Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdallah
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana hubungan agama dan negara kembali mencuat di ranah publik dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut semakin menguat dengan tampilnya KH Ma’ruf Amin, figur ulama dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden mendatang. Salah satu perdebatan yang mengemuka adalah pro dan kontra di kalangan ulama ihwal konsep negara-bangsa. Polemik tersebut menunjukkan bahwa masih ada yang belum selesai dalam berbangsa dan bernegara sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Studi mutakhir Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian Yogyakarta bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta (2018) tentang "Persepsi Ulama terhadap Negara-Bangsa" dirilis pada pekan lalu di Jakarta. Penelitian ini menelaah pandangan para ulama mengenai konsep negara-bangsa dengan melakukan survei dan wawancara mendalam terhadap 450 ulama di 15 kota. Ulama tersebut berasal dari beragam afiliasi keagamaan, seperti NU (22,22 persen), Muhammadiyah (15,78 persen), Syiah dan Ahmadiyah (5,33 persen), dan lain-lain (35,56 persen).
Temuan dari penelitian ini cukup menggembirakan. Sebanyak 71,56 persen ulama menerima tatanan negara-bangsa, sedangkan yang menolak 16,44 persen. Artinya, dalam kadar ini, ulama setuju terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, juga demokrasi sebagai sistem terbaik.
Hal ini berbanding lurus dengan cara pandang keagamaan. Ulama yang memiliki pandangan moderat sebanyak 34 persen, inklusif 23,33 persen, progresif 4,89 persen, konservatif 9,33 persen, radikal 4 persen, dan ekstrem 2,67 persen. Penerimaan ulama terhadap konsep negara-bangsa dapat diukur dengan melihat beberapa dimensi, yakni penerimaan terhadap sistem (yang mendukung 92,89 persen dan menolak 7,11 persen), penolakan terhadap kekerasan (pendukung 90,22 persen dan penolak 9,78 persen), toleransi (yang menerima 76,44 persen dan menolak 23,56 persen), dan pro-kewargaan (pendukung 69,11 persen dan penolak 30,89 persen).
Hal menarik lainnya adalah wilayah yang memiliki sikap penerimaan terhadap negara-bangsa tampak di Pontianak, Surabaya, dan Ambon. Adapun penolakan terhadap negara-bangsa muncul di Surakarta, Padang, Aceh, dan Bandung.
Kendati demikian, penerimaan ulama terhadap negara-bangsa bukan tanpa kekurangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada yang tidak selesai dalam irisan pro-kewargaan. Misalnya, dalam memilih pemimpin, alam pikir ulama masih terbelenggu pada politik kauman, yang menginginkan pemimpin ideal hanya dari kelompok muslim. Pada titik ini, kadar negara-bangsa direduksi dalam sekapan konsep ummah, yang hanya merangkul dengan melihat persamaan identitas (Roy, 2004).
Pada sisi anti-kekerasan juga menyisakan paradoks. Para ulama akan mengambil tindakan keras terhadap kelompok yang dianggap "sesat" jika tindakan persuasif tidak efektif. Ini juga tampak, misalnya, pada konsep pencegahan terhadap maksiat (nahi munkar), ulama akan memberlakukan tindakan koersif setelah pihak yang berwenang dianggap tidak berhasil. Yang terakhir ini mendorong masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri yang mengarah pada kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, peran ulama cukup besar dalam pembentukan negara-bangsa. Laffan (2003) mendokumentasikan hal ini dengan baik. Dia menyebutkan bahwa nasionalisme tidak serta-merta lahir tanpa suntikan dari spirit agama. Kaum reformis muslim pada masa itu berani bersikap bahwa konsep ummah harus diganti menjadi "bangsa" dan Tanah Air, yang dewasa ini dipahami sebagai pergeseran dari konsep "al-Jawi". Jadi, dengan ijtihad tersebut, membela bangsa merupakan perwujudan dari seruan ajaran Islam yang mesti ditaati dan dijunjung tinggi.
Di titik ini, perebutan wacana negara-bangsa di kalangan para ulama masih jauh dari selesai dan agaknya akan terus didaur ulang dengan mengikuti perubahan lanskap politik negara. Ada langkah-langkah strategis yang bisa dilakukan. Pertama, Kementerian Agama bekerja sama dengan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah, serta mengadakan pelatihan untuk ulama, baik di level lokal maupun nasional, dengan memberikan wawasan kewargaan dan moderasi agama.
Kedua, Majelis Ulama Indonesia, yang merupakan representasi ulama Indonesia, mesti mewacanakan moderasi agama sebagai basis berpikir dan bertindak bagi para ulama, baik di level lokal maupun nasional, dalam mendakwahkan ajaran agama.
Ketiga, pemerintah-dalam hal ini Kementerian Agama, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan-menyiapkan buku-buku keagamaan yang berisi wawasan keindonesiaan dan keislaman yang bertolak pada pemahaman bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pada akhirnya tidak perlu istilah "NKRI Bersyariah".