Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pilkada

Mantan Gubernur Kepulauan Riau Gugat UU Pilkada ke MK, Soal Apa?

Isdianto meminta MK Menyatakan pasal di UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

20 Juni 2024 | 20.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang sengketa hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli pihak terkait atau Kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Gedung MK, Jakarta pada Kamis, 4 April 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Gubernur Kepulauan Riau Sisa Masa Jabatan 2016-2021 Isdianto, mengajukan gugatan terhadap  Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada disingkat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Isdianto menilai pasal tersebut mengandung norma ketidakpastian hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari laman resmi MK RI, Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu dilayangkan Isdianto pada 11 Juni 2024, dan teregistrasi dengan nomor 70/PUU/PAN.MK/AP3/06/2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dokumen gugatan tersebut Isdianto menyampaikan sejumlah dalil, salah satunya Isdianto menilai ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada mengandung norma ketidakpastian hukum dengan adanya frasa “belum pernah menjabat” pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o a quo.

Adapun Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada menyatakan:

Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(o) belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota. 

Menurutnya, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009, maka fakta hukumnya ia hanya menjabat sebagai PLT Gubernur Kepulauan Riau sampai menjadi Gubernur Definitif Sisa Masa Jabatan 2016-2021 hanya satu tahun tujuh bulan atau 19 bulan, sehingga tidak masuk hitungan “satu periode masa jabatan”. 

Sehingga dalam dokumen gugatan tersebut kata dia, Mahkamah Konstitusi perlu menafsirkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada, yaitu frasa “o. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama”, dengan tafsir:

“o. belum pernah menjabat satu periode masa jabatan sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama," tulisnya dalam dokumen gugatan tersebut.

Maka, putusan bertafsir atas ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada perlu diberikan oleh Mahkamah Konstitusi agar tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.

Petitum :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Selain itu, gugatan juga datang dari mahasiswa Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi, dan mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee, menggugat pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta MK mengubah pasal tersebut agar ada batasan waktu yang jelas soal perhitungan batas usia calon kepala daerah.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus