KEPEMIMPINAN Naro-Mardinsyah kembali diguncang protes. Sekitar 100 orang warga PPP, mengatasnamakan 16 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan 174 Dewan Pimpinan Cabang (DPC), menyerbu Kantor Pusat PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta, Kamis pekan lalu. Mereka datang dengan sebuah deklarasi, yang intinya: menentang kepemimpinan partai hasil muktamar dua tahun lalu. Bukan yang pertama, memang, ada pihak yang tak mengakui kepemimpinan Naro. Yang menonjol kali ini ialah, disebutnya nama H. Nuddin Lubis secara terbuka, sebagai pengganti Ketua Umum DPP PPP itu. Ini berarti, kancah perpecahan boleh jadi kian meluas. Pertentangan tak hanya terbatas antara kubu Naro dan Soedardji, yang kemudian juga disusul Ridwan Saidi melawan Naro. Tapi juga, kini melibatkan tokoh penting, Nuddin Lubis Wakil Ketua DPR/MPR. Tak hanya itu. Para penentang Naro itu kali ini bertindak lebih taktis, yang "merepotkan" secara politis. Sebab, kecuali mendepak Naro, deklarasi itu juga berisi pernyataan, mendukung Soeharto kembali menjadi presiden untuk masa jabatan mendatang. "Permintaan mencopot Naro, dan menggantikannya dengan Nuddin, kami tolak," kata Mahdi Tjokroaminoto, salah seorang Ketua DPP PPP, yang kala itu menerima deklarasi. "Tindakan mereka tidak konstitusional." Tapi, tidak semua isi pernyataan itu bisa diabaikan. "Mereka pintar. Dalam pernyataan itu, yang pertama disebut justru soal mencalonkan kembali Pak Harto sebagai presiden," tambah Mahdi. Deklarasi itu, antara lain, dipelopori oleh Hotma Tarapul, yang mengaku Wakil Ketua DPW PPP Ja-Bar. Setengah tahun silam, Hotma inilah yang, antara lain, atas nama DPW PPP Ja-Bar, mengirim surat yang ditujukan kepada Ketua DPR/MPR, dan Presiden Soeharto. Isinya: agar Naro dipecat. Kala itu, Hotma cs menilai, selama PPP dipimpin Naro, selalu terjadi keguncangan dalam tubuh partai. Kepemimpinan Naro dianggap bertentangan dengan aspirasi umat. "H.J. Naro adalah fenomena yang misterius dan khianat" tulis mereka. Dan kini, lewat deklarasi, kecaman keras pada Naro kembali dilancarkan. Salah seorang pimpinan DPA itu, disebut, "telah nyata-nyata menodai pelaksanaan Demokrasi Pancasila dalam intern Partai Persatuan Pembangunan ...." Juga menjadi kecaman, adanya pungutan bagi para calon anggota DPR. Seperti diketahui, untuk menjadi anggota DPR Pusat, misalnya, PPP Jawa Timur memungut dari si calon Rp 4 juta. "Pungutan liar" dalam penyusunan daftar calon anggota DPR itu, menurut deklarasi itu, "telah menimbulkan fitnah, perpecahan, keresahan, dan kekacauan di seluruh jajaran Partai Persatuan Pembangunan." Dengan berbagai pertimbangan itu, Naro dan Mardinsyah dinyatakan dipecat dari jabatannya, masing-masing baik sebagai Ketua Umum maupun Sekjen PPP. Bahkan, juga sebagai anggota partai. Lewat deklarasi itu pula, Nuddin Lubis diangkat menjadi ketua umum, yang dengan mandat penuh diberi kewenangan menyusun DPP PPP. Mengapa Nuddin Lubis? Ayah sepuluh anak, yang menjadi anggota DPR dari unsur NU, itu dinilai oleh Hotma cs sebagai tokoh senior yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi pada partai, dengan integritas dan loyalitas yang juga tinggi pada bangsa dan negara. Ia dinilai tak terlibat dalam konflik partai selama ini, dan dipandang memiliki wibawa untuk mengatasi kemelut dalam PPP. Deklarasi itu, tentu, segera disambut oleh Soedardji. Bahkan, boleh jadi, dialah tokoh utama di balik gerakan itu. Sehari setelah deklarasi itu, 12 September, Soedardji, selaku Ketua Fraksi PP, segera mengadakan rapat pimpinan F-PP. Pertemuan dihadiri 15 orang pengurus F-PP, berlangsung satu setengah jam, di lantai 4 gedung DPR. Hasilnya: "Sejak hari ini, kami sudah menganggap Pak Nuddin sebagai Ketua Umum DPP PPP. Jadi, bukan Naro lagi," kata Soedardji, seusai pertemuan. Tapi, bukan berarti badai mereda. Pada hari itu juga, beredar pernyataan yang dtandatangani Ridwan Saidi. Tokoh muda ini, sebagai Sekjen PP Muslimin Indonesia (MI), menyatakan MI sebagai ormas yang mandiri. MI tidak terikat lagi dengan kekuatan sospol manapun, termasuk PPP. "Ini merupakan clearance kepada masyarakat bahwa tidak benar, MI merupakan otaknya PPP, seperti dituduhkan NU selama ini," kata Ridwan Saidi. Dalam pernyataan itu, Ridwan menilai, praktek-praktek kepemimpinan di PPP jauh dari tuntunan akhlak kepemimpinan yang diajarkan oleh Rasulullah. Ia juga menyebut soal pungutan yang dilakukan secara teratur kepada anggota FPP, yang tidak pernah dipertanggungjawabkan. Dan secara eksplisit, mengimbau H.J. Naro sebagai Ketua Umum PP MI, untuk membuat pertanggungjawaban atas pungutan uang dari warga MI yang menjadi anggota DPR. Pungutan itu, menurut Ridwan, telah ditarik sejak 1978. Kekacauan dalam tubuh PPP ini, menurut Ridwan, merupakan reaksi atas ketertutupan Naro. "Itulah kenyataan," katanya. Setujukah ia dengan Nuddin Lubis? "Dari segi pengalaman, dan moral kepemimpinan, Nuddin jauh lebih unggul dari Naro," kata Ridwan. "Karena itu, bisa dipahami jika ada yang menampilkan Nuddin untuk menggantikan Naro." Pihak Naro-Mardinsyah jelas tidak mengakui semua itu. Juga, menurut Mardinsyah, tidak benar yang datang membawa deklarasi ke kantor DPP PPP itu adalah para pengurus DPW atau DPC PPP. "Bahkan ada di antara mereka yang bukan anggota partai," katanya. Bagaimanapun, PPP kini, seperti kata Nuddin Lubis, "Sedang dalam keadaan sakit." Politisi berumur 67 ini berpendapat, "Demi kesehatan partai, cara penyembuhan apa pun perlu dilakukan. Kalau perlu diamputasi." Bersediakah ia menjadi Ketua Umum DPP PPP seperti diusulkan penentang Naro? Nuddin mengakui, ia sering didatangi orang-orang, antara lain pembuat deklarasi itu. "Mereka meminta supaya saya maju. Maju ke mana? Di sekeliling saya ini 'kan tembok. Kalau saya maju, 'kan sama saja dengan membenturkan kepala saya," katanya. Jadi, kalau partai memerlukan dokter atau dukun, tidak harus saya." Tapi Soedardji menganggap, Nuddin mendapat dukungan cabang-cabang. Untuk itu, tak perlu lagi muktamar. "Muktamar sendiri mengandalkan suara cabang -- bukan perorangan. Kalau cabang sudah menghendaki Pak Nuddin, mau apa lagi?" katanya. Apakah ini bukan berarti kudeta? "Bagi Soedardji, tak dikenal istilah kup," jawabnya. Bagaimana kalau pemerintah tak setuju? "Ada urusan apa? Ini 'kan masalah intern. Pemerintah tak usah ikut campur dalam masalah ini," ujar Soedardji. Saur Hutabarat, Laporan A. Luqman dan Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini