Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana agar pemilihan kepala daerah atau pilkada kembali dilaksanakan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mencuat selepas Pilkada 2024 usai dilangsungkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usulan ini berembus setelah Presiden Prabowo Subianto menyinggung peluang perubahan sistem tersebut. Dia mengatakan, dengan sistem pemilihan langsung, pilkada menelan biaya mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Betul? Dari wajah yang menang pun saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” kata Prabowo dalam pidatonya saat perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Kamis malam, 12 Desember 2024.
Kepala negara mengatakan jika Pilkada cukup dilakukan oleh DPRD, negara bisa menghemat triliunan rupiah. Anggaran tersebut, ujar dia, bisa dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak. Pihaknya juga menyinggung efisiensi jika kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sebab, selain tidak boros anggaran, hal itu juga mempermudah transisi kepemimpinan.
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien seperti Malaysia. Bahkan juga India. Mereka sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih gubernur, wali kota,” kata Prabowo.
Latar belakang pilkada digelar secara langsung
Sejak Indonesia merdeka hingga berakhirnya Orde Baru pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, pilkada selalu diwakilkan DPR. Kebijakan itu runtuh setelah reformasi dan terbitnya undang-undang tentang otonomi daerah. Dengan demikian, aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat sebenarnya terbilang masih anyar.
Disadur dari dokumen Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI 2009, beralihnya pilkada menjadi secara langsung merupakan bagian dari perubahan politik Indonesia pasca-pemerintahan Soeharto, yang ditandai dengan reformasi konstitusi sistem ketatanegaraan.
Selain perubahan atas struktur ketatanegaraan Indonesia, reformasi juga menyangkut dua perubahan penting lainnya, yakni mekanisme dan prosedur pengisian jabatan dalam struktur ketatanegaraan serta instrumen politik yang digunakan. Dua instrumen politik penting ini menjadi kebijakan pemilihan umum yang demokratis serta kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi.
Adapun salah satu langkah fundamental dalam kebijakan desentralisasi yakni pilkada langsung. Kebijakan ini merupakan hal yang sangat fundamental sebagai kelanjutan dari arus perubahan yang sangat kuat terutama sejak 1996. Kebijakan ini bukan hanya mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis, tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah yang sesungguhnya.
Disadur dari buku Mencari Bentuk Otonomi Daerah oleh J Kaloh, di masa pemerintahan Orde Baru, pilkada selalu dilakukan melalui DPRD, di bawah aturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Biasanya yang menang adalah calon dari Partai Golkar. Hal ini lantaran seluruh DPRD di Indonesia anggotanya mayoritas berasal partai pimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto itu.
Setelah Orde Baru runtuh seiring mundurnya Soeharto pada Mei 1998, pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1974 kemudian diubah menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini mengubah sistem pemerintahan yang sentralistis menjadi demokratis. Konsep otonomi daerah sangat mengemuka dengan beleid baru ini, yang memberi harapan kepada kemajuan daerah.
Setelah lahirnya konsep otonomi daerah, UU tersebut kemudian diubah menjadi lebih kompleks pada 2004 dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam beleid inilah diatur pilkada dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Artinya rakyatlah yang secara langsung memilih siapa kepala daerah mereka.
Setelah terbitnya aturan tersebut, untuk kali pertama dalam sejarah akhirnya pilkada digelar secara langsung. Pesta demokrasi di mana rakyat terlibat secara nyata ini di gelar serentak di 213 daerah, yaitu di 7 provinsi, 174 kabupaten, dan 32 kota. Pemungutan suara digelar mulai 1 Juni di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan berakhir pada 21 Desember di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Nandito Putra dan Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Wacana Pilkada Lewat DPRD Lagi, Prabowo: Negara Tetangga Efisien, Kita Keluar Duit, Duit, Duit