DI suatu siang pada awal 1980-an saya berjumpa dengan seorang Muslim Pakistan di pelataran masjid Elijah Muhammad di Jalan Stony Islands, Chicago. Setelah saling berteguran, saling menanyakan negeri asal, dan kemudian saling memberi jawaban, lelaki Pakistan setengah baya itu menanyakan pekerjaan saya di kota itu. Lalu saya jawab bahwa saya mahasiswa pada Universitas Chicago. Dia bertanya lagi, "Anda belajar apa?" Saya jawab, "Belajar Islam di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman !" Mendengar nama Rahman lelaki itu kelihatan menjadi tidak senang, dan segera berucap, "Fazlur Rahman ia not a good Muslim he does not believe in revelation." Saya tidak kaget dengan pernyataan seperti itu, sebab saya telah tahu bahwa pikiran-pikiran Rahman tentang berbagai isu yang berkaitan dengan Islam ditentang habis-habisan oleh para ulama tradisional dan ulama fundamentalis di Pakistan. Isu tentang bunga bank yang dipandang halal oleh Rahman, juga pemotongan ternak makan dengan mesin yang diperbolehkannya, merupakan isu-isu yang telah mengundang tantangan tajam dan reaksi hebat dari lawan-lawannya di Pakistan dan India. Reaksi itu berkadar intens dan sangat emosional. Maka, berlangsunglah polemik selama berbulan-bulan pada akhir tahun 1960-an. Rahman dinilai sebagai seorang yang ingin menghancurkan Islam dari dalam. Rupanya, lelaki yang saya jumpai di Stony Islands itu adalah di antara mereka yang berpendapat bahwa Rahman memang telah merusakkan Islam. Tetapi saya tidak yakin bahwa lelaki itu telah membaca karya-karya Rahman dengan teliti dan hati terbuka. Setidak-tidaknya begitulah kesan saya setelah melihat sikapnya yang serba kontan itu. Lain Pakistan lain Indonesia. Di Indonesia, Bung Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, yang juga menghalalkan bunga bank, mereka tetap dihormati, sekalipun sebagian besar para ulama tidak atau belum menyetujui pendapatnya. Tampaknya umat Islam Indonesia jauh lebih toleran bila menghadapi perbedaan pandangan dalam masalah-masalah hukum Islam yang bertautan dengan isu-isu kemasyarakatan. Mungkin dari sisi kenyataan inilah Rahman pernah mengatakan bahwa kebangkitan pemikiran Islam akan dipelopori oleh Indonesia dengan syarat agar umat Islam di sini menambah ilmunya tentang soal-soal keislaman hingga fondasi pemikiran mereka menjadi kokoh dan berwawasan luas. Tantangan modernitas, menurut Rahman, hanyalah mungkin dijawab bila umat Islam tidak dipasung oleh parokialisme dalam memahami ajaran Islam. Ini tidak berarti bahwa yang harus dikerjakan oleh umat Islam hanyalah menyesuaikan diri dan sikap dengan kehendak modernitas. Rahman amat teguh dan tegar dalam mempertahankan prinsip-prinsip Islam yang fundamental, seperti prinsip-prinsip yang bertalian dengan soal akidah dan moralitas. Sedangkan dalam soal-soal kemasyarakatan, perumusan ajaranajaran itu harus luwes, dan berangkat sepenuhnya dari tujuan umum doktrin agama. Bagi Rahman khazanah pemikiran Islam klasik yang kaya itu tidak hanya untuk dipelajari dan dikagumi, tapi dipelajari untuk dipertanyakan: sampai di mana kesahihan hasil pemikiran klasik itu bila dikonfrontasikan dengan cita-cita Quran yang dipahami secara utuh dan jujur. Sekiranya Rahman menyampaikan gagasan-gagasan pemikirannya lewat gaungan puisi, seperti halnya Iqbal, maka kontroversi terhadapnya tidak akan berlarut-larut. Iqbal dalam menghadapi isu-isu tertentu dalam Islam seringkali lebih "kejam" dari Rahman tapi itu diungkapkan dalam bahasa puisi seorang penyair, hingga pembaca luluh karena keindahannya. Rahman tidak pandai berpuisi. Ungkapan-ungkapan langsung dan sistematis ditegakkan di atas landasan metodologis yang diciptakannya, hingga pembaca tidak banyak menjumpai kesulitan untuk memahami dan bereaksi terhadapnya. Rahman lebih merupakan sosok sarjana-pemikir, sementara Iqbal adalah pemikir-sarjana plus penyair. Menghadapi kritik dan bantingan terhadap hasil pemikirannya yang kontroversial itu, Rahman tampaknya bukanlah seorang pesimis. Dia sadar betul akan mahalnya ongkos yang harus dibayar oleh setiap pembaru. Tapi dari sejarah ia pun mendapat pelajaran yang berharga: ide-ide pembaruan pada mulanya dilawan dan dicaci maki, tapi secara berangsur dan diam-diam ide-ide itu diikuti dan dijalankan. Maka, ia tidak pernah gamang dalam melontarkan pendapat-pendapatnya. Tapi sewaktu ancaman fisik dihadapkan kepadanya di Pakistan pada akhir 1960-an, dia memang kemudian telah meninggalkan tanah airnya, dan menetap di Chicago sampai saat wafatnya pada 26 Juli yang lalu dalam usia 69 tahun. Dari kota inilah ia selama delapan belas tahun, tanpa mengenal lelah, mengkomunikasikan gagasan-gagasannya lewat karya tulis dan lisan. Selama masa ini dia telah menghasilkan dua buku dan puluhan artikel yang bertebaran di berbagai jurnal ilmiah di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Setahu saya, di pusat-pusat kajian islam di Barat, karya-karya Rahman termasuk di antara literatur wajib. Jauh sebelum wafat Rahman memang telah lama bergumul dengan diabetes yang kronis. Tiap hari ia menyuntik dirinya. Tapi yang membawa ajalnya adalah serangan jantung yang berat sehingga terpaksa dioperasi. Dan operasi itu berhasil dengan baik, setidak-tidaknya buat beberapa minggu sampai janji ajal itu mendatanginya dengan penuh kepastian. Rahman telah pergi untuk tidak pulang lagi. Ia pergi dengan meninggalkan karya-karya tulis yang bernilai strategis secara intelektual. Karya-karya ini perlu disimak secara kritis sebagaimana yang ia contohkan kepada murid-muridnya sewaktu mereka mengaji kepadanya. Semoga Allah berkenan menghargai Rahman di alam baka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini