Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menyuntikkan modal baru Rp 7,5 triliun ke Garuda Indonesia.
Penyelamatan Garuda kental akan nuansa politis ketimbang bisnis.
Garuda bisa menjadi beban jangka panjang negara.
TIDAK semestinya Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengambil risiko besar dengan menyuntikkan modal baru ke PT Garuda Indonesia, yang sempat nyaris bangkrut. Apalagi jika langkah tersebut semata bertujuan memenuhi kebanggaan semu memiliki maskapai penerbangan pelat merah dengan mengorbankan rasionalitas bisnis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah akan mengucurkan dana segar senilai Rp 7,5 triliun ke Garuda yang sedang mengalami tekanan berat keuangan. Suntikan itu berasal dari cadangan pembiayaan investasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022 yang dialokasikan dalam bentuk penyertaan modal negara. Penambahan modal akan menaikkan porsi kepemilikan pemerintah di Garuda dari 60,54 menjadi 65 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah pemerintah memaksakan diri membantu Garuda bakal memberi risiko besar bagi keuangan negara. Sebab, sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah mesti siap-siap menanggung kerugian yang timbul di masa mendatang. Apalagi kondisi keuangan maskapai itu dalam kondisi remuk redam dan sempat berada di jurang kebangkrutan. Total utang Garuda setelah menjalani restrukturisasi sebesar Rp 75 triliun, susut dari sebelumnya yang sempat menyentuh Rp 142 triliun.
Operasi penyelamatan Garuda ini makin kental sebagai keputusan politis jika dibandingkan dengan kebijakan negara tetangga mengurus maskapai mereka yang bermasalah. Pemerintah Thailand sudah sejak empat tahun lalu menyatakan tidak akan menginjeksi Thai Airways, yang terbelit utang hingga Rp 100 triliun, dan rela tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas.
Pemerintah Malaysia pun berhenti mengguyurkan modal baru bagi Malaysia Airlines, yang juga terpuruk dalam kubangan utang. Sebelumnya, pemerintah negara jiran itu berkali-kali menyuntikkan modal, tapi tidak memberi dampak perbaikan, bahkan bertambah parah. Sejak 2020, Kementerian Keuangan Malaysia menyerahkan sepenuhnya nasib Malaysia Airlines kepada Khazanah Nasional Berhad, pemegang saham mayoritasnya.
Wajar kemudian muncul kekhawatiran bahwa langkah Kementerian BUMN menyuntikkan modal baru bagi Garuda bakal seperti menggarami air laut. Terlebih masalah fundamental di Garuda dan banyak perusahaan negara lain, yakni buruknya tata kelola perusahaan, tak kunjung bisa diselesaikan.
Kementerian BUMN juga mengabaikan fakta bahwa status maskapai pelat merah telah menimbulkan banyak mudarat. Garuda menjadi tidak sehat karena dipaksa menjalankan sejumlah penugasan dan mengakomodasi berbagai kepentingan yang justru menjadi sumber korupsi dan main mata. Dari kontrak pengadaan pesawat yang tak wajar sampai penyelundupan sepeda motor dan sepeda mewah.
Ketimbang menjadi beban jangka panjang, pemerintah harus menjadikan suntikan modal baru Rp 7,5 triliun untuk Garuda sebagai yang terakhir. Sembari terus melakukan perbaikan, pemerintah perlu menyiapkan rencana menjual seluruh kepemilikan Garuda kepada pihak lain. Itu langkah yang lebih baik ketimbang anggaran negara makin terperosok karena terus-menerus menanggung beban Garuda.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo