Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Badai buat Ibu Menteri

Menteri Kesehatan Fadilah Supari diduga melakukan tindak penjiplakan. Penyelidikan sedang berlangsung.

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dahan yang menjulang tinggi pasti ditiup angin dahsyat dari segala penjuru. Begitu pula seorang Siti Fadilah Supari. Belum genap sebulan menikmati empuk kursi Menteri Kesehatan di Kabinet Indonesia Bersatu, topan badai sudah menghantamnya. Menteri Fadilah disebut-sebut menjiplak karya orang lain.

Sebuah tudingan yang bukan main-main. Karier cemerlang yang dibangun dengan banjir keringat dan air mata bakal redup seketika bila dugaan penjiplakan itu terbukti. Tak mengherankan bila Fadilah kerap risau hari-hari ini. "Risih. Saya ini sudah jadi menteri, kok, direcokin," kata perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 54 tahun lalu ini.

Kerisauan itu bukan hanya dipendam seorang diri. Fadilah disebut-sebut mempengaruhi para petinggi di lingkungan Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia. Salah seorang guru besar, misalnya, menelepon wartawan Tempo. "Mbak, ini saya menelepon di hadapan Ibu Menteri. Berita di koran itu ngawur, jangan ditiru," kata sang guru besar.

Alih-alih meredam, telepon sang guru besar semakin mendorong Tempo untuk mencari bukti. Dua berkas salinan makalah yang jadi sumber keributan pun akhirnya didapat. Yang pertama adalah karya Fadilah Supari dan Otte J. Rachman dengan tajuk "Cholesterol-Lowering Effect of Soluble Fibre as an adjunct to Low Calories Indonesian Diet in Patients with Hypercholesterolamia". Fadilah menyajikan makalah ini dalam seminar di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, 29 Oktober 2002. Makalah inilah yang teramat mirip dengan hasil kerja James W. Anderson, "Long-term Cholesterol Lowering Effect of Psyllium as an adjunct to diet therapy in the treatment of hypercholesterolamia", yang dimuat di American Journal of Clinical Nutrition, volume 71, tahun 2000.

Sejatinya, kedua riset yang menjadi dasar kedua makalah adalah dua hal yang benar-benar berbeda. James Anderson meneliti efek tanaman Psyllium yang kaya serat terhadap penurunan kadar kolesterol pada 248 pasien di Amerika. Sementara itu, Fadilah meneliti 140 pasien hiperkolesterol di Indonesia yang diberi diet serat larut (soluble fibre) yang juga berbahan baku Psyllium.

Persoalannya, Fadilah menuliskan hasil penelitiannya dengan gaya bahasa "plek" ala James Anderson. Pada kedua berkas makalah, seperti yang diamati Tempo, terdapat kemiripan tuturan kata per kata, mulai dari bagian abstrak, rancangan studi, analisis statistik, hasil, sampai diskusi. Kadar keserupaan makin kental terasa karena makalah Fadilah juga menggunakan bahasa Inggris seperti halnya Anderson.

La, bagaimana bisa?

Mari kita dengar pernyataan Siti Fadilah Supari. Menteri Kesehatan ini menolak keras tudingan bahwa dirinya melakukan tindak penjiplakan. "Saya tahu kok batasan plagiat," kata perempuan yang meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran UI pada 1996 ini.

Plagiarisme, menurut Fadilah, terjadi apabila makalah yang dipersoalkan dimuat di majalah atau jurnal ilmiah. "Ini kan tidak. Saya hanya mempresentasikan di hadapan sejumlah dokter dan kalangan awam," kata dokter yang pernah menjabat Kepala Pendataan dan Penelitian RS Jantung Harapan Kita ini.

Batasan plagiarisme yang lain, masih menurut Fadilah, adalah pencantuman referensi. Apabila naskah yang menjadi sumber inspirasi dimasukkan dalam daftar referensi, maka otomatis tuduhan plagiat tidak berlaku. "Saya pun sudah mencantumkan makalah Anderson dalam referensi," kata Fadilah.

Penjelasan Fadilah agaknya perlu dikaji lebih jauh. Profesor Hasbullah Thabrany, pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, menegaskan bahwa tak ada batasan awam-ilmiah yang berlaku dalam plagiarisme. Makalah yang ditujukan pada kelompok awam sekalipun harus mematuhi aturan akademik yang menghormati karya cipta orang lain.

Profesor Indrianto Senoaji, ahli hukum yang juga mendalami masalah-masalah hak atas kekayaan intelektual, berpendapat senada. Dengan tidak dipublikasikannya makalah Fadilah dalam jurnal ilmiah, persoalan yang menghadang relatif tidak kelewat berat. Lain soal apabila makalah itu dimuat dalam majalah atau jurnal ilmiah. Pihak American Journal of Clinical Nutrition sebagai penerbit dan pemilik hak cipta tulisan James Anderson bisa saja menuntut Fadilah karena mengambil sebagian besar ide dan kalimat dalam karya Anderson.

Hal lain yang perlu disorot adalah referensi. Menteri Fadilah memang mencantumkan karya James Anderson dalam daftar referensi. Secara hukum, Indrianto menjelaskan, hal ini bisa menggugurkan tudingan plagiarisme. "Adanya referensi memperlihatkan bahwa si penulis tidak dengan sengaja menghilangkan identitas ilmuwan yang dirujuk," katanya.

Namun, Indrianto melanjutkan, "Secara moral dan etika akademik, lain lagi persoalannya." Ada tata krama yang dihormati dunia akademik. Setiap kutipan sebuah gagasan dalam kalimat, apalagi paragraf, harus disertai catatan kaki yang menunjukkan pustaka mana yang dirujuk. Tujuannya supaya pembaca tahu persis bagian mana yang dirujuk si penulis. "Ini yang tidak dilakukan Ibu Menteri," katanya.

Nah, berhubung yang dilanggar adalah etika akademik, maka yang mesti menjernihkan persoalan ini adalah juga instansi akademik. Profesor Usman Chatib Warsa, Rektor UI, berjanji segera meneliti dan mengkaji kasus ini. "Saya sendiri baru tahu berita ini dari koran. Saya malu kalau ini benar-benar terjadi," katanya sambil meminta agar pemberitaan tentang kasus Fadilah dilakukan dengan hati-hati dan tidak sembrono. "Ini kan menyangkut nasib orang lain," kata Usman.

Dr. Menaldi Rusmin, Dekan Fakultas Kedokteran UI, membenarkan bahwa kasus ini sedang hangat disorot Dewan Guru Besar UI. Fakultas Kedokteran UI, tempat Fadilah menjadi pendidik, telah diminta mengkaji bukti-bukti yang ada. "Jika nanti ditemukan sesuatu yang janggal, yang bersangkutan akan dipanggil dan dimintai pendapat," kata Menaldi.

Pernyataan serupa disampaikan Profesor Bambang Sutrisna. Anggota Dewan Guru Besar UI ini menjamin kasus yang menimpa Fadilah Supari akan ditelisik sampai tuntas. Selain penting bagi sosok Fadilah sendiri?apalagi jika terbukti yang bersangkutan tidak salah, "Ini juga amat penting bagi dunia pendidikan," katanya. Status sebagai menteri atau bukan, Bambang menjamin tidak akan mempengaruhi hasil penyelidikan Dewan Guru Besar UI.

Nanti, seandainya terbukti Fadilah melakukan pelanggaran etika akademik, bukan mustahil sanksi akan dijatuhkan kepadanya. "Sanksi moral," kata Profesor Iwan Darmansjah, farmakolog yang juga guru besar senior FKUI. Sanksi moral ini tergantung berat-ringan kadar plagiarisme yang dilakukan seseorang. Bisa saja gelar doktornya dicabut atau yang bersangkutan dikeluarkan dari institusi UI.

Pada kasus Fadilah, sanksi yang mungkin jatuh agaknya tidak segawat itu. Kemungkinannya, Dewan Guru Besar UI akan memutuskan spesialis jantung dan pembuluh darah ini tidak bisa menjadi guru besar dan mendapatkan gelar profesor. "Ini saja sudah sanksi yang berat bagi seorang akademisi," kata Iwan.

Iwan menambahkan, kasus Fadilah membuktikan, sebagian besar orang berpendidikan tinggi tidak paham etika akademik. Iwan pun menyarankan pentingnya program khusus yang menjelaskan etika akademik sejak awal perkuliahan. "Termasuk A sampai Z batas-batas plagiarisme." Jika tidak, kasus demi kasus plagiarisme akan terus mengalir.

Lalu, bagaimana dengan status politik Fadilah selaku menteri? Andi Mallarangeng, kuru bicara kepresidenan, tidak mau tergesa-gesa bertindak. "Kita tunggulah dulu hasil akhir penyelidikan tim UI. "Jangan berandai-andai untuk kasus yang belum jelas benar," kata Andi. Nanti, bila keputusan final sudah jatuh, barulah persoalan Fadilah akan dibahas Presiden.

Lain Andi, lain pula Indrianto Senoaji. Menurut dia, jika terbukti ada pelanggaran etika, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono wajib menimbang ulang posisi Fadilah Supari dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Apalagi, sebelum menjadi menteri, ke-34 anggota kabinet sudah teken kontrak untuk menjunjung tinggi moralitas. "Ini kan juga masalah moral," katanya.

Indrianto menambahkan bahwa kasus ini justru menjadi tantangan bagi Presiden. Katanya, "Apakah beliau bisa membuktikan bisa bertindak fair terhadap pembantunya sendiri?"

Mardiyah Chamim, Eni Saeni, Danto, Bernarda Rurit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus