WAKIL Presiden Adam Malik bicara. Kamis pekan lalu seusai
bertemu Presiden Soeharto di Bina Graha, Wapres menghimbau agar
"melupakan" saja masalah surat-surat "permintaan ampun" Bung
Karno pada Belanda yang akhir-akhir ini ramai dipertentangkan.
"Tidak ada gunanya lagi mempersoalkan hal-hal yang menyangkut
mendiang Bung Karno, karena orangnya sudah tiada," ujar Adam
Malik.
Hingga, menurut Wapres, sebaiknya dilupakan saja semua masalah
tentang kekhilafannya -- kalau memang ada. "Penilaian saya sama
dengan Presiden Soeharto, bahwa segala perbuatan Bung Karno
sudah tercatat dalam sejarah," katanya. Menurut pendapatnya,
mengemukakan masalah itu lagi sekarang hanya akan merugikan
bangsa Indonesia sendiri, karena bisa menimbulkan pertentangan.
Selain itu, menurut Wapres, juga akan merendahkan pemimpin yang
kita junjung tinggi selama ini.
Adam Malik sendiri yakin Bung Karno tidak pernah minta ampun
kepada Belanda. "Andaikata dia minta maaf dan minta ampun, dia
kan tidak akan meneruskan perjuangan. Logikanya kan begitu.
Tetapi nyatanya dia kan berjuang terus," ujarnya.
Tanpa menyebut nama, Adam Malik menilai bahwa orang pertama yang
melemparkan kasus ini kurang memikirkan akibatnya dan apa
relevansinya dengan keadaan sekarang. "Berdasar pengalaman dalam
perjuangan menghadapi Belanda, politik adu domba sering mereka
pakai sebagai taktik untuk melemahkan semangat perjuangan,"
katanya.
Tepat atau tidak pendapat Adam Malik, polemik tentang masalah
itu memang tampaknya telah menjurus keluar dari fokus. Menaiknya
suhu polemik ini rupanya disebabkan juga oleh makin meluasnya
masalah yang dipertentangkan.
Dendam Lama
Rosihan Anwar, dalam tulisannya di Kompas pertengahan Februari
ini telah menjawab beberapa anggapan yang muncul -- terutama
dari Moh. Roem. Rosihan tetap berpendapat, salah satu kelemahan
Bung Karno adalah "lekas bertekuk lutut" atau minta ampun bila
berhadapan yang superior atau sedang mengalami bahaya.
Sebagai contoh Rosihan menyebut sikap Bung Karno yang menyerah
dan membiarkan diri ditawan pada 19 Desember 1948 tatkala
Belanda menyerbu Yogyakarta. Padahal, kata Rosihan, sebelumnya
Bung Karno pernah berjanji akan memimpin gerilya melawan
Belanda. "Dan keterangannya itu saya muat dalam majalah "Siasat"
yang saya pimpin," tulis Rosihan.
Tulisan Rosihan ini ternyata mengundang reaksi yang tidak
sebentar. Harian Merdeka mengulasnya dan menurunkan dua kali
tajuk rencana. Tanya harian ini, curiga: Apa maunya Rosihan?
Jawab koran itu sendiri: ada beberapa dugaan. Antara lain
mungkin untuk membalas dendam lama Rosihan "yang masih sisa
dalam hatinya yang was-was dan gundah."
Merdeka menuduh Rosihan "dan golongannya" mempunyai opset
politis tertentu dengan tulisan tersebut, untuk melempar lumpur
hitam ke wajah Bung Karno. Siapa dan apa golongan yang dimaksud
tidak dijelaskan, tapi tampaknya yang diarah adalah PSI.
Kaitan Rosihan dengan Partai Sosialis Indonesia ini ditonjolkan
oleh suara lain. Misalnya tulisan Mohamad Roem dalam Kompas
Senin lalu. Ia membantah bahwa pada 19 Desember 1948 Bung Karno
bertekuk lutut. Roem waktu itu memang salah satu tokoh yang
ditawan Belanda -- termasuk juga Bung Hatta dan Sutan Syahrir --
yang kemudian diasingkan bersama ke pulau Bangka.
Menurut Roem, Rosihan hanya berhasil membuktikan bahwa Soekarno
pernah berjanji untuk memimpin gerilya. Namun ia lupa, atau
tidak tahu, bahwa pada 19 Desember 1948 itu ada keputusan
kabinet lain: pemerintah RI akan tetap tinggal di Yogyakarta,
dan memberi kuasa pada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintah Darurat. Republik juga akan meneruskan perjuangan
bila pemerintah tidak mungkin menjalankan tugasnya karena
ditawan Belanda atau karena alasan lain.
Roem -- yang pernah memimpin Masyumi -- rupanya tak senang
karena Rosihan memakai istilah "letih terkulai" pada Serikat
Islam dengan pimpinan HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim setelah
1926. Roem menanyakan Apakah PSI setelah Pemilu 1955 yang cuma
memperoleh 6 kursi bisa juga dinamakan letih terkulai? Dengan
kata lain, Rosihan kembali di-PSI-kan -- satu hal yang
mengherankan kalangan bekas PSI sendiri. "Yang disebut golongan
Rosihan itu siapa sih? PSI kan sudah mati sejak 1960," kata
Subadio Sastrosatomo, bekas Ketua Fraksi PSI di DPR. Menurut
dia, kalaupun ada bekas anggota PSI yang menulis atau menyatakan
sikap, itu merupakan pendapat pribadi.
Hanya Salinan
Rosihan Anwar sendiri tatkala ditemui TEMPO pekan lalu menolak
memberi keterangan. "Semenjak Pak Adam bicara saya berpendapat
tidak perlu memberi keterangan tentang surat-surat Sukarno,"
katanya. Tentang tajuk rencana Merdeka, ia mengatakan kata
terakhir ada pada koran yang bersangkutan. "Akan lain halnya
jika saya juga punya koran," ujarnya.
Rosihan juga membantah bahwa ia mendapat telepon atau ancaman
dari pihak pendukung Sukarno. Namun ia tetap percaya bahwa Bung
Karno pernah menulis surat minta ampun. "Saya pribadi meyakini
keabsahan surat-surat itu. Nada surat itu penuh retorika,"
katanya.
Polemik itu tampaknya juga menarik perhatian banyak ahli
sejarah. Nugroho Notosusanto, Kepala Pusat Sejarah ABRI,
berpendapat ribut-ribut tentang surat-surat Sukarno itu belum
perlu timbul. "Sebab surat-surat yang sekarang ada hanya
salinan. Sebagai fakta sejarah belum lulus ujian," katanya.
Lebih lagi salinan itu diketik bukan ditulis tangan. "Lagi pula
tidak ada tandatangan Sukarno, hingga tidak dapat dilakukan
penelitian grafologi," tambah Nugroho.
Menurut dia, jika surat-surat itu ditandatangani Sukarno, dengan
penelitian grafologi akan dapat diketahui apakah betul itu
tandatangan Sukarno. "Sehingga terlalu prematur untuk
menafsirkannya," kata Nugroho.
Nugroho menganggap Bung Karno tokoh yang besar secara historis.
Sedang secara moral tergantung orang yang menilainya. Ia juga
berpendapat masalah surat-surat itu seandainya pun benar belum
patut diungkapkan, "Emosi belum mengendap. Setelah Sukarno
meninggal 100 tahun mungkin baru bisa," katanya.
Sementara itu, seorang sejarawan lain, Taufik Abdullah,
menyatakan bahwa harus dibedakan antara biografi Bung Karno dan
peran sejarahnya (lihat Kolom).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini