Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seiring dengan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) oleh Mahkamah Konstitusi (MK), perdebatan mengenai sistem proporsional terbuka dan tertutup pada pemilihan Pemilu 2024 terus mencuat. Uji materi terhadap beleid tersebut bahkan memunculkan isu penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terkait isu tersebut, sejumlah partai politik dengan tegas menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu dan tetap mendukung sistem proporsional terbuka. Terlepas dari perdebatan sistem Pemilu, sebenarnya bagaimana untung rugi sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam Pemilu?
Sistem Proporsional Tertutup
Jika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem tertutup, maka Pemilu 2024 akan mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan tiga pemilu nasional sebelumnya. Perubahan ini akan mempengaruhi jumlah partai politik dan sistem partai di DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Indonesia telah menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup dalam dua periode pemilu, yaitu pada pemilu tahun 1955 dan 1999. Kedua pemilu tersebut dianggap sebagai pemilu terbaik dalam sejarah pemilu Indonesia. Lantas, apa saja untung rugi sistem proporsional tertutup apabila diterapkan dalam Pemilu 2024?
1. Partai Politik di DPR berkurang
Jika Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup, maka jumlah partai politik di DPR akan berkurang. Merujuk pada rata-rata hasil survei elektabilitas dari berbagai lembaga survei seperti Charta Politika, SMRC, Indikator, Lembaga Survei Indonesia, Poltracking sebenarnya hanya ada tujuh partai yang dapat melebihi ambang batas parlemen sebesar 4% untuk masuk ke DPR, diantaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasional Demokrat (Nas-Dem).
Berdasarkan perhitungan data rata-rata lembaga survei, elektabilitas masing-masing partai adalah PDIP 24,4%, Gerindra 10,9%, Golkar 10,2%, Demokrat 8,8%, PKB 7,4%, PKS 6,1%, dan Nas-Dem 4,1%. Apabila elektabilitas tersebut dikonversi berdasarkan 580 kursi DPR, maka setiap partai akan memperoleh kursi DPR secara proporsional dengan distribusi berikut: PDIP 197 kursi, Gerindra 88, Golkar 82, Demokrat 71, PKB 60, PKS 49, dan Nasdem 33.
Dari perhitungan ini, dapat diketahui partai-partai yang mengalami keuntungan atau kerugian akibat penerapan sistem proporsional tertutup. Perhitungan ini mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa PDIP mengajukan judicial review terhadap perubahan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup melalui Mahkamah Konstitusi.
2. Mengakhiri Multi Partai Ekstrem
Sistem proporsional tertutup akan mengakhiri tren multipartai ekstrem Indonesia. Apabila sistem proporsional tertutup diterapkan dalam Pemilu 2024, maka akan menciptakan sistem kepartaian multipartai moderat. Selain itu, karena Indonesia juga menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang cenderung membagi kekuasaan, kehadiran multipartai ekstrem menjadi situasi sistemik yang menyebabkan negara-negara yang menganutnya berkinerja buruk dan koruptif.
Sistem Proporsional Terbuka
Di Indonesia, penerapan sistem proporsional semi-terbuka pertama kali dilakukan pada Pemilu 2004. Sejak itu, sistem proporsional terbuka dalam Pemilu terus diterapkan hingga kini. Lalu, apa saja untung rugi sistem proporsional terbuka?
1. Memberi Kebebasan Kepada Pemilih
Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih memiliki kebebasan untuk memilih secara langsung kandidat yang mereka inginkan, tidak hanya memilih partai politik. Hal ini memberikan kebebasan kepada pemilih untuk mempertimbangkan kualitas, identitas, dan popularitas calon dalam proses pemilihan. Namun, efek dari sistem ini juga dapat mempengaruhi stabilitas partai politik dan menyebabkan munculnya partai-partai dengan ideologi yang kurang konsisten.
Dalam sistem proporsional terbuka, kandidat-kandidat memiliki kesempatan untuk mendapatkan dukungan langsung dari pemilih berdasarkan faktor-faktor yang lebih personal. Ini berarti partai politik harus bersaing tidak hanya dalam hal ideologi dan platform politik, tetapi juga dalam hal kualitas dan popularitas calon mereka.
2. Mereduksi Peran Parpol
Mengutip laman Mahkamah Konstitusi, Mantan Menteri Sekretariat Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, sistem pemilu proporsional terbuka yang telah diterapkan dalam empat pemilu sebelumnya menghadirkan sejumlah sisi gelap. Meskipun tujuan awal dari sistem ini adalah untuk mengurangi kesenjangan antara pemilih dan kandidat wakil rakyat, ternyata sistem tersebut justru menciptakan kesenjangan yang melemahkan posisi partai politik.
Dalam sistem proporsional terbuka, partai politik kehilangan fokusnya sebagai alat untuk menyampaikan pendidikan politik dan mendorong partisipasi politik yang benar. Partai politik tidak lagi berusaha meningkatkan kualitas program-program mereka yang mencerminkan ideologi partai, melainkan hanya mencari kandidat-kandidat yang mampu menarik perhatian dan meraih suara terbanyak. Akibatnya, pelemahan partai politik terjadi secara struktural.
3. Persaingan Antar Kandidat
Selain mereduksi peran parpol, sistem proporsional terbuka menimbulkan partai politik tidak lagi memprioritaskan pembinaan kader-kader muda dengan serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada mencari jalan pintas dengan merekrut kader-kader yang populer dan memiliki kemampuan finansial untuk membiayai kebutuhan partai.
Sistem proporsional terbuka telah mengubah pemilu yang seharusnya menjadi tempat pertarungan ide dan gagasan, namun kini justru menjadi wadah pertarungan orang-orang terkenal dan berkemampuan finansial. Itu disebabkan karena kader terkenal yang berkemampuan finansial menjadi magnet dari partai demi meraih suara terbanyak. Akibatnya partai maju mundur dalam melakukan pembinaan dan menjalankan fungsinya.
Pilihan editor: Mahkamah Konstitusi Tolak Sistem Proporsional Tertutup, Airlangga Hartarto: Keputusan yang Tepat
RIZKI DEWI AYU