Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tinggi Gunung Seribu Janji

1 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI pemilihan presiden tinggal menunggu bilangan hari, para pasangan yang bakal bertarung belum juga menawarkan program kompetitif untuk merebut hati calon pemilih. Semuanya berhenti pada simbolsimbol umum yang dibesut begitu rupa sehingga menjadi seolaholah program. Padahal, pada hakikatnya, simbol baluran itu tak lebih dari sekadar tonggokan janji.

Sudah sejak sebelum masa kampanye, memang, masingmasing pasangan langsung menggebrak, terutama di tataran pencitraan. Deklarasi, misalnya, tak luput dipautkan dengan imaji yang hendak dicapai. SBY-Boediono berpentas megah di Gedung Sabuga, Bandung. JKWin memilih panggung serba sederhana di Tugu Proklamasi, Jakarta. Sebaliknya, putri sang Proklamator berteater kolosal di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang, Bekasi.

Semuanya sahih belaka. Dengan catatan: program mereka yang sesungguhnya tetap tak kunjung terbaca. Calon pemilih pada umumnya baru diperkenalkan dengan sloganslogan besar yang memerlukan rincian. Situasi ini dapat menimbulkan pertanyaan yang lumayan mengkhawatirkan: janganjangan para calon itu memang tak punya program!

Setelah Orde Baru tumbang, dua pemilihan presiden berlangsung relatif tenang dan damai. Satu di antara dua pemilihan itu merupakan pemilihan langsung, yang mendudukkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Jika kita percaya kepada dialektika, seyogianya pemilihan presiden yang akan datang, 8 Juli nanti, terselenggara lebih matang dan lebih dewasa ketimbang pemilihan terdahulu.

Harapan itu tentulah tak berlebihan. Tetapi, melihat suasana "pemanasan" yang berbuncah terutama pada pekanpekan terakhir ini, tampaknya ada faset yang sebaiknya dicermati. Memasuki masa kampanye yang sesungguhnya, yang pertama kita harapkan adalah suasana damai dan sehat. Semestinya para kandidat paham, kompetisi yang mereka hadapi adalah kompetisi untuk demokrasi dan keadilan, bukan sematamata demi merebut kekuasaan.

Karena itu, perang slogan dan "gorengmenggoreng" istilah sebaiknya dijauhkan dari arena kompetisi. Istilah "neoliberalisme", misalnya, memang bisa digoreng begitu rupa sehingga "makhluk" ini menjadi bahan stigmata yang menakutkan. Padahal pembicaraan tentang neoliberalisme memerlukan telaah yang jernih dan adil. Sebagai contoh, "ekonomi kerakyatan" sebetulnya bukanlah lawan yang padan dari neoliberalisme. Lawan yang lebih tepat adalah "politik kerakyatan"-ungkapan yang justru tak diingat oleh para kontestan.

Adalah politik kerakyatan yang melahirkan tindakantindakan ekonomi yang membuka sebesarbesar peluang dan manfaat untuk semesta rakyat. Namun, apa boleh buat, bahkan setelah Orde Baru ambruk, politik kerakyatan itu tinggal menjadi angan rinduan. Reformasi memang mengubah banyak hal. Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah ia juga mengubah watak kekuasaan menjadi lebih mendahulukan kemaslahatan rakyat.

Tentu sulit masuk akal jika pada pemilihan tahun ini para kompetitor masih percaya pada model "kampanye hitam" untuk memenangi persaingan. Sebab, lebih dari pemilihanpemilihan presiden terdahulu, pemilihan kali ini tidak saja harus lebih damai dan lebih adil, tapi juga lebih cerdas. Pemilihan umum harus dimaknai secara hakiki, yakni sebagai sarana untuk meningkatkan peradaban dan kebudayaan.

Menjual program yang tak masuk akal, misalnya, tak akan memberikan apaapa kepada pemilih, kecuali luka hati dan kekecewaan berketerusan. Contoh yang paling simpel adalah "program" mencetak sawah berjuta hektare. Soeharto pernah melakukan ini di lahan gambut di Kalimantan. Hasil sawah sejuta hektare itu belepotan. Karakteristik lahan gambut sangat berbeda dengan sawah di Jawa, dan rupanya inilah yang alpa dikaji lebih dalam ketika itu. Mencetak sawah kaitberkait dengan masalah bendung dan jaringan irigasi-dan notabene sumber air-serta pengadaan sarana produksi padi (saprodi) yang meliputi benih, pupuk, penangkal hama, dan seterusnya. Pokoknya, tak semudah menghitung tanduk kambing.

Sampai saat ini, sebetulnya, masingmasing pasangan belum terlambat berbenah diri. Menjelang hariH, rakyat menuntut kampanye yang sehat, adil, jernih, dan cerdas. Iklan dan promosi para kontestan memang sudah mulai bertebaran di berbagai media, dengan ruparupa tampilan. Iklan dan promosi itu tentulah berusaha menghimpun dan mengarahkan kesadaran kolektif massa menuju sasaran pilihan. Tapi, harap diingat, di dalam kesadaran kolektif itu tersimpan juga ingatan kolektif para calon pemilih terhadap rekam jejak para tokoh yang sedang berkompetisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus