SANGAT menarik membaca hasil yang didapat dari angket majalah TEMPO, 2 Agustus, tentang sikap para pemilih muda terhadap pemilu mendatang (Laporan Utama). Dari berbagai data yang didapat, dapat pula diambil suatu pandangan yang mungkin penting untuk diperhatikan, yaitu: ukuran keberhasilan pemilu adalah sejauh mana lembaga DPR berfungsi seperti yang diharapkan para pemilih. Pemilu itu diadakan untuk memilih para wakil rakyat yang berhak duduk di lembaga tinggi negara, DPR. Dengan begitu, dalam pemilu, rakyat memilih para wakilnya dengan diwarnai harapan, agar aspirasinya kelak dapat disalurkan melalui lembaga tersebut, tempat duduk para wakil yang telah diberi kepercayaan. Ukuran keberhasilan pada paragraf pertama, lebih "tinggi" derajatnya bila dibandingkan dengan ukuran-ukuran yang bersifat fisik semata. Ukuran-ukuran fisik contohnya adalah berapa persen dari jumlah pemilih suaranya sah berapa suara yang memilih kontestan tertentu berapa persen yang memilih menjadi Golput berapa provinsi dimenangkan Golkar berapa perbandingan persentase kemenangan Golkar dan PDI di Aceh misalnya, dan sebagainya. Ukuran keberhasilan yang bersifat fungsional lebih melihat sejauh mana output (keluaran) yang bersifat fisik (seperti ukuran-ukuran dengan dasar persentase), dapat berfungsi sebagaimana diharapkan dengan diadakannya program pemilu tersebut. Dalam angket tersebut, didapat angka menarik bahwa selama ini DPR: tidak berhasil (11,65%) kurang berhasil (38,45%), dan berhasil (37,28%). Dari hasil angket tersebut, dan kalau kita sepakat menggunakan tolok ukur yang lebih bersifat fungsional bukan fisik semata, dapat dikatakan bahwa pemilu di tahun lalu tidak/kurang berhasil. Seperti halnya mendirikan sebuah pasar Inpres: bangunan pasarnya berdiri dengan megah, tapi ternyata tidak ada yang berjualan di situ. Ini bila dilihat dari konteks angket yang diadakan TEMPO. Artinya, masih terbuka kemungkinan mempermasalahkan kesahihan angket tersebut. Banyak pertanyaan dapat dimunculkan: Mengapa DPR dapat dianggap tidak berhasil? Kelirukah rakyat dalam memilih para wakilnya? Apakah wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga tersebut bukan orang-orang yang dipilih dalam pemilu (ingat votegetters)? Ataukah, ada sebab lain yang lebih luas yang mempengaruhinya? Dengan begitu, apakah ukuran keberhasilan yang akan kita pergunakan dalam pemilu mendatang? Sebab, paling tidak, sampai saat ini masih ada -- kesesuaian di antara hasil angket TEMPO dan suara-suara media massa lain yang banyak menyorot tata kerja, kualitas kerja, dan hasil kerja para wakil rakyat kita tercinta. Th. AGUS WIDIANTO Cipinang Jaya AA/B 23 Jakarta 13410
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini