah itu lagi sekarang hanya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri, karena bisa menimbulkan pertentangan. Selain itu, menurut Wapres, juga akan merendahkan pemimpin yang kita junjung tinggi selama ini. Adam Malik sendiri yakin Bung Karno tidak pernah minta ampun kepada Belanda. "Andaikata dia minta maaf dan minta ampun, dia kan tidak akan meneruskan perjuangan. Logikanya kan begitu. Tetapi nyatanya dia kan berjuang terus," ujarnya. Tanpa menyebut nama, Adam Malik menilai bahwa orang pertama yang melemparkan kasus ini kurang memikirkan akibatnya dan apa relevansinya dengan keadaan sekarang. "Berdasar pengalaman dalam perjuangan menghadapi Belanda, politik adu domba sering mereka pakai sebagai taktik untuk melemahkan semangat perjuangan," katanya. Tepat atau tidak pendapat Adam Malik, polemik tentang masalah itu memang tampaknya telah menjurus keluar dari fokus. Menaiknya suhu polemik ini rupanya disebabkan juga oleh makin meluasnya masalah yang dipertentangkan. Dendam Lama Rosihan Anwar, dalam tulisannya di Kompas pertengahan Februari ini telah menjawab beberapa anggapan yang muncul -- terutama dari Moh. Roem. Rosihan tetap berpendapat, salah satu kelemahan Bung Karno adalah "lekas bertekuk lutut" atau minta ampun bila berhadapan yang superior atau sedang mengalami bahaya. Sebagai contoh Rosihan menyebut sikap Bung Karno yang menyerah dan membiarkan diri ditawan pada 19 Desember 1948 tatkala Belanda menyerbu Yogyakarta. Padahal, kata Rosihan, sebelumnya Bung Karno pernah berjanji akan memimpin gerilya melawan Belanda. "Dan keterangannya itu saya muat dalam majalah "Siasat" yang saya pimpin," tulis Rosihan. Tulisan Rosihan ini ternyata mengundang reaksi yang tidak sebentar. Harian Merdeka mengulasnya dan menurunkan dua kali tajuk rencana. Tanya harian ini, curiga: Apa maunya Rosihan? Jawab koran itu sendiri: ada beberapa dugaan. Antara lain mungkin untuk membalas dendam lama Rosihan "yang masih sisa dalam hatinya yang was-was dan gundah." Merdeka menuduh Rosihan "dan golongannya" mempunyai opset politis tertentu dengan tulisan tersebut, untuk melempar lumpur hitam ke wajah Bung Karno. Siapa dan apa golongan yang dimaksud tidak dijelaskan, tapi tampaknya yang diarah adalah PSI. Kaitan Rosihan dengan Partai Sosialis Indonesia ini ditonjolkan oleh suara lain. Misalnya tulisan Mohamad Roem dalam Kompas Senin lalu. Ia membantah bahwa pada 19 Desember 1948 Bung Karno bertekuk lutut. Roem waktu itu memang salah satu tokoh yang ditawan Belanda -- termasuk juga Bung Hatta dan Sutan Syahrir -- yang kemudian diasingkan bersama ke pulau Bangka. Menurut Roem, Rosihan hanya berhasil membuktikan bahwa Soekarno pernah berjanji untuk memimpin gerilya. Namun ia lupa, atau tidak tahu, bahwa pada 19 Desember 1948 itu ada keputusan kabinet lain: pemerintah RI akan tetap tinggal di Yogyakarta, dan memberi kuasa pada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat. Republik juga akan meneruskan perjuangan bila pemerintah tidak mungkin menjalankan tugasnya karena ditawan Belanda atau karena alasan lain. Roem -- yang pernah memimpin Masyumi -- rupanya tak senang karena Rosihan memakai istilah "letih terkulai" pada Serikat Islam dengan pimpinan HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim setelah 1926. Roem menanyakan Apakah PSI setelah Pemilu 1955 yang cuma memperoleh 6 kursi bisa juga dinamakan letih terkulai? Dengan kata lain, Rosihan kembali di-PSI-kan -- satu hal yang mengherankan kalangan bekas PSI sendiri. "Yang disebut golongan Rosihan itu siapa sih? PSI kan sudah mati sejak 1960," kata Subadio Sastrosatomo, bekas Ketua Fraksi PSI di DPR. Menurut dia, kalaupun ada bekas anggota PSI yang menulis atau menyatakan sikap, itu merupakan pendapat pribadi. Hanya Salinan Rosihan Anwar sendiri tatkala ditemui TEMPO pekan lalu menolak memberi keterangan. "Semenjak Pak Adam bicara saya berpendapat tidak perlu memberi keterangan tentang surat-surat Sukarno," katanya. Tentang tajuk rencana Merdeka, ia mengatakan kata terakhir ada pada koran yang bersangkutan. "Akan lain halnya jika saya juga punya koran," ujarnya. Rosihan juga membantah bahwa ia mendapat telepon atau ancaman dari pihak pendukung Sukarno. Namun ia tetap percaya bahwa Bung Karno pernah menulis surat minta ampun. "Saya pribadi meyakini keabsahan surat-surat itu. Nada surat itu penuh retorika," katanya. Polemik itu tampaknya juga menarik perhatian banyak ahli sejarah. Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat Sejarah ABRI, berpendapat ribut-ribut tentang surat-surat Sukarno itu belum perlu timbul. "Sebab surat-surat yang sekarang ada hanya salinan. Sebagai fakta sejarah belum lulus ujian," katanya. Lebih lagi salinan itu diketik bukan ditulis tangan. "Lagi pula tidak ada tandatangan Sukarno, hingga tidak dapat dilakukan penelitian grafologi," tambah Nugroho. Menurut dia, jika surat-surat itu ditandatangani Sukarno, dengan penelitian grafologi akan dapat diketahui apakah betul itu tandatangan Sukarno. "Sehingga terlalu prematur untuk menafsirkannya," kata Nugroho. Nugroho menganggap Bung Karno tokoh yang besar secara historis. Sedang secara moral tergantung orang yang menilainya. Ia juga berpendapat masalah surat-surat itu seandainya pun benar belum patut diungkapkan, "Emosi belum mengendap. Setelah Sukarno meninggal 100 tahun mungkin baru bisa," katanya. Sementara itu, seorang sejarawan lain, Taufik Abdullah, menyatakan bahwa harus dibedakan antara biografi Bung Karno dan peran sejarahnya (lihat Kolom).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus