Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wawancara tempo dengan Try Sutrisno mengenai pengangkatannya sebagai pangab, warna ABRI setelah dipimpinnya nanti, tantangan yang potensial, perampingan tubuh abri, alih generasi, dst.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN cepat Jenderal Try jadi tokoh yang paling dicari wartawan. Maklumlah. Banyak yang ingin tahu apa komentarnya setelah diumumkan akan dilantik sebagai orang nomor satu di jajaran ABRI, pekan lalu. Di Jakarta, ia menolak banyak bicara. Tapi saat ia membuka turnamen Piala Kasad VI di Surabaya, Senin pekan ini, berbicara campuran bahasa Indonesia dan Jawa dialek Surabaya yang hangat, Jenderal Try menjawab pertanyaan Budiono Sudarsono dan Toriq Hadad, arek-arek TEMPO di sana. Berikut petikannya: Bagaimana perasaan Pak Try setelah diumumkan jadi Pangab? Lha kalau perasaan itu biasa-hiasa saja. Kita itu 'kan manusia Pancasila. Yah kita harus bersyukur pada Tuhan Yang penting bukan diroso-roso thok. Kudu gae akal (Yang penting bukan di perasaan saja, harus juga pakai akal -- Red.). Roso dan akal itu harus dipakai dua-duanya. Gae akal thok ya camplang (pakai akal saja ya hambar -- Red.)- Diroso-roso thok mangan soto yo oleh dirasakno (Kalau hanya dirasa-rasakan saja, itu seperti makan soto: hanya dirasakan --Red.). Wis. . . wis ojo nakok soal Pangab. Opo sing wis diomongno Pak Benny iku wae tulisen. Sing penting aku dongake slamet ae. (Sudah . . . sudah jangan tanya soal Pangab. Yang sudah dikatakan Pak Benny itu saja yang kalian tulis. Yang penting aku kalian doakan selamat saja -- Red.). Tapi ini kan mengagetkan. Biasanya Pangab baru diumumkan bersamaan dengan kabinet baru? Ndak . . . ndak gak ono kaget iku. Nah iki yo aku pesen (Tidak . . . tidak ada kaget itu. Nah ini ya saya pesan -- Red.): jangan biasa jadi bangsa kaget. Bangsa Indonesia itu besar. Jadi, tidak ada kaget-kagetan. Wajar-wajar sajalah. Adakah warna lain ABRI di bawah Bapak nanti? Wis to . . . ojo nako iku. Wis engko waelah (Sudahlah jangan tanya itu. Sudah nanti saja). Pokoknya gini, bangsa Indonesia ini 'kan ingin hadir terus. Ingin eksis sepanjang masa. Merebut kemerdekaan itu sulit, dengan darah dan keringat. Wis ojo balik mane dijajah, kasarane ngono (Sudah jangan balik lagi dijajah, kasarnya begitu). Keliru kalau you mengulang penjajahan lagi. Penjajahan itu bisa diartikan dalam arti luas, tak cuma secara fisik kayak dulu. Nah, di situ kepintaranmu. Sampai di mana bangsa Indonesia? Apakah generasinya akan mandek saja? Perlu cukup wawasan, perlu cukup kepekaan. Itulah pentingnya you belajar. Kita ini bangsa yang terdidik makin lama makin baik. Makin mantep makin mateng. Itu sebabnya ketika ditanya wartawan apakah kaget Pak, saya bilang ndak ada kaget-kagetan, ndak ada. Jangan dibiasakan kaget, bangsa yang gede ini harus mantep. Tantangan yang paling potensial kini? Banyak sekali tantangan bangsa yang sedang membangun ini. Di masa yang sulit sebenarnya kita harus bersyukur. Kita ini punya potensi. Kita ini masih punya banyak harapan. Potensi manusianya ada, kalau manusia ini kok ke'i (diberi -- Red.) kepintaran, kok ke'i skill, tanah kita akeh (banyak -- Red.). Laut kita akeh isine... iku bongkaren (Banyak isinya. .. itu galilah -- Red.). Saya lihat bangsa lain, saya baru keliling dunia, banyak bangsa lain yang tidak punya kekayaan seperti kita. Dalam keadaan sulit ini mereka lebih suram. Kalau kita... Masa ayam mati di lumbung padi ? Jangan, dong. Makanya, semuanya deh, ya wartawannya, petaninya! teknokrat, ABRI, semuanya bekerja. Semuanya harus menggali kemampuan. Kerja keras dan bersatu itu, wis (sudah) itu konsepnya. Apa ABRI akan lebih diefisienkan lagi dengan dirampingkan lagi? Sekarang 'kan sudah ramping. Wis, to, ojo dilebih-lebihkan, pokoknya ramping. Setiap kali 'kan nanti kita evaluasi. Kalau kedodoran jelek, kalau sesak ya jelek. Pokoknya, pas. Alih generasi ini merupakan beban berat? Hidup ini jangan berat ringan, yang penting tanggung jawabnya. Ada orang yang berat bebannya tapi enggak mau tanggung jawab. Dalam ilmu manajemen ada berbagai tipe. Ada yang afiliatif, orang yang mau seneng-seneng thok. Ada lagi yang ingin kuasa saja tapi nggak bisa mengisi kekuasaannya, buat apa. Yang pas adalah tipe yang selalu ingin meningkatkan dirinya. Filosofi Bapak? Wong Indonesia 'kan filosofinya Pancasila. Sebagai orang beragama, ya ada filosofinya. Lha wong beragama ini 'kan tahu kalau ada Tuhan yang mengatur. Ya, menyerah pada Gusti Allah. Menyerah bukan dalam arti pasif, lho. Menyerah itu ya kita tahu ada yang mengatur di atas tapi tetap berusaha. Usaha harus maksimal karena diberi akal punya rasio dan perasaan. Mari ngono ya sing apik karo wong (Setelah itu ya yang baik pada orang -- Red.). Ojo jahat karo konco-konco. Sing apik (Jangan jahat kepada teman-teman. Yang baik -- Red.). Kerja sama sing apik. Lalu, yang penting, nggak ada stres dalam hatimu. Sing enteng (Yang ringan - Red.).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus