Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barangkali di tiap bongkah batu di Yerusalem tersimpan jejak sesuatu yang agung tapi juga mengerikan: peradaban. Dengan kata lain, cerita besar, masa lalu yang dahsyat, raja dan iman dengan teriak yang sengit dan berdarah-darah. Di depan tamasya itu, orang mudah lupa bahwa ada yang lebih penting.
Sebuah sajak Yehuda Amichai, penyair Israel itu, mengingatkan kita tentang itu—mengingatkan tamu, peziarah, dan pelancong yang berdiri atau jongkok, agak cuek ataupun sok berempati, mendengarkan kisah Yerusalem dari pemandu wisata, lalu berfoto-foto dan tertawa renyah di kamar hotel mereka—dan tak tahu apa sebenarnya yang mereka lihat.
Suatu ketika aku duduk di tangga dekat gapura Menara Daud, kuletakkan dua keranjang berat di dekatku. Sekelompok turis berdiri mengelilingi pemandu mereka, dan aku pun jadi penanda letak.
"Anda lihat lelaki dengan keranjang itu? Persis di arah kanan kepalanya ada lengkung dari zaman Romawi. Persis di arah kanan kepalanya."
"Tapi dia bergerak, dia bergerak!"
Aku berkata dalam hati: akan datang penebusan bila pemandu itu berkata: "Anda lihat lengkung dari zaman Romawi itu? Bukan itu yang penting: tapi yang di sebelahnya, ke arah kiri ke bawah sedikit: seorang lelaki yang baru membeli buah dan sayur untuk keluarganya."
Seseorang yang hidup, tanpa drama, menyiapkan makan malam bersama anak-istrinya: itulah yang penting. Bukan monumen, bukan Yerusalem yang dipahat ambisi kemenangan dan keagungan—bahkan juga hasrat kesucian. Terlampau dalam endapan yang muram tentang itu, dan akhirnya, untuk apa?
Banyak catatan merekam peristiwa brutal dalam sejarah Yerusalem yang panjang, tapi agaknya buku Simon Sebag Montefiore, Jerusalem: The Biography, memakai prolog yang paling pas: di akhir Juli tahun ke-70 Masehi, Titus, putra Kaisar Romawi Vespasianus, menyerbu kenisah suci Yahudi, setelah selama empat bulan mengepung kota. Sebanyak 60 ribu legioner Romawi dan pasukan lokal disiapkan. Tak kunjung berhasil—perlawanan orang Yerusalem begitu gigih—ia pun memerintahkan bangunan suci itu dibakar. Setelah itu, titahnya lebih ganas: semua tahanan dan pembangkang disalibkan. Tiap hari 500 orang dipaku di palang, hingga Bukit Zaitun dan sekitarnya penuh sesak. Penjarahan tak mengenal batas. Tahu bahwa ada penduduk Yerusalem yang menyembunyikan mata uangnya di dalam perutnya—gobang-gobang berharga mereka telan—para serdadu merobek perut para tahanan. Mereka rogoh usus dan waduk orang-orang tak berdaya itu, bahkan ketika mereka belum mati.
Kebuasan tak hanya terbatas pada penguasa Romawi. Beberapa puluh tahun sebelumnya, Yehonatan, raja Yahudi yang memakai nama Alexander, merebut kembali Yerusalem dari pesaingnya. Di kota itu ia bunuh 50 ribu penduduk, dan ia rayakan kemenangannya dengan bersantap bersama gundik-gundiknya sembari menyaksikan 800 musuh disalibkan di bukit-bukit. "Leher para istri dan anak-anak mereka disembelih di depan mereka," tulis Montefiore.
Seribu tahun kemudian, para prajurit Perang Salib dari Eropa merebut kota tua itu dari kekuasaan Turki. Pembantaian berulang. Orang-orang Frank membunuh apa saja yang ditemukan, memotong kepala, tangan, dan kaki penduduk Yerusalem yang Islam dan Yahudi. Seorang saksi mata, Raymond dari Aguilers, punya catatan yang bersemangat tentang kejadian itu: "Penglihatan yang menakjubkan," tulisnya. "Unggunan kepala, tangan, dan kaki tampak di jalan-jalan." Bayi-bayi direnggutkan dari ibu mereka dan dihantamkan ke tembok. "Benar-benar penghakiman Tuhan yang adil dan memukau, bahwa tempat ini penuh dengan darah orang-orang yang tak beriman," tulis saksi mata itu pula.
Iman, tak beriman, darah, pembantaian…. Kata-kata itu seperti berulang dan seakan-akan terekam di batu-batu Yerusalem.
"Selama 1.000 tahun, Yerusalem secara eksklusif Yahudi, selama 400 tahun Kristen, dan 1.300 tahun Islam, dan tak ada satu pun dari ketiga agama ini yang memenangi Yerusalem tanpa pedang, atau mesin pelontar, atau howitzer," tulis Montefiore dalam epilog buku yang setebal 650 halaman ini.
Jika demikian halnya, apa sebenarnya yang penting dari kota ini?
Para sejarawan, juga Montefiore, punya kecenderungan melihat Yerusalem sebagai sesuatu yang hadir tapi sebenarnya tak tampak: sebagai ide, simbol, titik strategi, teritorium politik. Maka orang sering lupa kepada si laki-laki dalam sajak Amichai: seseorang yang membawa keranjang sayur dan buah-buahan untuk anak dan istrinya, seorang sehari-hari yang duduk istirahat sejenak di lantai batu di bawah bayangan gereja, masjid, Tembok Tangisan, lengkung Romawi. Di momen itu, Yerusalem menggetarkan: ia bagian dari tanah yang diinjak, ditanami, diolah, dihuni. Di momen lain, Yerusalem adalah sebuah trauma.
Untung Jerusalem: The Biography menyelipkan sebuah cerita tentang Muawiya. Penguasa Islam di abad ke-7 ini, yang meneruskan kebijakan Khalifah Umar yang adil dan terbuka, memerintah Yerusalem selama 40 tahun. Ia bangun sebuah masjid persis di tengah Haram as-Sharif, area paling suci dari umat Yahudi, tapi tak untuk menutup pintu. Ia tak usik umat Yahudi bersembahyang di sana. Montefiore menggambarkannya sebagai seorang penguasa yang tak berat sebelah—juga orang yang suka humor, termasuk lelucon yang menertawakan dirinya. Katanya, "Bahkan bila sehelai rambut saja yang mempertalikan aku dengan sesama, aku tak akan memutuskannya."
Memang itulah yang penting: bukan kekuasaan memutus, melainkan hasrat menyambung, bukan kolonisasi, melainkan silaturahmi sehari-hari.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo