Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah penyakit yang kerap menghinggapi pejabat dan politisi kita: terlalu gampang membuat aturan tanpa memikirkan realisasi. Sering mereka membuat dan mengesahkan undang-undang dengan tergesa-gesa. Kurang diperhitungkan, bagaimana kelak melaksanakannya di lapangan, dari mana pula duitnya.
Undang-Undang Nomor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjadi contoh terhangat. Mengatur pembentukan pengadilan khusus perburuhan, undang-undang ini termasuk yang dibuat serba cepat. Bahkan saat disahkan di Senayan pada 14 Januari lalu, sebagian ahli hukum terkejut. Undang-undang ini dinilai lebih menguntungkan kaum pengusaha ketimbang buruh. Peranan arbitrase?penyelesaian di luar pengadilan?pun amat kecil karena hanya menangani gesekan kepentingan buruh-pengusaha, di luar urusan pemutusan hubungan kerja yang sangat vital.
Namun, perlu dicatat, kehadiran undang-undang ini saja sudah merupakan kemajuan. Selama ini pekerja hanya bisa menggugat secara berkelompok lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D). Putusan P4D ini pun bisa dipersoalkan lagi lewat pengadilan tata usaha negara. Jika UU Nomor 2/2004 diberlakukan, buruh bisa menggugat secara perorangan lewat pengadilan perburuhan. Putusan pengadilan ini dianggap final, kecuali ada pihak mengajukan kasasi.
Yang jadi soal, pemerintah sekarang sulit melaksanakannya tepat jadwal. Dalam ketentuan penutup dinyatakan, undang-undang berlaku setahun sesudah dimaklumatkan. Ini berarti pada 14 Januari 2005, pengadilan perburuhan mesti terbentuk. Nyatanya, Departemen Tenaga Kerja dan Mahkamah Agung belum siap. Bahkan kelompok kerja?beranggotakan pejabat dua instansi tersebut?baru dibentuk pada Agustus lalu.
Bayangkan, dalam jangka waktu kurang dari dua bulan, mereka harus mendirikan pengadilan perburuhan di tiap ibu kota provinsi. Rekrutmen hakim pun perlu dilakukan karena pengadilan ini juga melibatkan hakim ad-hoc. Kendala lain, soal dana. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan bingung memikirkan anggaran untuk menggaji para hakim "perburuhan" itu. Departemen Tenaga Kerja memperkirakan, dibutuhkan dana sekitar Rp 98 miliar untuk mempersiapkan segalanya. Padahal, total anggaran Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, yang menangani masalah ini, hanya Rp 23 miliar.
Seharusnya pemerintah?dalam konteks ini pemerintah Megawati?menghitung dengan cermat anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Selain itu, entah bagaimana dulu ceritanya, koordinasi antara Departemen Tenaga Kerja dan Mahkamah Agung tidak jalan. Sekarang ini MA mengaku tak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan UU Nomor 2/2004 itu. Padahal MA yang akan mengurusi pengadilan khusus, termasuk hakim-hakimnya, dan menangani perkara yang diteruskan ke tingkat kasasi.
Beban kesembronoan itu harus diambil alih pemerintah sekarang. Agar persoalan tidak bertumpuk-tumpuk, jalan yang paling kecil risikonya adalah menunda pembentukan pengadilan perburuhan. Memaksakan pengadilan itu secara tergesa-gesa justru bisa menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Hanya, penundaan seharusnya diatur dengan undang-undang atau paling tidak peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Jika tidak ditunda, UU No. 2/2004 otomatis akan berlaku pertengahan Januari nanti. Jika pemerintah SBY tak bereaksi, bisa-bisa pemerintah dinilai lalai melaksanakan undang-undang. Dan itu satu persoalan yang lebih pelik dari sekadar mengeluarkan aturan penundaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo