Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Urbanisasi Di Indonesia

Sistem pemerintahan yang sentralistis mengakibatkan arus urbanisasi terpusat di jakarta. kebanyakan pendatang bekerja di sektor informal, maka untuk menampungnya, sektor ini perlu diperhatikan dengan seksama.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINGKAT urbanisasi di Indonesia dewasa ini masih tergolong rendah. Jumlah penduduk yang tinggal di kota masih kurang 1/5- dari seluruh jumlah penduduk. Juga tingkal kenaikan penduduk kota dari tahun 1961 s/d tahun 1971 hanyalah dari 14,8%) menjadi 17,4%. Jadi rata-rata pertambahan penduduk kota pertahun selama periode itu hanya sekitar 0,3%. Karena itu di masa yang akan datang tingkat pertumbuhan urbanisasi masih akan berjalan lebih pesat lagi. Diduga sampai akhir abad ini penduduk kota di Indonesia akan mencapai jumlah 30% atau lebih. Khususnya di pulau Jawa potensi meningkatnya arus urbanisasi sangatlah besar. Penduduk pulau Jawa yang suatu sangat padat tidak dapat ditampung lagi di kawasan desa. Areal tanah pertanian makin menyempit. Pada tahun 1973 rata-rata pemilikan tanah pertanian hanya berkisar 0,3 Ha/petani. Pada tahun-tahun terakhir ini hampir separuh dari penduduk pedesaan adalah petani tak bersawah. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesehatan, diduga mobilitas sosial penduduk juga akan meningkat. Ini berarti pada masa-masa vang akan datang lebih banyak lagi penduduk yang akan pindah dari desa ke kota. Karena itu, kebijaksanaan yang lebih rasionil bukanlah membendung urbanisasi, melainkan mengatur arus pertumbuhan kota-kota itu demikian rupa sehingga bebannya lebih merata. Masalah urbanisasi di Indonesia timbul karena tingkat pertumbuhan kota-kota yang tidak merata. Sejumlah kecil kota utama (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Ujung Pandang) berkembang dengan pesat. Sebaliknya kota-kota kecil atau sedang pertumbuhannya tidak melebihi tingkat pertumbuhan penduduk nasional secara berarti. Malahan beberapa di antaranya tumbuh dengan tingkat yang lebih rendah dari tingkat perkembangan penduduk secara nasional (Tegal, Magelang, Bukittinggi, dan sebagainya). Tantangannya sekarang bagaimana kita bisa mengatur pertumbuhan penduduk kota-kota itu demikian rupa sehingga bebannya terpikul secara wajar. Jakarta, Kota Utama Kesulitan paling pokok dalam mengembangkan kebijaksanaan penyebaran urbanisasi itu terletak pada kenyataan bahwa sistim nasional kita pada dasarnya sangatlah memusat (highly centralized). Tidak hanya sistim ekonomi, tetapi juga sistim politik dan pemerintahan kita dalam konstelasi sekarang tidak bisa mengelak dari corak memusat itu. Akibatnya sumber-sumber daya cenderung memusat di Jakarta sebagai kota utama di Indonesia. Menghadapi kenyataan ini Jakarta tidak bisa mengelak dari tanggung jawab untuk menerima kemungkinan arus urbanisasi yang lebih pesat. Karena di tingkat pemerintahan ini hampir kecil sekali peranan pemerintah kota untuk bisa merobah sistim nasional dari pola yang memusat ke pola yang lebih menyebar. Yang penting dipikirkan ialah bagaimana menampung beban pertambahan penduduk maupun peningkatan kegiatan sosial ekonomi secara lebih rasionil. Atas dasar pikiran ini berkembanglah konsep-konsep membagi beban metropolitan dengan kuwasan sekitar. Dalam disiplin inu wilayah ini disebut kerangka metropolitanisasi pola pembagian beban secara rasionil dengan kawasan sekitar ini sangat lazim dilakukan di mana-mana: Manila, Tokyo London, Rotterdam, Amsterdam, Paris dan lain-lain. Di Jakarta konsep ini dulu semua dikembangkan dalam bentuk rencana perluasan kota Jakarta. Kemudian ditetapkan oleh pemerintah pusat ditampung dalam kerangka kebijaksanaan dekonsentrasi perencanaan di kawasan Jakarta Bogor, Tangerang dan Bekasi. Dengan penglihatan kawasan yang diperluas itu, rencana penampungan kegiatan-kegiatan penduduk dapat dilihat dalam perspektif wilayah yang lebih luas. Hal ini akan memberi peluang ruang gerak bagi pengaturan permukiman penduduk secara lebih baik. Persoalannya sekarang di samping penetapan rencana-rencana pola permukiman, lalu-lintas, pusat-pusat kegiatan dan perlindungan kwalitas lingkungan. juga perlu dipikirkan mekanisme pengelolaan kawasan metropolitan ini secara terpadu. Di beberapa negara lain, dibentuk berbagai model regional authoriv, pengaturan pelayanan secara bersama atau badan pertimbangan politik yang terdiri dari unsur-unsur wakil dari kawasan metropolitan itu. Sektor Informil Dalam pada itu perlu dicatat bahwa tingkat pendidikan, latar belakang sosial dan ekonomi penduduk yang pindah ke kota di negara kita ini umumnya rendah. Akibatnya kebijaksanaan untuk mengatur penampungan mereka di pabrik-pabrik, kantor-kantor, hotel dan lain-lain (sektor informil) tidak dapat rnenampung tenaga mereka. Pendatang ini sebagian besar lalu menggelembung di sektor informil seperti kuli bangunan, pedagang kaki lima, tukang penjaja makanan, tukang cukur, tukang pijit dan lain-lain. Hasil studi sektor informil tahun 1975 di Jakarta menunjukkan bahwa jumlah mereka ditaksir sebanyak 560.000 orang bekerja di sektor informil. Karena itu bagi penduduk Jakarta, sektor informil boleh dipandang sebagai sumber pekerjaan dan mata pencaharian yang penting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 80% usaha di sektor informil ini merupakan usaha dagang atau jasa. Mereka yang bekerja di sektor informil ini umumnya terdiri dari mereka yang sudah beberapa tahun tinggal di Jakarta. Karena itu perlu diamati juga mekanisme penampungan kaum pendatang ke sektor informil ini. Studi mengenai ini sudah pula dilakukan oleh PPMPL, dalam bentuk pengamatan mendalam tingkah laku beberapa pendatang di Jakarta. Umumnya faktor kaitan-kaitan sosial seperti keluarga, kenalan sekampung, semarga dan lain-lain mempunyai peranan yang sangat penting dalam penampungan pendatang-pendatang ini dalam sektor informil. Pada tingkat sekarang, studi menunjukkan bahwa 2/3 dari mereka ini menyatakan kepuasannya atas pekerjaannya yang sekarang. Hambatan pokok mereka dilaporkan sebagai kurangnya permintaan, kurangnya modal, persaingan dan adanya kebijaksanaan pemerintah yang restriktif terhadap usaha mereka. Di dalam menampung kemungkinan urbanisasi yang lebih luas, karenanya sektor informil perlu mendapat perhatian secara lebih seksama. Artikulasi kebijaksanaan untuk menciptakan lapangan kerja, mengembangkan kawasan permukiman baru, meningkatkan pendapatan penduduk dan perencanaan pusat-pusat kegiatan harus selalu dilandasi oleh kerangka pikir mengnai pengaturan sektor informil ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus