Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Upah Buruh Perkebunan Sawit

Tidak ada kesepakatan yang memuaskan antar-pihak.

22 November 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa yang tergabung dalam sejumlah Organisasi Buruh di Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat 19 November 2018. Mereka menuntut antara lain penetapan UMK 2019 berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 ayat (4) sebesar 20 persen dari UMK 2018 serta mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. ANTARA FOTO/Novrian Arbi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiko Saputra
Peneliti Auriga Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada kesepakatan yang memuaskan antar-pihak. Begitulah hasil akhir penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang diketok semua gubernur sebagai ritual tahunan penetapan upah buruh di seantero Nusantara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesuai dengan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan, tingkat kenaikan upah pada 2019 sebesar 8,03 persen. Hal itu di dasari penghitungan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional 2018, yang menjadi dasar penghitungannya.

Bagi buruh, kenaikan itu tak sesuai dengan harapan. Mereka menganggap angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi itu bukan angka riil. Kenaikan berbagai harga di pasar melebihi perhitungan pemerintah, dan angkanya bervariasi di setiap daerah.

Sebaliknya, para pengusaha lantang tidak bersepakat dengan kenaikan itu. Menurut mereka, tekanan berusaha makin berat saat rupiah melemah dan daya beli masyarakat merosot. Beban kenaikan upah akan makin memberatkan mereka.

Sayangnya, pro-kontra itu bukanlah hal substansi dari persoalan pengupahan. Saat ini, sistem pengupahan belum mengadopsi kepentingan semua buruh. UMP hanya relevan bagi buruh di sektor manufaktur. Ketika sistem itu diterapkan di sektor lain, seperti perkebunan sawit, sistemnya jauh berbeda.

Semua orang paham bahwa bekerja di perkebunan sawit penuh tantangan bila dibandingkan dengan bekerja di sektor manufaktur atau retail. Namun perlakuan upahnya sama. Malah, di banyak tempat, upah yang diterima buruh perkebunan sawit jauh di bawah UMP. Fakta itu ditemukan Koalisi Buruh Sawit (2018), bahwa terdapat selisih 20-30 persen antara upah yang diterima buruh perkebunan sawit dan UMP.

Tak hanya mengenai upah murah, buruh perkebunan sawit dihadapkan dengan beban kerja yang berat. Saat maksimal jam kerja buruh hanya delapan jam per hari, mereka bekerja lebih dari 12 jam per hari. Output yang dihasilkan pun sangat tak manusiawi. Misalnya, seorang buruh ditargetkan mengumpulkan 2-3 ton buah sawit setiap hari. Jika dikonversi dari luas area pekerjaan, setiap orang harus menjangkau luas lima kali lapangan sepak bola. Mereka juga harus mengangkat buah sawit ke tempat pengumpulan hasil, yang jaraknya mencapai 2-3 kilometer, dan berkewajiban merawat tanaman.

Semua itu dilakukan buruh dalam risiko kecelakaan kerja yang tinggi, terutama bagi buruh perempuan. Topografi perkebunan sawit sangat berat: dikelilingi hutan belantara, rawa, dan ancaman binatang buas. Meski demikian, banyak buruh yang tidak terjangkau oleh jaminan ketenagakerjaan dan jaminan kesehatan.

Keberadaan pekerja anak juga menyeruak di perkebunan sawit. Itu terjadi karena sistem pengupahan dan pola kerja yang memaksa pekerja ikut melibatkan anak untuk membantu pekerjaan agar mendapatkan tambahan penghasilan. Mereka riskan tereksploitasi dan mustahil mendapatkan pendidikan yang lebih baik karena ketiadaan fasilitas pendidikan di sekitar perkebunan.

Karena itu, tidak relevan memperdebatkan UMP ketika dibenturkan dengan kondisi buruh perkebunan sawit. Tanpa ada ketegasan pemerintah dalam kebijakan dan pengawasan terhadap sistem pekerjaan dan pengupahan, jangan berharap persoalan eksploitasi buruh di perkebunan sawit bisa diselesaikan.

Untuk itu, pemerintah perlu menyusun skema kebijakan guna menjamin perlindungan buruh di sektor perkebunan sawit. Perlindungan itu harus memastikan bahwa mereka tidak dieksploitasi dengan sistem pekerjaan yang tak manusiawi. Pemerintah harus memastikan hak-hak mereka sebagai pekerja terpenuhi, seperti jaminan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan bagi anak, dan permukiman yang layak.

Pemerintah juga perlu menyusun sistem pengupahan yang layak bagi mereka. Sudah saatnya pemerintah menyusun UMP sektoral, terutama untuk sektor strategis seperti perkebunan sawit. Upah itu harus sesuai dengan beban kerja yang dihadapi buruh.

Terakhir, segera hentikan penggunaan pekerja anak di perkebunan sawit. Anak bukanlah obyek eksploitasi ekonomi. Mereka memiliki hak untuk dapat bertumbuh-kembang dengan baik, dan hak tersebut dilindungi konvensi internasional dan konstitusi kita. Sudah saatnya kita menyejahterakan buruh dan meningkatkan pendidikan anaknya lewat upah yang layak.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus