Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Zaman yang tak akan kembali

John lenon, lambang pemberontakan anak muda tahun enam puluhan, ditembak mati. rupanya juga suatu pertanda, zaman yang penuh gairah & rusuh itu tak akan kembali. waktu mendatang adalah "dasawarsa ungu".

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DASAWARSA ini ditutup dengan John Lennon ditembak mati. Seorang penulis telah meramalkan, bahwa dasawarsa mendatang adalah "Dasawarsa Ungu". Adapun ungu, katanya, adalah warna kerajaan. Orang akan lebih sadar akan status. Pakaian akan jadi rapi, tertib, mungkin pula rumit. Zaman semangat persamaan, yang penuh protes, yang kiri, yang gondrong, yang blue jean, yang santai, yang lecek, zaman warna-warni psikedelik, nampaknya memang sudah terkubur dalam-dalam. Itu gemuruh tahun 60-an. Bahkan dasawarsa 1970 sudah mulai melupakannya. Di mana lagi kini ada "hippie"? Tentu, semua itu hanya varlasi atas satu tema--tema keresahan orang Barat. Di negeri-negeri miskin di jantung Asia, Afrika dan Amerika Latin, pelbagai dasawarsa lewat tanpa warna. Betapa pun juga, di tahun 1960-an yang lalu itu, ketakutan dan kemarahan akan perang di Vietnam telah meledakkan pemberontakan besar anak muda di Amerika dan Eropa. Di masa itu pula, mistik dan marijuana Asia memberikan rasa asyik di celah-celah negara industri. Sementara itu satu proses lain berlangsunglah: lewat televisi yang memberitakan kengerian perang di Asia Teng gara, nampak separuh muka bumi yang terapung dalam pendapatan per kapita 5000 dollar, dan separuhnya lagi yang membisu seperti tangis bayi yang jadi kering. Si Kuat pun jadi kelihatan sangat tamak. Dialah yang bertanggung jawab atas kemiskinan, kekerasan, ketertindasan, keterguncangan, kebodohan, kepasrahan, kebocoran dan sebagainya yang ada di muka bumi. Maka protes akan perang berkembang jadi protes akan segala soal yang mendukung bangunan masyarakat kapitalis dan masyarakat industri. Pemudapemuda muak akan deru dan disiplin kerja. Orang curiga kepada organisasi dan teknokrasi. Mari kita berbaring-baring, kata mereka --menyatakan sikap: Nyetir dari Paris sampai Hilton Amsterdam, kami bicara di tempat tidur sampai sepekan. Surat-surat kabar bertanya, "Apa yang kalian lakukan di ranjang itu, he ?" Sahutku kami hanya mencoba memperoleh damai." Baris-baris dari Tbe Balad of John and Yoko itu nampaknya kini tak mungkin ditulis lagi. John Lennon berumur 40 tahun lebih. Beberapa saat sebelum mati, ia mengatakan bahwa musiknya yang baru tak diperuntukkannya bagi anak-anak muda sekarang. Musik itu memang untuk orangorang sezamannya, mereka yang kini berusia 30-an dan 40-an. Double Fantasy-nya (beredar sebulan sebelum ia tewas) hanya laku sedang-sedang. Generasi itu seakan tertinggal, mulai beruban atau membotak, menyiulkan Yesterday, sayu . . . Tapi siapa yang melihat The Beatles tanpa menghubungkannya dengan hedonisme tahun 60-an di Barat akan silap. Zaman gondrong, yang lecek, yang bluejean, yang tanpa dasi nun di sana itu bukanlah zaman kemelaratan--melainkan justru zaman kesempatan untuk bernikmat-nikmat. Marijuana, warna-warni psikedelik, kliyeng-kliyeng yang hangat, seks yang longgar, semua itu memang pemberontakan. Tapi pemilik kerajaan Playboy yang mewah juga menjadi penganjurnya. Kesadaran yang bergelora tentang si miskin di dunia memang murni. Juga kerinduan untuk pengalaman spiritual. Tapi semua itu pada akhirnya cerminan suatu lapis anak-anak muda yang telah berada dalam posisi untuk tak harus membanting tulang, di tubir kemelaratan. Tak heran di awal 1960-an Bung Karno atas nama revolusi mengganyang "bitel-bitelan", dan band Koes Bersaudara dimasukkan ke dalam sel--sebagaimana di Singapura, atas nama etik kerja dan disiplin, rambut gondrong dipotong Lee Kuan Yew. Barangkali memang seperti lambang yang sedih bahwa John Lennon ditembak mati oleh seorang pembunuh yang tak Jelas apa maunya, dengan senjata yang dibeli (dengan gampang) dari sebuah toko. Ia merlinggalkan penghasilannya yang setahun sekitar $ 200 juta, tapi tak banyak odang yakin dapatkah dunia, dalam krisis ekonomi kini, mampu mengembalikan tahun 60-an yang rusuh yang gairah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus