DASAWARSA ini ditutup dengan John Lennon ditembak mati.
Seorang penulis telah meramalkan, bahwa dasawarsa mendatang
adalah "Dasawarsa Ungu". Adapun ungu, katanya, adalah warna
kerajaan. Orang akan lebih sadar akan status. Pakaian akan jadi
rapi, tertib, mungkin pula rumit.
Zaman semangat persamaan, yang penuh protes, yang kiri,
yang gondrong, yang blue jean, yang santai, yang lecek, zaman
warna-warni psikedelik, nampaknya memang sudah terkubur
dalam-dalam. Itu gemuruh tahun 60-an. Bahkan dasawarsa 1970
sudah mulai melupakannya. Di mana lagi kini ada "hippie"?
Tentu, semua itu hanya varlasi atas satu tema--tema
keresahan orang Barat. Di negeri-negeri miskin di jantung Asia,
Afrika dan Amerika Latin, pelbagai dasawarsa lewat tanpa warna.
Betapa pun juga, di tahun 1960-an yang lalu itu, ketakutan
dan kemarahan akan perang di Vietnam telah meledakkan
pemberontakan besar anak muda di Amerika dan Eropa. Di masa itu
pula, mistik dan marijuana Asia memberikan rasa asyik di
celah-celah negara industri.
Sementara itu satu proses lain berlangsunglah: lewat
televisi yang memberitakan kengerian perang di Asia Teng gara,
nampak separuh muka bumi yang terapung dalam pendapatan per
kapita 5000 dollar, dan separuhnya lagi yang membisu seperti
tangis bayi yang jadi kering. Si Kuat pun jadi kelihatan sangat
tamak. Dialah yang bertanggung jawab atas kemiskinan, kekerasan,
ketertindasan, keterguncangan, kebodohan, kepasrahan, kebocoran
dan sebagainya yang ada di muka bumi.
Maka protes akan perang berkembang jadi protes akan segala
soal yang mendukung bangunan masyarakat kapitalis dan masyarakat
industri. Pemudapemuda muak akan deru dan disiplin kerja. Orang
curiga kepada organisasi dan teknokrasi. Mari kita
berbaring-baring, kata mereka --menyatakan sikap:
Nyetir dari Paris sampai Hilton Amsterdam, kami bicara di
tempat tidur sampai sepekan. Surat-surat kabar bertanya,
"Apa yang kalian lakukan di ranjang itu, he ?" Sahutku kami
hanya mencoba memperoleh damai."
Baris-baris dari Tbe Balad of John and Yoko itu nampaknya
kini tak mungkin ditulis lagi. John Lennon berumur 40 tahun
lebih. Beberapa saat sebelum mati, ia mengatakan bahwa musiknya
yang baru tak diperuntukkannya bagi anak-anak muda sekarang.
Musik itu memang untuk orangorang sezamannya, mereka yang
kini berusia 30-an dan 40-an. Double Fantasy-nya (beredar
sebulan sebelum ia tewas) hanya laku sedang-sedang. Generasi itu
seakan tertinggal, mulai beruban atau membotak, menyiulkan
Yesterday, sayu . . .
Tapi siapa yang melihat The Beatles tanpa menghubungkannya
dengan hedonisme tahun 60-an di Barat akan silap. Zaman
gondrong, yang lecek, yang bluejean, yang tanpa dasi nun di sana
itu bukanlah zaman kemelaratan--melainkan justru zaman
kesempatan untuk bernikmat-nikmat.
Marijuana, warna-warni psikedelik, kliyeng-kliyeng yang
hangat, seks yang longgar, semua itu memang pemberontakan. Tapi
pemilik kerajaan Playboy yang mewah juga menjadi penganjurnya.
Kesadaran yang bergelora tentang si miskin di dunia memang
murni. Juga kerinduan untuk pengalaman spiritual. Tapi semua itu
pada akhirnya cerminan suatu lapis anak-anak muda yang telah
berada dalam posisi untuk tak harus membanting tulang, di tubir
kemelaratan.
Tak heran di awal 1960-an Bung Karno atas nama revolusi
mengganyang "bitel-bitelan", dan band Koes Bersaudara dimasukkan
ke dalam sel--sebagaimana di Singapura, atas nama etik kerja dan
disiplin, rambut gondrong dipotong Lee Kuan Yew.
Barangkali memang seperti lambang yang sedih bahwa John
Lennon ditembak mati oleh seorang pembunuh yang tak Jelas apa
maunya, dengan senjata yang dibeli (dengan gampang) dari sebuah
toko. Ia merlinggalkan penghasilannya yang setahun sekitar $ 200
juta, tapi tak banyak odang yakin dapatkah dunia, dalam krisis
ekonomi kini, mampu mengembalikan tahun 60-an yang rusuh yang
gairah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini